[Opini]: Namaku UKT

Hai, perkenalkan, namaku Uang Kuliah Tunggal atau biasa mereka sapa UKT. Aku dilahirkan lewat peraturan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 55 tahun 2013 lalu. Kata mereka, tujuan aku dihadirkan di dunia ini adalah untuk membantu membiayai pendidikan para pemuda-pemudi miskin di tingkat universitas. Sistemnya, pemuda-pemudi yang kaya akan mendapatkan UKT tinggi, sedangkan yang berekonomi miskin, mendapatkan UKT rendah, jadi si kaya akan membantu membiayai si miskin.

Tapi makin kesini, aku semakin merasa kalau keberadaanku tak di inginkan. Banyak pemuda-pemudi di belahan Indonesia ini yang menentang keberadaanku. Mereka bilang, aku tak tepat sasaran. Aku semakin memberatkan. Aku hanya ‘alat’ untuk mendapatkan keuntungan lebih bagi para tikus berdasi. Aku hanya penambah masalah di tatanan sistem pendidikan. Aku hanya, ah sudahlah, sehina itukah aku? Seburuk itukah aku?

Aku semakin merasa terhina saat mendengar para orang tua dari pemuda-pemudi itu berujar lirih ‘nak, kenapa uang kuliahmu begitu mahal?’, ‘nak, berhenti saja kuliah, ayah ibu tak punya biaya untuk membayar uang kuliahmu’, dan ucapan-ucapan senada lainnya. Lantas bagaimana perasaan pemuda-pemudi itu? Bagaimana perasaan mereka saat mimpi mereka harus dibungkam hanya karna kemiskinan? Bagaimana perasaan mereka saat ‘takdir’ tak berpihak pada mereka hanya dengan alasan uang?

Hah, miris! Miris saat di dunia ini hati nurani bisa ditukar dengan uang. Miris saat uang sudah menjadi segala-galanya, bahkan tak mempedulikan lagi persoalan benar atau salah. Bagaimana keadaan Indonesia 10 atau bahkan 15 tahun kedepan dimana pemuda-pemudi itu nantinya yang akan mengemban amanah untuk memajukan Indonesia? Apakah negara-negara ini akan dipimpin oleh orang-orang bodoh? Entah mengapa hatiku merasa sakit membayangkannya. Sakit saat mengetahui realita nyata yang disebabkan oleh diriku. Padahal aku hadir untuk meringankan, tapi pada kenyataan sebenarnya justru sebaliknya.

Siapa yang harus disalahkan atas semua ini? Siapa yang akan bertanggung jawab atas semua ini? Haruskah aku yang disalahkan untuk sesuatu yang tidak aku perbuat? Tidak! Itu semua bukan salahku, aku pun hanya korban.

Aku hanya ingin sedikit menyampaikan pesan untuk bapak ibu yang terhormat yang memegang kendali atas persoalan diriku. Pak, bu, maaf atas kelancangan diriku. Maaf jika apa yang aku katakana ini tak berkenan, tapi tolong dengarkan, jika bapak ibu masih memiliki hati nurani.

Pak bu, tolong revisi aku jika memang tidak tepat sasaran. Jangan ada lagi yang namanya ‘bekingan’ bagi mahasiswa kaya untuk mendapatkan aku dengan tingkatan rendah. Terima dengan tangan terbuka jika pemuda-pemudi itu meminta banding. Jangan ambil lagi biaya tambahan diluar diriku, karena memang sudah ada peraturannya. Pemuda-pemudi itu hanya pengen mengenyam pendidikan. Mereka hanya pengen menuntut ilmu. Jangan bungkam mimpi mereka. Jangan enyahkan harapan mereka. Jangan hanya karena ‘ego’ bapak ibu, sehingga para pemuda-pemudi itu menjadi korbannya.

Coba bayangkan mereka itu anak kandung bapak ibu, apakah kalian masih rela merampas mimpi-mimpi mereka? Jangan hanya karena dunia sesaat, kalian gadaikan kebenaran. Kalian gadaikan hati nurani. Hidup hanya sesaat. Harta benda yang dimiliki tak kan pernah dibawa mati. Tolonglah pak bu, kasihan mereka. Kasihan orang tua mereka.

Terimakasih pak bu sudah mendengarkanku. Semoga setelah ini, tak ada lagi yang mempermasalahkan diriku. Aku hanya ingin hidup dengan tenang. Aku hanya ingin keberadaanku benar-benar berguna. Aku hanya ingin diriku dihadirkan sebagai sesuatu yang bermanfaat. Semoga saja! ~

 

Penulis: Muthi Haura

Kru LPM Gagasan UIN Suska Riau

 

One thought on “[Opini]: Namaku UKT”

  1. Assamualaikum..
    Dalm perturan jika trlambat mnyerahkan hadrcopy ukt akan dttpkan ukt 5, aku adalah salah stu ny.
    Apakah bisa klurga ku yg miskin mmbayar ukt 5.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.