Fenomena Korupsi Kepala Daerah di Indonesia Terkait SDA

Penulis: Annisa Firdausi

Gagasanonline.com – Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menaja diskusi terkait Stranat PK dan GNPSDA KPT di tengah OTT KPK di Kuansing. Dalam diskusi ini turut dibahas tentang Fenomena Korupsi Kepala Daerah di Indonesia terkait Sumber Daya Alam (SDA)

Dadang Triasongko, pegiat anti korupsi mengatakan korupsi Indonesia telah berlangsung sejak lama. Begitupula dengan korupsi di bidang Sumber Daya Alam (SDA) seperti hutan dan tambang.

“Jika pada jaman Soeharto korupsi ini terpimpin dan semua terpusat di sana, sekarang lebih menyebar. Bukan hanya perijinan SDA yang diembat kepala daerah, tapi juga proses recruitman pegawai pun juga. Jual beli jabatan di pemerintah daerah,” jelas Dadang, Jum’at (5/11/2021).

Dadang meyakini, yang membuat Indonesia menjadi negara yang sangat korup ialah korupsi politik dan korupsi di penegak hukum. Korupsi di penegak hukum mengunci korupsi politik agar tak terungkap.

“Itu lah disebut state capture, korupsi yang sempurna. Ini bukan hanya sekedar mempercepat proses perijinan,tapi juga UU. Kebijakan publik dikendalikan oleh kooperasi-kooperasi besar,orang-orang berpengaruh,mereka ‘membeli’ atau ‘memesan’ UU. Ini jauh lebih besar dampaknya,” ucapnya.

State capture itu sendiri adalah dimana arah dan proses pembuatan kebijakan publik dan regulasi pemerintah dikendalikan oleh beberapa kekuatan bisnis atau kelompok-kelompok berpengaruh tertentu yang bekerja dibelakang layar untuk memastikan substansi kebijakan dan aturan serta penerapannya memberikan keuntungan jangka panjang kepada mereka. Dengan berbagai bentuk praktik korupsi. Mereka ikut campur dalam perancangan, penerapan dan penegakan aturan.

“Negara ini dibajak. Bisa oleh pemerintah pusat atau daerah. Proses dan agenda legislasi diambil alih. Bagaimana? Bisa dengan suap atau menjanjikan suatu hal saat pensiun,” tutur Dadang.

Dadang juga menyebutkan hal ini terjadi disebabkan beberapa faktor. Pertama, jika pengawasan terhadap pemerintah lemah. Mayoritas anggota parlemen dikuasai pemerintah. Kedua, penegakan hukum yang korupsi. Ketiga, tidak ada aturan terkait tentang pejabat publik memiliki bisnis atau terafilasi dengan koorporasi bisnis, keempat proses pembuatan kebijakan publik dan regulasi tidak transparan.

“Lantaran politik kita sangat liberal,sehingga tidak ada aturan. Penegakan hukum korupsi. Belajar dari proses UUCK dan UU KPK yang selain prosesnya cepat juga tertutup. Dari sana indikasi ke arah state capture sudah sangat jelas,” katanya.

Transparency Internasional menjelaskan korupsi politik sebagai manipulasi kebijakan,institusi dan aturan tentang prosedur pengalokasian sumber daya dan keuangan oleh pejabat publik yang dipilih yang menyalahgunakan kewenangan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan,status dan kekayaannya.

“Kalau bicara anti korupsi,arahnya banyak sekali. Kita itu kecil,tapi yang dihadang besar dan kita mau semua itu terselesaikan. Tantangan kita berat. Yang luput dari fokus Stranas PK ialah integritas politik dan integritas penegakan hukum,” tutupnya.

Reporter: Annisa Firdausi
Editor: Hendrik Khoirul
Foto: Dok. Gagasan/Uci

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.