Andai Aku Jadi Anjing

Oleh Muhammad Ihsan Yurin

Atong namaku. Biasanya orang-orang sekitar tak akan perduli siapa aku. Karena bagi mereka, dari hasil pendengaran telinga detektifku, tidak perlu ada upaya mengenal untuk sekadar menjatuhkan vonis. Dan ya, itulah yang orang-orang sering lakukan padaku. Menganggapku sebuah yang tak pernah menjadi sebuah. Atau maksimal melihatku tanpa sedikipun melihat. Lalu secepat kilat berkesimpulan bahwa aku, tidak bagian dari sistem yang selama ini mereka hidup di dalamnya.

Aku bukan tipe makhluk yang suka berbesar kepala memandang diri sebegitu penting, lantas perlu dibuatkan seremonial khusus agar orang-orang menganggapku “waaahh”. Tulisan ini hanya bentuk kegelisahanku selama ini dan, ada semacam dorongan moril setelah mendengarkan empat orang yang saling berdiskusi tepat di hadapanku beberapa malam yang lalu. Mereka sepertinya sangat peduli dengan keberlangsungan hidup makhluk-makhluk di bumi. Dan aku sadar bahwa aku juga harus berjuang demi kehidupanku. Konyol memang. Tapi, ya, beginilah caraku. Paling tidak, aku tidak hidup hanya untuk hidupku dan keluargaku saja.

Aku, adalah sebuah tempat sampah atau, tong sampah barangkali frasa yang sering kalian gunakan. Aku diciptakan demi mengimbangi tingkat ke-instan-an zaman yang semakin mencemaskan. Jujur saja, aku sedikit bingung dengan cara berfikir manusia. Sebagian kalian berusaha menciptakan masalah, dan sebagian lagi sibuk menciptakan solusi. Bahkan yang luar biasa, kadang kala si pembuat masalah dan si pembuat solusi adalah orang yang sama. Lalu pihak-pihak tersebut sibuk membuat seminar-seminar eksklusif bagaimana cara mengatasi masalah itu. Gimmick tolol macam apa ini? Ini tidak lebih baik dibandingkan keberpura-puraan konten-konten tayangan RCTI dan SCTV di pagi hari. Inikah yang kalian sebut orkestrasi kehidupan? Atau salah kaprah dalam menafsirkan konsep fungsionalisme? Atau ahh, aku rasa bukan kapasitasku menganalisa teori-teori intelektualmu itu. Kredibelitasku tidak sebanding dengan gelar sarjana dan mastermu.

Aku benci kebersihan. Karena biasanya, kebersihan dalam diriku akan membuat teman-teman sejawat yang sekaligus makananku menangis tersedu.

Bagi kalian mungkin kalimatku barusan terasa aneh. Karena sependengaranku, dalam dimensi kehidupan manusia, kalian haram memakan teman sendiri. Itulah yang kudengar dari perempuan yang menangis meraung-raung di pundak sahabatnya di dekat tempat aku biasanya mangkal. Dan hingga kini, aku masih tidak paham maksudnya.

Oh ya, soal teman-temanku, mari aku perkenalkan. Mereka adalah barang-barang tak berguna yang kalian suapkan padaku setiap hari. Hahaha, iya, tak berguna. Dan wuahahaha, iya, setiap hari.

Sampai detik ini, aku diam-diam masih sering berdoa dalam umpatanku kepada Tuhan. Mengapa Tuhan tidak menciptakan kami yang diciptakan manusia dengan potongan tubuh yang lengkap? Atau minimal, kenapa kami tidak diciptakan memiliki tangan dan kaki? Seperti anjing, misalnya—hewan yang aku tak tau mengapa kalian jadikan kata carutan. Sehingga aku, kami, tidak perlu meringis setiap waktu mendengar tangisan teman-teman di balik daun pintu dan sudut-sudut ruangan karena tidak ada yang peduli. Dan tentu saja, dalam kehidupan kami, berdoa termasuk dalam ritual ibadah yang sakral, sehingga tidak sepatutnya dipertontonkan dan dijadikan sebuah lahan basah nan lembab demi meraup keuntungan. Tapi aku yakin kita dalam taraf yang sama soal yang satu ini. Semoga saja.

Teman-temanku selalu bersaksi soal tenang dan tentramnya kondisi perutku. Mereka merasakan kehangatan luar biasa layaknya dekapan seorang karib keluarga yang iya atau tidak memiliki ikatan DNA. Barangkali ini yang menjadi alasan mengapa mereka rela kujadikan santapan. Padahal secara teknis, mereka tetaplah teman-temanku. Selain karena mereka tau ada kemungkinan besar bisa bereinkarnasi bila mendekam dalam perut jorokku.

Melalui tulisan ini aku berharap kepada kalian wahai manusia. Aku berharap kalian bisa meluangkan sedikit waktu demi keterhinaan teman-temanku, demi kelaparan yang aku derita, dan demi kebencianku pada kebersihan. Karena sejauh pengetahuanku, bangsa manusia adalah bangsa yang paling sempurna di muka bumi. Bukankah kalian rela berpanas-panas dan berteriak-teriak demi kesejahteraan teman-teman kalian? Kalian juga rela diteror begundal-begundal berpangkat demi lingkungan yang sehat, kan? Bahkan kalian juga rela berkorban demi sesuatu yang bahkan tidak dari ras dan golongan kalian, benar? Ya Tuhan, betapa mulianya manusia itu.

Karena itulah aku memohon kepada kalian. Tolong lihatlah kami. Sekali lagi, kalau Tuhan ciptakan kami bertangan dan berkaki, niscaya tulisan ini tidak akan pernah ada. Aku yakin Tuhan menyimpan hikmah yang besar di balik rahasianya.

Aku menangis dalam keheningan di suatu sudut membayangkan teman-temanku yang tak kalian gubris. Mereka kalap dalam aliran sungai, mereka menyesak di balkon-balkon gedung, mereka terisak di bawah kursi-kursi, mereka menggunung di pinggiran jalan, mereka kalian salahkan sebagai penyebab terjadinya bencana. Aku mohon, aku mohon. Bantulah kami.

Aku doakan supaya dimensi kehidupan bangsa manusia yang mulia selalu damai dalam keadilan. Agar ketimpangan perilaku antar bangsa yang Tuhan ciptakan tidak terjadi kepada kalian. Salam!

 

*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi

Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.