Komitmen Pemerintah Menyelesaikan Kasus Pelanggaran HAM Tinggal Janji

Sebelas tahun sudah aksi kamisan digelar di depan Istana Merdeka oleh mereka yang keluarganya menjadi korban pelanggaran HAM. Mereka menuntut Presiden Jokowi menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu sebagaimana yang dijanjikan Jokowi di masa kampanye dulu. Alih-alih, aksi kamisan itu sering kali diaggap angin lalu oleh pemerintah. Presiden bungkam. Impunitas pun semakin subur di negara hukum ini.

Pada 2017 lalu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta merilis, ada 151 kali aksi kamisan sejak Jokowi berkuasa, sejak 2014. Sementara jumlah total aksi kamisan yang sudah digelar mencapai 517 kali.

Selain itu, laporan pengaduan yang dirilis  Komnas HAM, ada sebanyak 568 berkas. Di mana polisi dan korporasilah yang paling banyak diadukan. Dan laporan yang paling banyak masuk adalah kasus hak atas kesejahteraan dengan jumlah 267 dari 568 pengaduan dari tanggal 1 sampai 31 Maret 2018.

Sementara itu, laporan Amnesty International Indonesia merilis, terdapat 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan di Papua dalam rentang waktu Januari 2010 hingga Februari 2018.

Bahkan di dunia pendidikan yang notabene orang berpendidikan pun tak luput dari pelanggaran HAM. Menurut data KPAI, jumlah kasus HAM dalam dunia pendidikan per tanggal 30 Mei 2018, berjumlah 161 kasus.  Melihat data-data di atas kita pesimis atas penegakan HAM di negeri ini. Hukum dibuat hanya sebatas formalitas.

Segala tindakan yang dilakukan pemerintah dalam rangka menegakkan HAM tentu memiliki kekurangan di sana-sini. Sebagai warga negara, kita harus berperan aktif dalam mengawasi penegakan HAM di Indonesia. Aksi Kamisan adalah salah satu cara aktivis dan keluarga korban pelanggaran HAM menyampaikan aspirasi mereka.

Saya melihat pemerintah tak serius dalam komitmen menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Bahkan para pelanggar HAM masih bebes melenggang tanpa jeratan hukum sedikit pun. Dan pelanggaran HAM masih kerap terjadi, yang parahnya itu dilakukan oleh aparat TNI dan Polri.

Presiden memang pernah menerima para keluarga korban pelanggaran HAM dan aktivis HAM di Istana Negara beberapa bulan yang lalu. Tapi itu sekadar basa-basi.

Mereka meminta Presiden memberikan pengakuan terjadinya pelanggaran HAM masa lalu. Tapi tetap saja sikap Presiden sebagai petinggi pemerintah masih tampak enggan mengusut kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Contoh ketidakseriusan pemerintah seperti pada rapat yang dilakukan Amnesty International Indonesia dengan Komisi III di kompleks parlemen belum lama ini, menuntut janji Presiden saat pemilu 2014 lalu, yakni Jokowi pernah menyatakan komitmen untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Pernyataan tersebut diungkapkan Jokowi tak lama setelah insiden penembakan warga sipil di Paniai pada 2014.

Setidaknya, Amensti Internasional Indonesia menggarisbawahi satu janji, satu komitmen yang pernah disampaikan Presiden Joko Widodo setelah insiden Paniai tersebut bahwa Presiden ingin kasus ini diselesaikan secepatnya agar tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Namun kita tak bisa berharap dengan janji-janji Jokowi tersebut.

Saya rasa seperti tak ada tindakan tegas dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus HAM lama, bahkan saking tak tegasnya hingga kasus pelanggaran HAM baru banyak bermunculan.

Kita harus mengawasi penegakkan HAM di Indonesia. Ada banyak pelanggaran HAM yang tidak terdata oleh pihak yang berwenang. Kita mengetahui adanya pelanggaran HAM, namun si korban memilih diam dan kita pun ikut diam. Padahal dengan melakukan hal semacam ini dapat membuat upaya penegakkan HAM menjadi mandek.

Negeri ini memiliki banyak instansi dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak untuk kerja-kerja kemanusiaan dan menyuarakan penegakkan HAM serta pengusutan atas kasus pelanggaan HAM. Semua lembaga ini tentunya membutuhkan tenaga penggerak dari masyarakat untuk menegakkan HAM.

Indonesia mempunyai sejarah kelam pelanggaran HAM, seperti genosida pada peristiwa 1965 yang memakan jutaan korban tak bersalah. Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari, Tragedi Mei 1998, dan kasus-kasus pelanggaran lainnya yang diabaikan para penegak hukum. Pemerintah harus terus diingatkan bahwa penghilangan nyawa manusia bukan hal biasa. Agar pemerintah tak lagi abai terhadap suara-suara mereka yang menuntut ditegakkannya keadilan.

 

Penulis: Rahmat Kurniawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.