Dekan Fisip Unri Divonis Bebas, Begini Tanggapan Ketua DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

Penulis : Annisa Firdausi

Gagasanonline.comhttp://Gagasanonline.com – Masyarakat Riau khususnya mahasiswa dihebohkan dengan berita divonis bebasnya Dekan Nonaktif Fisipol Universitas Riau (Unri) Syafri Harto atas dugaan kasus pencabulan. Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, Estiono di Ruangan Prof Oemar Adji pukul 10.00 WIB, Rabu (30/3/2022).

“Terdakwa tidak terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU),” sebut hakim saat membacakan putusan.

Hakim menyatakan Syafri Harto dibebaskan dari segala dakwaan serta tuduhan yang menjeratnya. Hakim menilai unsur dakwaan JPU tidak terpenuhi, baik primer dan subsider.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Rian Sibarani yang mengawal kasus tersebut menyebutkan keputusan hakim menilai dakwaan jaksa tidak terbukti karena kekurangan saksi.

“Hakim memutuskan dakwaan jaksa tidak terbukti karena kekurangan saksi yang membuktikan pencabulan itu. Artinya hakim tidak berpedoman pada Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang penanganan perkara perempuan di pengadilan,” ungkapnya saat diwawancarai usai sidang.

Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD IMM) Riau, Alpin Jarkasi Husein Harahap menilai vonis majelis hakim pengadilan sangat tidak adil dan tidak memuat azas perspektif korban sedikit pun.

“Seseorang harus berpikir seakan-akan menjadi korban yang menderita, sakit, dan mungkin tidak paham akan sebuah pertanyaan karena masih anak-anak. Kemudian, dalil vonis yang digunakan oleh hakim terlalu kaku, administratif hingga tekstual,” ucapnya.

Alpin melanjutkan, pada hakikatnya hakim harus tunduk pada sepuluh prinsip-prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim, yaitu berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertangung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap profesional.

“Jadi muncul pertanyaan, etika dan pedoman perilaku mana yang dapat kita jadikan sebagai argumentasi untuk melegitimasi vonis majelis hakim pengadilan tersebut?,” lanjutnya, Jumat (1/4/2022).

Koordinator Umum Lingkar Peduli Pemilu dan Demokrasi (Lp2D) itu juga menilai, vonis hakim tersebut justru akan merusak nama baik Syafri Harto dan juga merusak citra dunia pendidikan khususnya Universitas tersebut.

“Bagaimana tidak? Pecah tangis korban berinsial LM tersebut akan membekas dalam sejarah dunia pendidikan, bahwa ketidakadilan dan perilaku cabul dilindungi oleh oknum birokrat kampus atas dasar menjaga nama baik kampus,” sebutnya.

Alpin merasa bahwa implementasi peraturan Kemendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi telah gagal total. Padahal peraturan tersebut dibuat untuk melindungi mahasiswa dari kekerasan seksual, mengoptimalkan penyelenggaraan tridharma perguruan tinggi, mencegah dan menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi.

“Namun yang terjadi justru sebaliknya, terduga pelaku divonis bebas dengan alasan tidak ada bukti kekerasan dan pengancaman. Aneh bin ajaib, perbuatan kekerasan seksual itu tidak mungkin dilakukan di tempat orang ramai. Karena kalau dilakukan ditempat ramai itu namanya kuliah umum, bukan pencabulan! Masuk akal bila tidak ada bukti pada kejadian ini,” tegasnya.

“Kampus menjerit dan menangis karena merasa telah dikhianati oleh intelektual tukang berseragam birokrat. Hakikat dan visi kampus dilahirkan adalah membebaskan warga bangsa dari kebodohan sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan tempat predator kekerasan seksual berkeliaran dan mencari mangsa!,” tambahnya prihatin.

Alpin berharap kampus harus bisa menjadi tempat yang nyaman, ramah, demokratis, freedom of speech and freedom of espression, serta menjadi tempat perlindungan mahasiswa khususnya penyintas kekerasan seksual. Sebab menurutnya jika mahasiswa nyaman dan merasa terlindungi maka ia juga akan lebih giat belajar dalam rangka menggapai mimpinya.

“Saya siap berdiskusi hingga berdebat dengan siapapun terkait dengan vonis tersebut, atas nama kejujuran dan keadilan! Bukan untuk gagah-gagahan apalagi gimmick semata,” pungkasnya.

Reporter: Annisa Firdausi

Editor: Rindi Ariska
Foto: Gagasan/Annisa Firdausi


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.