Membela Diri dalam Empat Babak

Penulis: Bagus Pribadi

Judul: Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak
Sutradara: Mouly Surya
Produser: Rama Adi, Fauzan Zidni
Pemeran: Marsha Timothy, Dea Panendra, Yoga Pratama, Egi Fedly
Sinematografi: Yunus Pasolang
Durasi: 90 menit
Negara: Indonesia
Bahasa: Indonesia

Gagasanonline.com-“Aku perempuan paling sial sudah malam ini.” Kalimat itu salah satu dialog yang diucapkan Marlina (Marsha Timothy) dengan logat Sumba, setelah ia mengetahui tujuan Markus (Egy Fedly) datang ke rumahnya untuk merampok.

Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak adalah film yang disutradarai oleh Mouly Surya. Sebelumnya Mouly sudah menyutradarai dua film panjang yaitu Fiksi (2008) dan Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta (2013). Tak seperti dua film panjang sebelumnya, seperti judulnya, film panjang ketiga Mouly ini dibagi atas empat babak. Empat babak tersebut ialah Perampokan, Perjalanan, Pengakuan, dan Kelahiran.

Di babak perampokan, terpampang hamparan sabana khas Sumba. Perlahan-lahan muncul motor butut Markus dengan suara bising dari ujung penglihatan. Motor itu semakin mendekati rumah Marlina, satu-satunya rumah di tengah-tengah sabana itu. Rumah yang bagian bawah sampai tengah dindingnya dibuat dari kayu dan dari tengah sampai atas terbuat dari anyaman bambu. Suguhan awal film ini memanjakan mata kita sebagai penonton yang sehari-harinya berada di kota.

Markus masuk ke rumah Marlina dan menyampaikan tujuannya datang untuk mencuri ternak milik Marlina yang ada di belakang rumahnya. Tak hanya itu, setelah melihat mumi khas Sumba suami Marlina di pojok rumah. Markus berkata akan memperkosa Marlina secara bergantian dengan enam temannya yang datang menjelang redupnya matahari. Di bagian ini peran Markus sangat realistis, dengan gamblang ia mengatakan tujuannya dan menganggap Marlina pasrah dengan keadaan. Markus juga menyuruh Marlina memasakkan sup ayam untuknya dan enam temannya.

Potret perempuan yang bertempat di dapur menjadi hal yang tak biasa. Hal itu dikarenakan, dapur menjadi tempat Marlina berpikir keras tentang bagaimana melumpuhkan tujuh perampok yang berada di rumahnya. Dapur yang identik dengan kelemahan perempuan menjadi sumber kekuatan di film ini. Di dapurlah Marlina merasakan kegelisahan yang sangat hingga mendapatkan ide untuk membunuh Markus dan kawan-kawan.

Marlina menghidangkan sup ayam sebagai makan malam para perampoknya. Mengambil sup ayam dan nasi ke mangkok mereka masing-masing dan menuangkan air minum ke gelas empat para perampok. Markus sedang berbaring di kamar Marlina, sedang dua perampok lagi yang masih muda bekerja mengangkut hewan ternak Marlina ke dalam truk.

Sangat jelas sekali Mouly menggambarkan patriarki di film ini. Di mana Marlina harus menyuguhkan makanan ke lelaki satu persatu. Juga feodalisme yang terdapat di dua perampok yang mengangkut hewan ternak Marlina. Mereka yang bekerja adalah orang yang masih muda, dibandingkan Markus yang seperti kakek-kakek dan kawannya yang menuju menyerupai kakek-kakek.

Sampai pada keempat perampok itu tumbang oleh racun yang ditaruh Marlina ke dalam sup ayam tersebut. Sedangkan Markus mencoba memperkosa Marlina di kamar. Tetapi, saat Marlina tengah diperkosa, dengan sigap ia menarik parang dari sarungnya dan langsung menebas kepala Markus. Kepala itu terpelanting ke ujung kamar, sedang badan Markus berada di atas kasur.

Di babak perjalanan, Marlina berencana mengadukan kejadian yang ia alami kepada pihak kepolisian. Ia berjalan membawa kepala Markus menuju kantor polisi yang jaraknya jauh dari rumahnya. Di sini, kembali kita dimanjakan oleh pemandangan Sumba yang sangat apik. Namun kali ini dihiasi oleh kepala Markus.

Saat Marlina menunggu angkuta berupa truk yang diberi tenda, ia bertemu dengan Novi (Dea Panendra). Novi sedang hamil tua, usia kandungannya 10 bulan. Novi yang tak menyimpan ketakutan berlebih terhadap kepala Markus yang dibawa Marlina, bercerita panjang tentang kandungannya yang dikira sungsang oleh suaminya, Umbu karena tak lahir-lahir. Sampai pada tuduhan suaminya atas dirinya yang dianggap selingkuh. Novi sangat fasih menceritakan kehidupannya dengan suaminya yang dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia.

Setelah menaiki angkutan, Marlina juga bertemu dengan seorang mama yang juga menaiki angkutan itu. Mama itu juga tak menyimpan ketakutan atas kepala Markus yang badannya tinggal di rumah Marlina. Berbanding terbalik saat Marlina naik angkutan dan semua orang yang isinya lelaki, turun dan berlarian dari angkutan itu perkara melihat kepala Markus. Di sini sangat jelas, Mouly menampilkan kegagahan perempuan dan narasi menentang patriarki.

Tak hanya itu, di tengah perjalanan, angkutan berhenti karena Marlina dan Novi kebelet buang air kecil. Di sabana luas yang terbentang, Marlina dan Novi dengan santai jongkok, lalu buang air kecil sambil mengobrol. Hanya beberapa meter dari jalan dan tempat angkutan mereka berhenti. Tentu yang diobrolin terkait masalah rumah tangga Novi yang sama sekali mereka anggap tak tabu.

