[OPINI] Undang-Undang Perlindungan Anak: Upaya Perlindungan Untuk Anak yang Tidak Pantas Dilindungi.

Penulis: Widi Anggraini Putri

Gagasanonline.com – Anak merupakan mereka yang berumur dibawah 18 tahun. Anak ialah individu yang belum mencapai tahap dewasa. Belakangan ini banyak terjadi kasus kriminalitas yang melibatkan anak di bawah umur sebagai pelaku. Kasus kriminalitas tersebut seperti pencurian, kekerasan, bahkan pencabulan dan pemerkosaan. Dalam catatan akhir tahun KPAI menyebutkan, kasus kriminalitas yang dilakukan oleh anak semakin bertambah setiap tahunnya. Pada 2021, terdapat 5.758 anak di bawah umur yang melakukan kekerasan di Indonesia.

Dari jumlah tersebut, 73,6 persen anak laki-laki dan 26,4 persen lainnya anak perempuan. Mayoritas kasus melibatkan kekerasan fisik 47,7 persen, diikuti dengan kekerasan seksual sebesar 19,7 persen dan kekerasan psikologis 18,4 persen.

Menurut survei dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), sekitar 26,8 persen dari total anak di Indonesia mengalami kekerasan fisik dan 11,3 persen mengalami kekerasan seksual. Kekerasan fisik dan seksual terhadap anak-anak dapat meningkatkan risiko perilaku buruk, termasuk perilaku kejahatan di kemudian hari.

Juli 2022 lalu, seorang anak SD di Tasikmalaya, Jawa Barat, meninggal setelah dipaksa menyetubuhi kucing oleh teman-temannya. Aksi perundungan ini diduga membuat korban sangat depresi, sehingga korban sakit dan nyawanya tidak terselamatkan. Pihak kepolisian sudah menetapkan tiga teman korban sebagai tersangka. Namun, ketiga tersangka tidak dapat ditahan karena masih di bawah umur.

Baca: Mahasiswa Akhir Keluhkan Lamanya Proses Administrasi Bebas Pustaka UIN Suska Riau

Di Mojokerto, seorang anak menjadi korban pembunuhan yang dilakukan anak berumur 15 tahun. Pihak keluarga memprotes vonis yang dijatuhkan pengadilan kepada terdakwa yaitu 15 tahun penjara dan menilai vonis tersebut tidak adil.

Anak yang diduga melakukan tindak pidana disebut sebagai anak yang berkonflik dengan hukum. Hal ini merujuk pada Undang-Undang No 11 tahun 2012 pasal 1 ayat 3 yang berbunyi: “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”

Anak dianggap belum mampu bertanggung jawab atas segala yang mereka lakukan, namun faktanya banyak anak yang melakukan perbuatan harus dipertanggungjawabkan di hadapan hukum. Terdapat undang-undang khusus yang mengatur hukuman mereka meski menjadi pelaku kriminalitas berat, walaupun perbuatan yang mereka lakukan menunjukkan bahwa mereka adalah pihak yang tidak pantas dilindungi.

Hal ini mengingat dampak pemerkosaan, pencabulan, atau kekerasan yang dilakukan membuat korban mengalami luka baik fisik maupun psikis. Pemerkosaan dan pencabulan tak jarang menyasar korban yang juga di bawah umur. Mereka biasanya adalah orang yang berada di lingkungan pelaku. Seperti kerabat atau tetangga. Keadaan ini sangat memprihatinkan mengingat lingkungan kerabat dan tetangga adalah lingkungan awal dalam tahap sosialisasi anak-anak. Dunia luar terasa begitu gelap jika lingkungan awal saja sudah tidak aman.

Baca: UIN Suska Riau Taja KKN Internasional di Negeri Kelantan, Malaysia

Berdasarkan Undang-undang no 11 tahun 2012 dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), terdapat dua sanksi yang dapat menjerat anak berkonflik dengan hukum. Dalam Pasal 69 ayat (2) UU SPPA disebutkan, pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yakni sanksi tindakan bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun dan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana di atas 14 tahun.

Dalam Pasal 82 UU SPPA disebutkan bahwa yang dimaksud sanksi tindakan adalah dikembalikan kepada orang tua/wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal/pelatihan yang diadakan pemerintah atau badan swasta, pencabutan surat izin mengemudi dan perbaikan akibat tindak pidana.

Sedangkan sanksi pidana dijelaskan dalam Pasal 71 UU SPPA yang terdiri dari pidana pokok yakni pidana peringatan, pidana dengan syarat seperti pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat atau pengawasan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga hingga penjara. Pidana tambahan terdiri dari perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat.

Hal lain yang diatur dalam UU SPPA adalah hak-hak anak dalam proses peradilan pidana, hak saat menjalani masa pidana dan hak untuk mendapatkan bantuan hukum. Anak yang melakukan tindak pidana dapat ditahan dengan syarat anak tersebut telah berumur 14 tahun atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman penjara tujuh tahun atau lebih.

UU SPPA tersebut sebenarnya baik untuk memberikan hak yang adil kepada anak yang berkonflik dengan hukum, namun di sisi lain tidak menguntungkan korban apabila menjadi korban atas kriminalitas berat yang dilakukan oleh anak di bawah 14 tahun, karena pelakunya tidak dapat dipidana.

Berdasarkan Undang-undang no 11 tahun 2012, hukuman untuk anak di bawah umur adalah setengah dari hukuman orang dewasa. Namun kembali lagi, apakah ada hukum yang benar-benar adil di dunia ini?

Editor: Windi Astuti
Foto:
HukumOnline.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.