PSGA LP2M UIN Suska Riau Adakan Sosialisasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus

Penulis: Ristiara Putri Hariati

Gagasanonline.com – Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) LP2M UIN Suska Riau adakan acara bertajuk ‘Sosialisasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus’, dihadiri tiga narasumber dengan materi yang berbeda. Kegiatan ini dilaksanakan di Aula Rektorat lantai V, Selasa (12/4/2022).

Narasumber pertama, Ketua Rumah Moderasi Beragama UIN Suska Riau, Alimudin menjelaskan mengenai konsep gender dalam Islam. Menurutnya pada zaman Rasulullah SAW laki-laki sangat superioritas, tidak adil jika perempuan selalu dituntut untuk segala ketaatan.

“Jika tidak taat apakah dia (perempuan) akan selalu dikutuk?,” ujarnya.

Lanjutnya, Amaludin menambahkan dalam memahami Al-Quran dan hadis tidak semata-mata kita terkungkung pada pemahaman atau harfiah, melainkan harus dilihat dari konteksnya.
“Hukum itukan bisa berubah karena illat dan itu terkait dengan konteks,” ucap Alimudin.

Narasumber kedua, Ketua Rumah Perempuan dan Anak Provinsi Riau. Utari Nelviandi menjelaskan arti kekerasan seksual dan dampaknya. Utari menuturkan belum ada solusi terbaik untuk menangani kekerasan seksual bahkan untuk dihapuskan.
“Ini menjadi problem kita bersama bukan hanya perempuan,” serunya.

Utari menjelaskan dalam kekerasan seksual ada beberapa penyebab dan dominan terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini disebut juga dengan kesenjangan gender. Berikut penyebab terjadinga kesenjangan gender yang dipaparkan Utari.

  • Subordinasi atau penomorduaan, perempuan dipandang sebagai kaum yang lemah dan selalu membawa perasaan. Hal inilah yang memicu terjadinya pelecehan seksual.
  • Stereotipe artinya pelabelan negative, perempuan selalu diidentikkan sebagai kaum yang lemah dan inilah yang memicu sebagai kekerasan seksual. Bahwa perempuan tidak bisa melakukan perlawanan.
  • Marginalisasi atau termiskinkan, bahwasannya dalam bidang, kesempatan dan rangka apapun perempuan selalu terpinggirkan.
  • Violence, banyak Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dalam dua jenis kelamin dan perempuan yang paling dominan terkena pelecehan seksual.
  • Double bondent atau peran ganda, misalnya sebagai wanita karir tapi juga mengurus urusan domestik rumah tangga. Fakta dalam lapangan yang sepenuhnya dibebankan pada perempuan.

Utari menyebut, kebanyakan korban kekerasan seksual selalu diberatkan untuk membuktikan kejadian tersebut. “Padahal kejadian itu berada diruang privat. Maka dari itu harus ada aturan khusus yang lebih komprehensif untuk permasalahan ini,” jelasnya.

Selalu diberatkan membuktikan kejadian, Utari menilai UU sekarang belum cukup komprehensif dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Namun, lembaganya (Rumah Perempuan dan Anak Provinsi Riau) sedang memperjuangkan hukum yang lebih komprehensif.

Aktivis gender dan Dosen Universitas Riau, Yusnarida Eka Nizmi memaparkan Quo Vadis Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus. Yusnarida menjelaskan, setidaknya ada tiga akar masalah dari kekerasan seksual. Kebanyakan karena kepribadian pendidik, tidak ada assesment awal mengenal preferensi seksual si pendidik dan tidak adanya sistem pelaporan yang penuh integritas.

“Tempat yang sering dijadikan pelecehan seksual itu ada tiga tempat yaitu kendaraan, jalanan dan kampus,” ujarnya.

Dalam survei Kemendikbudristek, kampus adalah tempat tertinggi kasus pelecehan seksual sebanyak 70 persen dalam pengakuan dosen di setiap universitas. Faktanya, tak hanya perempuan menjadi korban kekerasan seksual, tapi laki-laki juga rentan jadi korban.

“Beban laki-laki itu lebih berat lagi dibandingkan perempuan karena ketika menjadi korban dia tidak kuat untuk menceritakan takut ada perkataan ‘ah masak sih kamu laki-laki jadi korban kekerasan seksual?’ ,” ungkap Yusnarida.

Menurutnya kampus harus membangun sistem layanan tempat aduan bagi korban/penyintas dengan tiga prinsip. Pertama, jaminan perlindungan, kesetaraan dan kerahasiaan.

Kedua, membuat regulasi penanganan kasus dan sanksi yang jelas bagi pelaku. Lalu, membentuk tim investigasi independen yang melibatkan seluruh elemen kampus. Selanjutnya, menyediakan pendampingan bagi korban yang melapor. Ketiga, menyediakan jasa psikolog/psikiater, penanganan kesehatan fisik, dan keamanan jika korban diancam.

“Kita harus memanusiakan manusia. Jangan menjadi pelaku kekerasam seksual dan berusaha pula untuk tidak menjadi korban kekerasan seksual,” pungkas Yusnarida.

Editor: Khumar Mahendra

Reporter: Yulvira*, Ristiara Putri Hariati**
Sumber Foto: Dok. Gagasan/Yulvira

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.