Sepanjang babak perjalanan ini, adalah bagian paling indah dalam film ini. Sabana khas Sumba yang tak habis-habisnya, dan pesan-pesan yang disampaikan Mouly melawan stigma kebanyakan masyarakat Indonesia. Menumbangkan budaya patriarki yang tak disadari oleh perempuan dan cukup disadari dan dimanfaatkan oleh lelaki di Indonesia.

Berlanjut ke babak pengakuan. Marlina tak lagi naik angkutan melainkan naik kuda. Hal itu dikarenakan, Franz (Yoga Pratama) si perampok muda mendapati kawannya mati dan mencari Marlina. Novi membohongi Franz dan mengatakan Marlina berjalan mengikuti jalan satu-satunya itu. Franz pun mengejar dengan truk, sehingga Marlina yang sembunyi di semak-semak ditinggal.

Marlina menyusuri sabana di atas kuda dan menenteng kepala Markus menuju kantor polisi. Sesampainya di kantor polisi, Marlina mendapati tiga polisi yang sedang bermain tenis meja saat jam kerja. Penanganan pihak kepolisian terhadap kasus Marlina sangat lamban. Polisi itu mengatakan kasus ini bisa ditangani seminggu ke depan, dan untuk kasus pemerkosaan harus divisum terlebih dahulu. Sedangkan alat visum tak ada dan adanya bulan depan. Ini merupakan potret penanganan polisi di seluruh daerah terpencil. Mouly sangat teliti menampilkan kehidupan di daerah terpencil dan menyuarakannya melalui film ini.

Tak cukup sampai di situ, polisi juga bertindak semena-mena terhadap Marlina. Saat Marlina menjelaskan ciri-ciri Markus, polisi itu berkata, “Jika kakek-kakek, kenapa kau biarkan dia perkosa kau,” kata polisi itu dengan logat Sumba.

Di babak kelahiran, yang merupakan babak terakhir ini, Novi bertemu dengan suaminya. Namun yang terjadi suaminya menanyakan kandungan Novi yang tak juga melahirkan dan menganggap Novi selingkuh. Novi dicampakkan dan suaminya pergi begitu saja. Tak lama, Franz datang menemui Novi dan menyuruh menelpon Marlina. Novi yang dalam keadaan terancam pun akhirnya menelpon Marlina dan menyuruhnya pulang. Gambaran daerah terpencil, yang jauh dari mana-mana namun memiliki signal ini adalah Indonesia sekali. Tentunya menggunakan telepon genggam yang hanya bisa menelepon dan kirim pesan singkat.

Pada akhirnya kembali ke rumah Marlina. Marlina menyerahkan kepala Markus kepada Franz. Franz menyuruh Novi memasak sup ayam dan Marlina menemani Franz. Ketika Novi sedang memasak di dapur, Franz memperkosa Marlina di kamar. Tak seperti di bagian pertama, di mana Marlina gagah dan berada di posisi atas, kali ini Marlina berada di bawah. Mungkin tenaga Franz lebih kuat daripada tenaga Markus yang sudah kakek-kakek. Novi yang sedang mengalami rasa-rasa ingin melahirkan, tak tahan dengan jeritan Marlina. Ia mendobrak pintu kamar dan melayangkan parang tepat di leher bagian belakang Franz. Franz mengerang, Novi melayangkan parang itu sekali lagi dan kepala Franz terpelanting ke lantai.

Setelah itu, Novi merasakan perutnya sakit yang luar biasa. Novi dibantu Marlina melahirkan anaknya. Layaknya perempuan melahirkan, Novi juga menarik napas dan menjerit. Seketika tangisan bayi pecah, anak Novi keluar dan digendong Marlina. Tak seperti kelahiran pada umumnya di mana ada sepasang suami istri, di sini hanya ada istri dan istri. Anak Novi lahir di antara kematian para perampok.

Ada banyak cara dalam menyuarakan hak-hak individu maupun kelompok. Mouly Surya menyuarakan kesetaraan gender, melawan patriarki, feodalisme, dan menentang stigma masyarakat yang dianggap tabu melalui Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak. Film dengan latar belakang Sumba ini sangat mendukung terkait pesan moral yang ingin disampaikan Mouly. Dibantu oleh sang pemeran utama Marlina dan diperkuat oleh Novi sebagai pemeran pembantu, membuat film ini semakin mudah ditangkap maksud dan tujuannya.

Potret pemerkosaan terhadap perempuan masih banyak terjadi, baik di kehidupan nyata maupun di film. Di dunia nyata, pemerkosaan meliputi di pemukiman penduduk, institusi pendidikan, bahkan di tempat-tempat keagamaan. Di kebanyakan film di Indonesia, narasi pemerkosaan terhadap perempuan sangat melemahkan martabat perempuan. Di mana perempuan yang selalu kalah tenaga dengan lelaki, sampai setelah pemerkosaan perempuan hanya bisa menangis dan memohon kepada si pemerkosa.

Mouly mengubah sudut pandang perfilman Indonesia perihal pemerkosaan. Melalui film ini Mouly menyuarakan segala keresahannya sebagai perempuan. Berkat kerja kerasnya, film ini diganjar penghargaan sebagai film panjang terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) 2018. Tak hanya itu, film ini memborong penghargaan dengan total 10 penghargaan di FFI 2018. Film ini juga telah diputar di berbagai negara dan mengikuti festival film di negara-negara lain. Niat tulus Mouly menyuarakan keresahannya sebagai perempuan, membuatnya terpilih menjadi sutradara terbaik di FFI 2018.

Editor: Siti Nurlaila Lubis
Sumber Foto: Media.skyegrid.id

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.