Hary B Kori’un: Di Antara Jurnalisme dan Sastra

Penulis: Bagus Pribadi

Gagasanonline.com-“Saya penulis yang memasukkan unsur-unsur sosial dalam karya cerpen atau novel.”

Sekitar satu jam sebelum mengucapkan kalimat itu, saya mengirim pesan melalui WhatsApp kepada Hary guna memberitahu bahwa saya sudah berada di parkiran Gedung Riau Pos pada Selasa, 11 Februari 2020. Sampai kami bertemu di dalam Gedung Riau Pos, tempatnya bekerja. Ia yang muncul dari dalam lift langsung meminta maaf kepada saya karena sudah menunggu. Mengenakan jaket berwarna merah, ia menunjuk sofa yang berada di sudut ruangan dan kemudian kami duduk di sofa tersebut.

Setelah saya hendak mewawancarainya, ia berkata, “Gak kondusif ya tempatnya?” tanyanya ke saya. “Di luar saja, ya, sekalian ngopi,” ia menawarkan, kemudian menunjuk sebuah kafe tak jauh dari Gedung Riau Pos.

Kami duduk berhadap-hadapan dalam sebuah meja di sudut ruangan kafe itu. Kafe itu tampak indah, meja dan kursinya berbahan kayu yang hanya dibuat menjadi halus dan kilat.

Hary menjelaskan caranya menuliskan karya sastra itu, biasa disebut orang sastra bertendensi. “Banyak pengarang tak menyukai gaya seperti ini,” katanya, “tapi menurut saya ini penting.”

Bagi Hary, seorang pengarang itu baiknya memiliki ideologi yang akan disampaikan, sehingga karya tersebut memiliki tujuan yang jelas. Menurutnya, memasukkan unsur-unsur persoalan sosial adalah upaya mempertahankan ideologinya. “Meskipun kita ‘memperalat karya sastra’,” imbuhnya.

Hary mengatakan ketika pembaca membaca cerpen atau novelnya, pembaca akan tahu ada persoalan dalam masyarakat. Persoalan politik, ekonomi, bahkan sosial, yang menjadi ironis dalam proses pembangunan di Indonesia. “Itu yang saya sampaikan di hampir seluruh novel dan cerpen saya,” ujarnya, “terakhir saya menulis cerpen Tambang Nanah. Pemahaman saya tentang bagaimana masyarakat di daerah tambang yang miskin sementara pekerja-pekerja kaya dan sebagainya, dengan gaji yang sangat tinggi,” terang Hary.

Menurutnya, kalau sastrawan hanya berbicara tentang dirinya sendiri, membicarakan tentang cintanya yang rumit, itu biasa saja. “Saya juga memasukkan unsur cinta dalam cerita saya, tapi ada masalah sosial yang ingin saya sampaikan. Meskipun dalam fiksi yang tidak bisa dipercaya seratus persen.”

“Di Riau ini kan ada dua masalah besar, tambang dan kebakaran hutan. Misalnya, dituduh illegal logging, padahal yang melakukan perusahaan. Masyarakat dituduh membakar lahan, padahal yang membakar lahan itu perusahaan. Nah, seperti ini yang saya angkat,” jelas Hary.

Keputusannya menciptakan karya fiksi dengan nilai-nilai sosial tak lain berangkat dari pengalamannya dalam kehidupan. Hary bercerita, pada masa Orde Baru keluarganya dipindahkan dari Jawa ke daerah transmigran di Rimbo Bujang, Jambi. Meski dipindah ke tanah yang lebih luas, namun secara ekonomi dan sosial membuat mereka mengalami kesulitan bertahun-tahun lamanya.

“Kami sempat sehari gak ketemu nasi. Makan harus dicampur dengan jagung atau ubi itu pernah,” akuinya.

Hary mengaku sangat parno dengan kondisi yang pernah dialaminya itu. “Sampai sekarang kalau ada orang bilang Orde Baru itu lebih baik dari sekarang, saya orang yang sangat tersinggung,” katanya dengan suara rendah, “saya pernah pulang dari Padang sewaktu kuliah, itu jalan kaki sejauh 25 kilometer. Dari simpang di jalan lintas Sumatera masuk ke desa saya itu 25 kilometer. Dan itu tidak ada mobil, masih jalan tanah jelek.”

