Penghargaan Pogau, Berawal dari Kurangnya Kepedulian Negara Terhadap HAM di Papua

Penulis : Ayu Safitri

Di tengah banyaknya tuntutan seorang jurnalis, mereka juga harus berani dan memperjuangkan kebenaran publik dan  keadilan Hak Asasi Manusia (HAM) diiringi suara hati mereka. Seperti yang digambarkan oleh Oktovianus Pogau, sosok dibalik lahirnya Penghargaan Jurnalisme Oktovianus Pogau dari Yayasan Pantau.

Yayasan Pantau adalah badan hukum di Jakarta yang bergerak dalam bidang jurnalisme. Dengan tujuan meningkatkan mutu jurnalisme, Yayasan Pantau memberikan  penghargaan Oktovianus Pogau kepada jurnalis atas keberaniannya meliput pelanggaran HAM. Bukan tanpa alasan, Yayasan Pantau menilai sosok Oktovianus Pogau cocok sebagai model wartawan Indonesia.

Dikutip dari laman pantau.or.id, Oktovianus Pogau sendiri merupakan seorang wartawan dan aktivis Papua. Ia lahir di Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua pada 5 Agustus 1992. Pogau meninggal di usia 23 tahun pada 31 Januari 2016 di Jayapura.

Pada saat berlangsungnya Kongres Papua III di Jayapura pada Oktober 2011, Pogau meliput kekerasan terhadap ratusan rakyat asli Papua yang mengakibatkan tiga orang Papua meninggal dan lima dipenjara atas tindak pidana makar (penyerangan). Namun tak ada satupun aparat Indonesia diperiksa dan dihukum atas kejadian tersebut. Media lain pun tak berani membantu Pogau memberitakan hal ini.

Pogau juga dipukuli polisi ketika meliput demonstrasi di Manokwari pada Oktober 2012. Ia menyuarakan pembatasan hak wartawan internasional meliput di Papua Barat sejak 1965. Kemudian ia juga melakukan protes terhadap pembatasan wartawan etnik Papua untuk kegiatan mata-mata yang kemudian dilirik Presiden Jokowi untuk dicabut pada tahun 2015.

Selain itu pada hari hak asasi manusia internasional, 10 Desember 2011 ia juga mendirikan website online ‘Suara Papua’. Di website tersebut Pogau melaporkan dengan kritis pelanggaran HAM dan ketidakadilan di Papua.

Karena keberanian Pogau yang terus memberikan wadah untuk suara masyarakat Papua dan kaum minoritas, penghargaan Jurnalisme Oktovianus Pogau diberikan setiap tahun untuk mengenang keberanian Pogau.

Masih dikutip dari Pantau.or.id, Coen Husain Pontoh salah satu juri pada penghargaan ini menyebutkan alasan pemakaian nama Oktovianus Pogau adalah karena keberaniannya menyuarakan suara kaum minoritas.

“Dia berasal dari etnik minoritas, lebih penting dia berani mempertaruhkan nyawanya untuk melaporkan peristiwa-peristiwa yang tidak berani dilaporkan oleh wartawan lain menyangkut kekerasan militer dan polisi di Papua serta kondisi Papua sesungguhnya,” kata Coen.

Seiring waktu berjalan, Penghargaan Oktovianus Pogau sudah enam kali diberikan kepada jurnalis. Tak hanya jurnalis lokal namun jurnalis internasional juga turut mendapat penghargaan ini. Penilaian atas keberanian jurnalis dilakukan oleh lima juri yang tergabung dalam yayasan Pantau, yaitu Andreas Harsono (Human Rights Watch, Jakarta), Alexander Mering (Gerakan Jurnalisme Kampung, Pontianak), Coen Husain Pontoh (Indo Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru), dan Yuliana Lantipo (Jubi, Jayapura).

Mengutip dari blog Andreas Harsono di andreasharsono.net , pada tahun 2017 Febriana Firdaus seorang wartawan kelahiran Kalisat, Kabupaten Jember, Jawa Timur mendapatkan Penghargaan keberanian jurnalisme Oktovianus Pogau. Ia layak mendapatkannya berkat aksi beraninya meliput tragedi 1965 sampai diskriminasi terhadap kaum LGBT, yang tidak dimengerti publik dan wartawan lainnya.

Pada tahun 2018 Citra Dyah Prastuti saat itu menjabat sebagai pemimpin redaksi di KBR (Kantor Berita Radio) di Jakarta, juga mendapat penghargaan keberanian jurnalisme Oktovianus Pogau. Ia kerap kali meliput banyak peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia. Mulai dari peristiwa operasi militer di Aceh pada tahun 2003,  kasus pembantaian massal 1965, pembunuhan Munir Thalib, diskriminasi terhadap Ahmadiyah sampai penutupan gereja-gereja. Ia juga membuat program  ‘Kabar Tanah Papua’ pada saat terjadinya kelaparan di Yahukimo.

Berita lainnya datang dari mahasiswa UGM, di tahun 2019 Citra Maudy dan Thovan Sugandi yang  tergabung kedalam BPPM (Badan Penerbitan Pers Mahasiswa) Balairung UGM dan juga  mendapatkan Penghargaan keberanian jurnalisme Oktovianus Pogau. Citra dan Thovan menerbitkan laporan ‘Nalar Pincang UGM atas kasus Pemerkosaan’ tentang mahasiswi yang diperkosa oleh teman setingkatnya. Liputan Citra dan Thovan membuat mahasiswa di Universitas lainnya juga ikut buka suara terhadap adanya kasus kekerasan seksual di kampus.

Di tahun 2020, Yael Sinaga dan Widiya Hastuti Mahasiswi USU yang tergabung dalam LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Suara USU, juga mendapatkan Penghargaan keberanian jurnalisme Oktovianus Pogau atas keberanian mereka mempertahankan dan memperjuangkan LPM Suara USU yang dibongkar Rektor USU, Runtung Sitepu 2019 lalu.

Di tahun 2021, Penghargaan Oktavianus pogau diterima oleh Philip Jacobson, seorang wartawan asal Chicago, Amerika Serikat. Philip acap kali meliput berita tentang lingkungan hidup termasuk juga terkait kerusakan hutan, serta kejahatan industri tambang dan hutan lainnya.

Pada tahun 2022 wartawan asal Maros, Sulawesi Selatan, Eko Rusdianto juga mendapatkan Penghargaan Oktavianus Pogau. Atas keberaniannya meliput kembali kasus yang sudah ditutup oleh pihak kepolisian tentang laporan pemerkosaan tiga orang anak oleh ayahnya sendiri.

Berita yang bertajuk ‘Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi , Polisi Menghentikan Penyelidikan’ itu membuat dunia maya dipenuhi hastag #percumalaporpolisi. Keberanian Eko membuat masyarakat dan aparat hukum sedikitnya bisa mengoreksi sendiri bagaimana seharusnya hukum berjalan demi keamanan masyarakat.

Dari banyaknya bentuk keberanian ini terlihat bahwa masih ada hati nurani yang kuat dalam diri seorang wartawan. Namun tetap saja perlu adanya dorongan dari publik untuk kritis, memilih serta mendukung kebenaran walau hanya melalui media sosial saja.

Editor : Annisa Firdausi

Gambar : Dok. Suarapapua.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.