Praktik Perdagangan Manusia di Indonesia Rentan Menyasar Perempuan

Penulis : Ashila Razani**

Gagasanonline.com- Dalam rangka mempringati Hari Kartini, Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Suska Riau taja webinar bertajuk “Refleksi Peringatan Hari Kartini, Perempuan Dalam Prespektif Multidimensi” pada Kamis, 21 April 2022. Pada kesempatan ini, Dosen Universitas Padjajaran Benazir Bona Pratamawaty menyampaikan materi prespektif sosial budaya dengan mengangkat isu perdagangan manusia.

Ia mengatakan, berdasarkan data International Organization For Imigration (IOM) pada tahun 2005 sampai tahun 2017 di Indonesia terdapat 8.876 orang menjadi korban perdagangan manusia, dan didominasi oleh perempuan. Sedang data Gugus Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam kurun waktu 2015 sampai 2019 menemukan 2.646 korban perdagangan manusia, yang 2.300 diantaranya adalah perempuan.

“Kita harus membuka mata bersama-sama atas fenomena ini. Ini menunjukkan bahwa perempuan sangat rentan terhadap isu ini,” ujarnya Kamis (21/4/2022).

Benazir memaparkan beberapa jenis pedagangan manusia, di antaranya: penjualan anak, penyelundupan manusia, migrasi dengan tekanan, prostitusi anak, prositusi perempuan dewasa, dan perkawinan dini. Tahun 2017 Gugus Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang Pemerintah Indonesia merilis 5 zona merah perdagangan orang di Indonesia, yaitu: Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.

Bahkan, Benazir dan tim peneliti dari Universitas Padjajaran sempat melakukan penelitian di lima zona merah tersebut. Dan terjun langsung ke tiga provinsi di antaranya untuk melakukan observasi lapangan, berinteraksi dengan korban, berinteraksi dengan pelaku perekrutan perdagangan manusia, dan kepolisian setempat.

“Dengan kondisi pandemi seperti ini alhamdulillah kami sempat datang langsung ke tiga provinsi untuk melihat langsung kondisi lapangan,” ucap Benazir.

Saat melakukan penelitian, Benazir dan tim menemukan fakta bahwa, praktik perekrutan korban perdagangan manusia dilakukan anggota keluarga dan sudah menjadi hal yang normal bagi lingkungan setempat. Contohnya, di daerah NTT pelaku mendatangi orang tua dari anak perempuan yang masih di bawah umur dengan iming-iming akan menikahi anak tersebut. Kemudian pelaku memberikan uang sebesar lima juta rupiah sebagai ganti uang air susu ibu, praktik adat NTT ketika akan menikahi anak perempuan. Tetapi, pelaku menikahi korban bukan untuk dijadikan istri, melainkan dibawa keluar kota untuk dijadikan pekerja seks komersial.

Benazir menjelaskan, perdagangan manusia di Indonesia didukung beberapa faktor, ini meliputi: kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, budaya patriarki, lemahnya penegakan hukum, ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan, rentannya perbatasan antar negara yang memungkinkan perdagangan manusia antar negara, kurangnya perhatian aparat desa terhadap anak-anak yang putus sekolah, perilaku bebas remaja, sifat matrealistik dan konsumtif masyarakat, dan korupsi pejabat pemerintah yang turut menyuburkan praktik perdagangan manusia di Indonesia.

“Maka dari itu di sinilah peran kita bersama, sebisa mungkin dari latar belakang yang berbeda-beda ini bapak ibu, kita berdayakan perempuan di sekitar kita supaya mereka punya penghasilan sendiri,” ujarnya.

Harapan Benazir, dengan memiliki penghasilan sendiri dan mampu menghidupi keluarga, perempuan akan lebih terhindar dari godaan-godaan yang menjerumuskannya dalam praktik perdagangan manusia.

Reporter: Ashila Razani, Moh. Azhima
Editor: Delfi Ana Harahap
Foto: Tangkapan Layar Webinar Refleksi Peringatan Hari Kartini, Perempuan Dalam Prespektif Multidimensi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.