Mau tak mau, pengalaman itu menjadi pengaruh dan membentuk penciptaan karya bagi Hary. “Novel saya yang judulnya Malam Hujan itu menceritakan keadaan keluarga saya, walau tak seratus persen sama,” terangnya.

***

Hary B Kori’un lahir di Pati, Jawa Tengah kemudian pindah ke Rimbo Bujang, Jambi dan hidup di sana sampai lulus SMA. Ia kemudian kuliah di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Andalas, Padang.

Hary mengisahkan awal menulis di bangku SMA. Ia menulis cerita di rubrik acara Lagu dan Kenangan di RRI Bengkulu. “Jadi itu menuliskan cerita berdasarkan sebuah lagu yang nantinya dibacakan oleh penyiarnya,” terangnya.

Ia mengatakan saat menulis cerita Lagu dan Kenangan, itu tulis tangan. “Waktu saya di kampung tidak punya mesin ketik, paling kalau mengetik pinjam di kantor desa.”

Hary mengaku sejak SMP sudah memantapkan diri ingin menjadi wartawan. Hal itu karena bapaknya yang sebagai ketua kelompok tani mendapatkan kiriman koran-koran bekas dari orang di kabupaten. “Dikirim rutin sebulan sekali, saya yang sering baca. Dari sana saya tertarik dengan dunia kewartawanan,” ujarnya.

Keyakinannya untuk menjadi seorang wartawan tidak pudar dan semakin besar ketika tamat SMA. Ia dengan mantap memilih kuliah di Padang karena baginya, di Sumatera, koran yang bagus itu adanya di Sumatera Utara dan Sumatera Barat.

“Padahal teman-teman saya kuliah di Jambi. Tapi saya pikir akan sulit jadi wartawan kalau saya kuliah di Jambi, karena pada waktu itu di Jambi hanya ada dua koran mingguan,” ungkap Hary.

Berkuliah di Padang pada 1992 dan di tahun pertama kuliahnya itu, kali pertama pula cerpennya dimuat di Harian Haluan. Setelah itu, di tahun yang sama ia menulis ulasan pertandingan sepak bola untuk Harian Singgalang. “Saya suka sepak bola dan saya menuliskan itu. Sebetulnya bertolak belakang, ya, dengan sastra. Tapi saya melakoninya sampai sekarang,” katanya diikuti tawa.

Menurut Hary, publikasi karya ke media itu penting, untuk menunjukkan bahwa karya itu dikurasi, dinilai oleh orang lain. Tambahnya, hal itu berbeda dengan misalnya, punya puisi kemudian dibukukan dengan biaya sendiri.

“Dalam hal membangun literasi, yang seperti itu menurut saya kurang bagus karena asik dengan diri sendiri. Misalnya buku dicetak 10 ekslempar hanya untuk diri sendiri, apa pentingya untuk orang lain? Menurut saya sebuah karya itu harus dibaca orang lain,” tutur Hary.

Ia lanjut bercerita, pada 1996 Hary bekerja untuk Tabloid Tribun Olahraga. Tak lama dari situ, ia ditawari bekerja di Majalah Tiras. Setelahnya ia lulus kuliah dan mengadu nasib di Jakarta selama setahun, sampai akhirnya ke Riau.

“Di Riau, saya bekerja di koran olahraga, Penalti sampai awal 2004. Setelah itu saya ditarik Riau Pos sampai hari ini. Sekarang saya di Riaupos.co sebagai Redaktur Pelaksana.

Di sisi kesusastraan, novel pertama yang digarapnya berjudul Nyanyian Batang Hari. Hary menggarap novel itu bersamaan saat penggarapan skripsinya. “Skripsi ini kan bikin stres, ya, jadi untuk menghilangkan itu saya menulis novel.”

Tapi yang pertama kali jadi buku bukan Nyanyian Batang Hari, melainkan novelnya yang berjudul Jejak Hujan. Hal itu karena Hary mengikuti lomba menulis novel Radio Belanda, dan ia masuk nominasi dan diterbitkan oleh Penerbit Grasindo. Beberapa bulan kemudian, Hary menang lomba menulis novel tingkat Riau oleh Yayasan Gurindam, yaitu novelnya Nyanyi Sunyi dari Indragiri, kemudian dicetak oleh Gurindam Press.

