‘Aku Ingin Lari Jauh’: Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia

Penulis: Tika Ayu

Gagasanonline.com- Human Right Watch (HRW), organisasi non pemerintah yang fokus pada permasalahan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) mengeluarkan laporan berjudul ‘Aku Ingin Lari Jauh’: Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia,” yang jadi kumpulan dokumentasi sejarah bermacam peraturan dan perundungan pemaksaan penggunaan jilbab yang menyebabkan tekanan psikologis pada perempuan dan anak perempuan.

“Sejumlah peraturan dan kebijakan di Indonesia sudah terlalu lama memberlakukan aturan busana yang diskriminatif terhadap perempuan dan anak perempuan di sekolah dan tempat kerja. Ini melanggar hak mereka untuk bebas dari pemaksaan dalam beragama,” kata Elaine Pearson dari HRW. 

Akar munculnya keyakinan penegasan penggunaan jilbab bagi para civitas akademik ditandai sejak dikeluarkannya peraturan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 1999 dan 2004, yang mengesahkan undang-undang otonomi daerah memberikan kewenangan pada pemerintah provinsi serta kabupatan/kota untuk mengatur sektor pendidikan dan pelayanan publik daerah. 

Baca juga: Sikapi Kekerasan Berbasis Gender Online dengan Selektif Bagikan Informasi Pribadi

Khoriro Ali Nasional dari Commission on Violence Agains Women  mengatakan adanya peraturan diskriminatif seperti yang ada selama ini menimbulkan dampak luar biasa bagi perempuan Indonesia.

“Dampaknya itu luar biasa bagi perempuan, ada yang ditunda jabatannya, juga ada perempuan yang tidak dilayani di kantor-kantor pemerintah karena dia dianggap tidak menggunakan busana yang sopan sebagaimana peraturan daerah itu berlaku,” katanya.

2014 lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang menjabat kala itu, Mohammad Nuh mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Republik Indonesia nomor 45 yang di dalamnya diterakan dua pilihan seragam sekolah, salah satunya seragam panjang tanpa kewajiban mengenakan jilbab.

Baca juga: Menolak Bungkam Kekerasan Seksual di Institusi Agama dan Pendidikan

“Saya membuat peraturan itu. Tapi jilbab tidak wajib, tidak ada kata wajib di sana. Setiap siswi muslim seharusnya bisa memilih apakah akan memakai jilbab atau tidak,” ucapnya.

Namun HRW mengatakan peraturan tentang seragam sekolah pada 2014 lalu mengandung kata-kata ambigu, sehingga ditafsirkan pemerintah daerah salah satunya di Sumatera Barat bahwa penggunaan jilbab menjadi bagian dari seragam muslim di mayoritas orang muslim. Menjadikan banyak kasus siswi dan guru beragama non muslim dipaksa menggunakan seragam dengan jilbab di tengah sekolah yang orangnya mayoritas muslim.

Salah satu kasus datang dari Elianu Hia yang beragama Kristen, ia dimintai salah seorang guru agar anaknya mengenakan jilbab di salah satu sekolah negeri di Padang, Sumatera Barat meski anaknya non muslim. Percakapan tersebut direkam dan diunggah Elianu di lama Facebooknya, menjadikan vidio tersebut ramai diperbincangkan.

Baca juga: Kenali Beragam Bentuk Kekerasan Seksual

Jauh ke belakang, sejak 2001 pemerintah daerah sudah mengeluarkan lebih dari 600 peraturan untuk menegakkan apa yang mereka klaim sebagai “busana muslimah.” Komnas Perempuan menemukan sepanjang 2009-2016 terdapat 421 peraturan daerah sarat akan diskriminasi pakaian perempuan dan agama minoritas disahkan.

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan kejadian pemaksaan berbusana sesuai kelompok tertentu menjadi fenomena ‘gunung es’, yang berarti banyak permasalahan yang tak nampak di permukaan.

Pada akhirnya permasalahan ini menciptakan kolaborasi Mendikbud Nadiem Makariem, Mendagri Tito Karnavian, dan Menag Yaqut Cholil Qoumas dengan ditekennya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri guna mengatasi permasalahan seragam atau atribut agama tertentu, yang mencakup sekolah negeri di bawah pengelolaan pemerintah daerah dan Kemendikbud. Dan tidak meliputi sekolah negeri dan Perguruan Tinggi Islam di bawah naungan Kementerian Agama.

Baca juga: Perjuangan Body Shop Melawan Tindakan Kekerasan dan Pelecehan Terhadap Perempuan

Ditegaskan dalam SKB Tiga Menteri tersebut bahwa pemerintah daerah dan kepala sekolah mesti mencabut semua aturan wajib jilbab sebelum 5 Maret 2021, jika tidak dipatuhi maka Mendikbud berwenang menahan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

“SKB ini merupakan langkah yang sudah lama tertunda untuk mengakhiri dikriminasi aturan pakaian untuk perempuan dan anak perempuan di sekolah Indonesia,” sebut HRW.

Menurut Alisa Wahid dari Jaringan Gusdurian dengan adanya SKB Tiga Menteri menjadi langkah besar untuk banyak perubahan.

“Kesempatan ini kita melihat apakah regulasi ini akan diimplementasikan, karena kita tidak punya semacam regulasi seperti ini dari pemerintah, ini langkah besar,” ucapnya.

Reporter: Tika Ayu
Editor: Delfi Ana Harahap
Foto: Ilustrasi yang diambil dari laman Magdalene.co

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.