Problematika Pelecehan Seksual Pada Anak dan Cara Orang Dewasa Menghadapinya

Penulis: Annisa Firdausi

Gagasanonlinne.com – Mendekati akhir 2021 kemarin kita dihadapi dengan banyaknya kasus pelecehan seksual, baik di pulau Jawa maupun Sumatera. Riau juga tentunya. Mulai dari kasus pelecehan seksual yang dilakukan Dekan Fisip Unri kepada mahasiswanya, seorang pria di Pekanbaru melecehkan anak perempuan berumur 6 tahun di masjid, hingga yang baru-baru ini kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa remaja berumur 15 tahun, di  mana korban masih duduk di bangku SMP.

Dikutip dari Medline Plus, Perpustakaan Kedokteran Nasional Amerika menjelaskan pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual. Bentuk pelecehan pun bisa bermacam-macam, seperti mempertontonkan pornografi pada anak, menjelaskan hal tak senonoh dari alat kelamin, meminta anak untuk melakukan aktivitas seksual, melakukan hubungan seksual, hingga menggunakan anak untuk merekam video pornografi.

Pelecehan seksual pada anak tidak memandang korbannya anak laki-laki maupun anak perempuan. Berdasarkan data yang didapat dari Jurnal Gail Hornor pada 2010, bahwa anak perempuan dan laki‐laki memungkinkan menjadi korban kekerasan seksual. Anak perempuan maupun laki‐laki yang merupakan korban pelecehan seksual mengalami sejumlah masalah yang sama antara lain trauma fisik dan psikologis yang berkepanjangan, kehilangan semangat hidup, membenci lawan jenis dan memiliki keinginan untuk balas dendam.

Oleh karena itu diperlukannya tenaga profesional untuk pendampingan agar membantu melindungi dan mengembalikan kehidupan normal korban sebab biasanya setelah mengalami kekerasan seksual korban akan menjadi pendiam, murung, menyendiri, malu untuk bersosialisasi kembali, dan mengalami trauma akibat apa yang telah dialaminya.

Kalau boleh kita mengingat kembali, baru-baru ini publik digemparkan dengan dugaan kasus pemerkosaan yang dilakukan salah satu anak DPRD Pekanbaru terhadap anak berumur 15 tahun. Mengejutkannya berdasarkan penuturan ayah korban, ternyata korban tak mendapatkan pendampingan psikolog setelah apa yang ia hadapi. Korban hanya mendapatkan nasehat-nasehat dari keluarga hingga ia kembali bersekolah. Padahal kalau dipikir-pikir, nasehat apa yang pantas untuk korban? Tetap sabar dan menganggap yang telah terjadi adalah ujian?

Mirisnya lagi, orang tua dari kedua belah pihak telah berdamai dan mencabut laporan. Tak hanya berdamai dengan tangan kosong, ada uang 80 juta pula dibalik perdamaian ini. Dalihnya uang tersebut digunakan untuk biaya pendidikan korban. Tentu saja publik kian heboh. Kedua belah pihak mengatakan memang telah sepakat berdamai sebelum uang tersebut diberikan, namun setelah uang 80 juta kas diberikan, esok harinya mereka menuju Polresta Pekanbaru untuk mencabut laporan.

Rosmaini, Ketum Lembaga Bantuan Perlindungan Perempuan dan Anak Riau (LBP2AR) saat baru-baru ini diwawancara sungguh menyayangkan pilihan pihak korban yang setuju berdamai. Kasarnya, jika memang setiap kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan dapat diselesaikan dengan uang, maka jumlah uang yang didapatkan orang tua berbanding lurus dengan jumlah banyaknya anak mereka yang dilecehkan.

Untungnya kasus pelecehan seksual bukan merupakan delik aduan, sehingga walaupun laporan telah dicabut dan kedua pihak berakhir damai, proses hukum tetap berjalan. Kabar terakhir, kini berkas kasus tengah dalam peninjauan oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Pekanbaru.

Praktisi psikologi UIN Suska Riau, Indah Damayanti mengatakan dukungan keluarga juga sangat dibutuhkan dalam proses penyembuhan traumatis korban pasca kejadian. Respons keluarga tidak boleh terlalu menyangkal bahwa kejadian itu sudah terjadi dan juga tidak boleh terlalu merespons berlebihan terhadap kejadian yang sudah terjadi.

“Jadi ada dua respons dari keluarga yang salah. Pertama, kadang keluarga akan berusaha menyangkal hal itu terjadi atau seperti pura-pura jika hal tersebut tidak pernah terjadi. Satu lagi, keluarga akan merespons berlebihan seperti, ‘Aduh kasihan anakku. Bagaimana masa depan anakku’. Itu juga respons yang tidak sehat dari keluarga. Jadi keluarga juga perlu kita terapi juga untuk memberikan respons yang tepat. Jadi dapat memberikan respons emosional tapi tidak berlebihan karena harus sama-sama kuat. Jadi selain korban, keluarganya juga kita terapi,” papar Indah.

Editor: Hendrik Khoirul Muhid
Ilustrasi : Istock

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.