“Jadi yang jadi buku duluan malah dua novel saya itu. Di akhir tahun 2005 baru Nyanyian Batang Hari itu diterbitkan oleh Penerbit Akar Yogyakarta. Sampai sekarang saya sudah ada tujuh novel, satu kumpulan cerpen,” katanya menerangkan.

***

Dengan model penggarapan karya fiksi yang dilakukan Hary yakni, meletakkan persoalan sosial yang berangkat dari kehidupan nyata, saya menanyakan, “seberapa penting observasi bagi anda guna penggarapan karya fiksi?”

“Kebetulan saya wartawan, jadi ini mempermudah saya dalam melakukan observasi, minimal melihat apa yang terjadilah,” jawabnya sambil tertawa.

Pekerjaan sebagai wartawan, membuat Hary hampir setiap minggu turun ke lapangan. Ia menjelaskan, kerap kali ia melakukan peliputan ke Hutan Tesso Nillo, Rimbang Baling, dan daerah lainnya. Sambil melakukan peliputan, acap kali Hary mengamati persoalan-persoalan masyarakat, yang pada akhirnya tidak bisa disuarakan melalui jurnalisme.

“Novel Nyanyian Batang Hari, itu hasil riset saya untuk skripsi. Saya menulis skripsi tentang orang-orang Indonesia di Suriname, kemudian pulang dari Suriname ditempatkan di Simpang Empat, Pasaman Barat,” ungkapnya.

Menurut penuturan Hary, di Pasaman Barat ada konflik sosial dan budaya. Itu yang kemudian dituliskannya dalam Nyanyian Batang Hari. “Hampir semua novel saya itu berangkat dari apa yang saya lihat. Karena itu tidak bisa saya tulis secara fakta di pers. Ya, walaupun itu tidak bisa dijadikan data rujukan, karena bersifat fiksi,” tutur Hary.

“Berarti ini seperti apa yang dibilang Seno Gumira Ajidarma, ‘ketika jurnalisme dibungkam sastra harus bicara’?” tanya saya.

“Ya, tapi kalau dibilang seperti Seno itu berbeda karena dia hidup di zaman represif. Sekarang jurnalisme sudah sangat terbuka, apa saja bisa kita tulis. Saya tetap menganggap ada hal-hal yang tetap tidak bisa saya tulis di karya jurnalistik. Kalau itu saya tulis sebagai karya jurnalistik terlalu vulgar. Menuliskannya sebagai karya jurnalistik hanya per persoalan, secara menyeluruh saya menuliskan di karya sastra. Pengalaman teman-teman yang membaca novel saya itu, mereka merasa itu kejadian nyata karena saya tak menyembunyikan tempat. Setting kejadian itu tetap saya tulis meskipun kejadiannya fiksi karena dramatisasi dalam novel,” jawabnya, “jurnalisme banyak dibatasi berbagai hal, kode etik dan lainnya, makanya saya merasa bebas di karya fiksi.”

***

Kegiatan tulis-menulis tak bisa dipisahkan dengan membaca, begitu pula dengan Hary. Hary mengaku sudah mulai sering membaca sejak kelas 5 SD di perpustakaan sekolahnya. “Tapi itu bukan sastra, banyak buku sejarah. Mungkin itu dasar mengapa saya memilih kuliah di Jurusan Sejarah. Waktu itu ada mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa).”

Saat ia di bangku SMP, perpustakaan sekolahnya memiliki banyak buku cerita wayang. “Karena Rimbo Bujang itu kan daerah transmigran yang separuh penduduknya itu bersuku Jawa,” terangnya.

Saat SMA, Hary sering dan suka dengan Majalah HAI. “Waktu itu HAI sedang bagus-bagusnya,” ucapnya. Kemudian di daerahnya beredar novel-novel remaja, seperti karya Fredy S. Ia mengaku saat itu juga sudah baca novelnya Ashadi Siregar yang difilmkan, misalnya  Cerita di Kampus Biru.

“Karya-karya populerlah, ya, selain yang seperti itu tak ada di perpustakaan sekolah saya,” ungkapnya.

Bahkan, pada saat SMA Hary berambisi bisa menulis novel seperti Ashadi Siregar. “Dalam bayangan pelajar SMA, bagaimana sebuah novel bisa difilmkan. Soalnya hampir semua novelnya difilmkan,” ujarnya penuh tawa.

