Menolak Bungkam Kekerasan Seksual di Institusi Agama dan Pendidikan

Penulis: Delfi Ana Harahap

Gagasanonline.com- Kelompok Perempuan Katolik Pejuang Kemanusiaan dan HAM (KPK-PKH) Yogyakarta, Margretha Diana mengatakan skandal kekerasan seksual di lingkungan gereja Katolik bukan hal baru. Ia memaparkan data dari Romo Joseph Kristanto, Sekretaris Komisi Seminar Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) di November 2019 setidaknya ada 56 korban kekerasan seksual (KS) di lingkungan gereja di Indonesia.

“21 Korban dari seminaris atau frater, 20 suster, 15 korban dari kalangan awam atau umat. Sementara pelakunya adalah 33 pastor atau klerus dan 23 dari kalangan non religius atau sebutan untuk orang awam yang tugasnya membantu gereja,” terang Margaretha dalam webinar Menolak Bungkam Kekerasan Seksual dalam Institusi Agama, Jumat (05/03/2021).

Margaretha mengatakan data yang sudah dikumpulkan tidak valid sama sekali karena pada umumnya dalam kasus KS banyak korban malu dan tidak punya keberanian melapor ke pihak berwajib. Menurut Margaretha korban enggan melaporkan kasus KS karena adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban, stigma dari masyarakat bahwasannya pemuka agama orang suci yang tak mungkin melakukan KS, masyarakat masih menganggap KS sebagai aib yang harus ditutupi dan korban tidak mendapat dukungan untuk melaporkan kasusnya, apalagi jika pelaku kaum pastor.

Baca juga: Kenali Beragam Bentuk Kekerasan Seksual

“Hal ini menyebabkan kasus KS banyak tak terungkap dan korban terpaksa diam. Di kasus-kasus tertentu yang melibatkan perempuan dewasa, korban justru dianggap sebagai penggoda kaum pastor atau victim blaming dan masih ada anggapan bahwa kasus-kasus KS yang terjadi di lingkungan gereja tabu untuk dibicarakan. Hukum di negeri ini belum ramah korban, jadi keluarga harus memberikan dukungan pada korban,” tuturnya.

Kata Margaretha memindahkan pastor dengan kasus KS dari satu daerah ke daerah lain dengan maksud pertobatan sama sekali tidak efektif membuat pelaku bertobat, justru membuka peluang bagi si pastor untuk mencari korban baru di gereja baru.

“Padahal dalam hukum Kanonik tertulis dengan jelas bahwa mereka, para pastor atau romo atau imam yang berjanji menerima janji imamat tidak boleh terlibat hubungan seksual dengan siapapun, apalagi sampai skandal seksual,” ucapnya.

Baca juga: Perjuangan Body Shop Melawan Tindakan Kekerasan dan Pelecehan Terhadap Perempuan

Komisioner Komnas Perempuan sekaligus Dosen Senior Ma’had Aly Situbondo, Imam Nakha’i mengatakan kasus KS dalam institusi pendidikan mengalami peningkatan dan banyak kasus yang diselesaikan dengan mediasi perdamaian.

“Komnas Perempuan di tahun 2021 ini berencana membuat penelitian mengenai kasus KS di lembaga pendidikan, bentuk-bentuk KS di lembaga pendidikan. Agar adanya data tunggal kasus KS di lingkup lembaga pendidikan. Semakin banyak pengungkapan KS di lembaga pendidikan tentu semakin bagus,” terangnya.

Kata Imam Komnas Perempuan bekerjasama dengan Kemendikbud membuat SOP pencegahan dan penanganan KS di Institusi Perguruan Tinggi yang sudah ditanda tangani delapan Rektor. Menurut Imam memberikan pelatihan pencegahan KS dan mengkampanyekan isu KS dan hak-hak korban KS dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pencegahan dan penanganan KS.

Baca juga: Mengenal Buah Mengkudu dan Manfaatnya bagi Kesehatan

“Kehadiran RUU PKS nyata diperlukan korban KS, negara perlu punya aturan mengenai KS agar tidak terjadinya pembungkaman korban,” tuturnya.

Imam menuturkan korban KS sering bungkam karena relasi kuasa membuat korban menjadi korban dua kali, korban sering disalahkan dan penegakan hukum negara yang tidak berpihak pada korban karena regulasinya yang rumit.

“KS ini kejahatan, beda dengan suka sama suka. Jadi harus diadukan,” tandasnya.

Reporter: Delfi Ana Harahap
Foto: Tangkapan Layar Webinar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.