Maraknya Fanatisme Menuju Pilpres

Tahun 2018 merupakan tahun politik. Yang mana satu tahun lagi akan terjadinya Pemilihan Umum (Pemilu) serentak. Baik itu legislatif, eksekutif, atau yang biasa disebut dengan Pemilihan Presiden (Pilpres). Hal-hal yang berkaitan dengan politik pada tahun ini sangatlah sensitif, baik itu di media pers maupun sosial media. Sosial media dijadikan alat sebagai peperangan politik, saling serang antar kubu, menjelek-jelekan kubu lawan guna menjatuhkannya, bahkan banyaknya propaganda-propaganda yang dilakukan guna memenangkan salah satu kubu.

Di kehidupan yang nyata banyak orang yang berpikir secara subjektif. Hanya menjelek-jelekan kubu lawan tanpa mengetahui kebenarannya, bahkan ia tidak bisa melihat kebaikan sedikitpun dari kubu lawannya. Yang terpikir hanyalah kebaikan kubunya sendiri tanpa mengetahui atau pura-pura buta akan keburukan sisi kubunya sendiri. Bahkan ketika kita berdiskusi sudah tidak terasa nyaman lagi karena saling membangga-banggakan, saling membanding-bandingkan. Tidak ada lagi rasa objektif, tidak ada lagi rasa keingintahuan mencari kebenaran, yang ada hanyalah pembenaran.

Kita paham dengan cara berpikir subjektif di mana kita berpikir dengan hal-hal yang lebih kepada keadaan. Misalnya, seseorang berpikiran relatif, hasil dari menduga-duga dan berdasarkan perasaan atau selera orang. Sementara objektif adalah suatu sikap yang lebih pasti dan lebih dapat diyakini keabsahannya dan juga dapat melibatkan perkiraan serta asumsi. Bisnis adalah suatu organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya untuk mendapatkan laba. Sementara pebisnis adalah orang yang melakukan kegiatan bisnis tersebut. Kini pasti pembaca sedikit bingung dengan apa maksud pengertian bisnis dan pebisnis ini dimasukan.

Pada tanggal 30 september 2018, saya berbincang dengan seorang pemilik salah satu kedai kopi di Kota Padang. Perihal pembatalan diskusi publik dari salah satu kubu Calon Presiden (Capres) 2019. Pada saat pemesanan tempat, awalnya pemilik kedai kopi ini tidak memiliki rasa ragu, karena pada dasarnya kedai kopi adalah tempat umum yang bersifat netral. Bisnis ya tetap bisnis tanpa mencampurkan politik yang sedang hangat saat ini. Namun, yang bersebrangan dengan kubu yang akan berdiskusi merasa tak senang hati.

Pembatalan diskusi dimulai ketika pihak penyelenggara meminta untuk mempublikasi acara ke sosial media milik kedai kopi tersebut. Bahwa ada diskusi publik yang bertemakan milenial, yang mana diskusi ini bersifat umum. Ketika dipublikasikan, muncullah komentar-komentar dari nitizen. Ada yang berupa bercandaan bahkan ada yang ketahap serius. Seperti “kafe ini merupakan blok si salah satu kubu capres” dan “kami tidak akan duduk di kafe itu lagi karena itu adalah kafe salah satu kubu capres” bahkan “kami akan datang ke acara itu dan melakukan kerusuhan di sana”.

Padahal beberapa hari sesudah acara itu diadakan, pihak lawan dari kubu yang akan diskusi publik tadi juga akan mengadakan acara di kedai kopi itu. Namun karena adanya komentar-komentar dan pesan masuk yang seperti itu, maka kedua acara tersebut dibatalkan. Setelah terjadinya kasus seperti itu seharusnya masyarakat atau nitizen berpikir. Bahwa suatu tempat umum itu bersifat netral, tidak berpihak ke manapun. Kedai kopi adalah sebuah tempat bisnis, yang mana melakukan kegiatan guna mendapatkan laba atau keuntungan.

Pada dasarnya diskusi publik tidak ada larangan tempat. Komisioner KPU, Wahyu Setiawan berkata “kalau ngobrol politik boleh di mana saja, yang tidak boleh kalau dia masuk ruang lingkup definisi kampanye.” Hal itu ditanyakan oleh wartawan Tempo perihal kebolehan diskusi politik di tempat ibadah.

Alasan saya tidak mencantumkan nama dari Capres, agar tidak menjadi keributan atau pertentangan pendapat, masalah si A mendukung si ini dan si B mendukung si itu. Inti dari hal ini adalah kita sebagai masyarakat boleh kritis terhadap politik, namun jangan menjadi fanatik. Karena suatu hal yang berlebihan itu tidak baik, bahkan bisa merugikan pihak lain. Kita memilih Presiden dengan harapan untuk menjadikan Indonesia yang lebih baik. Tapi kok malah merusak sila ke-3 dari Pancasila “Persatuan Indonesia”.

 

 

Penulis : Razhaq Pahlevi Rendra

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.