Saat kuliah, Hary baru bisa menjumpai karya-karya sastra selain dari aliran populer. Ia membaca karya Kuntowijoyo, cerpen berjudul Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, misalnya, sangat menarik perhatiannya. Kemudian di generasi selanjutnya, Hary membaca karya Ayu Utami yang menang di Dewan Kesenian Jakarta berjudul Saman.

“Saman itu sangat berpengaruh bagi saya. Banyak orang bilang gaya kepenulisan saya seperti Ayu Utami, meski saya berusaha keluar dari sana,” tambahnya.

Dengan raut wajah berbinar, ia mengatakan sangat menyukai karya-karya Isabel Allende, penulis asal Chili itu. The House of  The Spirit misalnya, sangat berpengaruh bagi kepenulisan Hary. “Sampai sekarang kalau saya mau menulis novel atau cerpen, saya membaca The House of The Spirit,” ungkapnya.

Terkait kesenangannya kepada karya-karya Isabel Allende, mendorong saya menanyakan seberapa penting penerjemahan dalam karya sastra. Hary mengatakan penerjemahan karya itu penting, karena bisa membangun diri kita untuk perbandingan, baik bagi pengarang maupun pembaca.

“Dulu saya membaca terbata-bata dalam Bahasa Inggris The House of The Spirit, sekarang sangat mudah menemukan terjemahannya,” ujarnya,  “sekarang penulis Indonesia juga banyak karyanya yang diterjemahkan ke bahasa asing, seperti Eka Kurniawan. Itu sesuatu yang maju dalam kepenulisan kita,” katanya menambahkan.

Untuk cerpen, Hary mengaku sangat menyukai karya Seno Gumira Ajidarma. Baginya, Seno bisa menuliskan apa saja dari hal apa saja.

Saya menanyakan kepada Hary tentang Pramoedya Ananta Toer, mengingat orang-orang selalu beranggapan bahwa belum lengkap rasanya jika membaca sastra tapi tak membaca karya Pram.

Kali ini suaranya rendah, ia mengatakan tidak fanatik dengan Pramoedya Ananta Toer. Ia mengaku membaca karyanya seperti Tetralogi Pulau Buru, Gadis Pantai, dan sebagainya. Tapi Hary tak terpengaruh dengan Pram. Hary mengaku merasa biasa saja dengan Pram, di tengah banyaknya orang yang tergila-gila dengan karya Pram. “Saya apresiasi pada bagaimana kegigihannya melakukan tendensi terhadap karyanya,” kata Hary.

Ada hal yang membuat Hary tak bisa mengidolakan Pram, yakni ketika membaca sejarah Pram. Kata Hary, Pram memusuhi orang lain. Mau tak mau, Hary mengatakan Pram tokoh Lekra, dan Lekra ketika itu memusuhi lawan-lawannya, artinya Pram berpolitik praktis.

“Saya tidak pernah percaya dengan lembaga politik, sampai sekarang. Saya tidak suka komunis, saya suka sosialis. Itu konsep yang berbeda. Saya membawa sosialisme ke dalam ide saya. Sosialis lebih kepada ide, bukan tataran yang diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari seperti yang dilakukan Lenin dan Stalin. Kalau sosialisme itu lebih humanis, dan itu yang saya bawa ke karya,” terang Hary pada saya, “saya pernah menulis esai di Riau Pos, malah mengkritik Pram. Bukan berarti saya berada di orang-orang Manikebu,” tambahnya.

Saya paham apa yang dikatakan Hary. Saya yang saat ini mendalami karya-karya Ursula K Le Guin dan Ryunosuke Akutagawa, ketertarikan saya kepada sastra itu tak bisa dilepas dari karya Pram karena itu yang saya baca terlebih dahulu.

Terakhir, saya punya harapan besar dengan penulis saat ini, dan itu yang saya tanyakan kepada Hary. Hary berkata ada banyak penulis baru sekarang, tapi berbeda dengan visinya. “Banyak penulis sekarang yang menulis cenderung ke kehidupan pribadi tanpa menyentuh masyarakat sekitarnya. Mereka melahirkan karya-karya yang sangat privasi. Ya, tidak ada salahnya dengan itu, tapi tidak cocok dengan saya,” pungkasnya dengan suara pelan dan menunduk setelah berkata demikian.

Reporter: Bagus Pribadi
Editor: Siti Nurlaila Lubis
Foto:Bagus Pribadi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.