Raudatussalamah: Perihal Kesehatan Mental, Jangan Diagnosis Diri Sendiri

Penulis: Sabar Aliansyah Panjaitan

Gagasanonline.com – Kesehatan mental kini mulai ramai dibahas baik di Indonesia maupun negara lain di seluruh dunia. Pembahasan ini tak henti-hentinya semenjak pandemi Covid-19 melanda, bahkan cenderung masif. Hal ini dikarenakan pandemi Covid-19 bukan hanya mengancam kesehatan fisik saja namun juga kesehatan mental tiap individu yang sedang menghadapi pandemi Covid-19.

Berangkat dari hal tersebut, pada 14 Juni 2020, LPM Gagasan berkesempatan mewawancarai  Raudatussalamah, Dosen Psikologi UIN Suska Riau melalui via telepon. Menurutnya, pandemi Covid-19 pengaruhnya tak terlalu besar terhadap kesehatan mental, khususnya di kalangan mahasiswa. Alasannya, karena sampai saat ini mahasiswa masih dapat beradaptasi dengan keadaan pandemi Covid-19.

Jelaskan maksud dari kesehatan mental?

Kesehatan mental secara umum ialah gambaran bagaimana kondisi kesejahteraan  seseorang. Sedangkan secara psikologi sendiri kesehatan mental artinya kesejahteraan seseorang yang disadari. Misalnya dalam pembelajaran secara Dalam Jaringan (Daring) seseorang itu mampu mengelola stres pada dirinya, juga mampu lebih produktif baik dalam hal bekerja maupun dalam hal belajar. Mereka juga mampu berperan serta baik dalam masyarakat, kelompok, serta dalam lingkungannya. Namun pada setiap orang memiliki caranya sendiri dalam menanggapi setiap masalah apalagi dalam menanggapi Covid-19 ini.

Apakah kondisi pandemi sekarang ini berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang?

Untuk pengaruh besarnnya sendiri menurut saya tidak ada, karena kita masih mampu menyesuaikan diri kita. Inti dari kesehatan mental itu adalah penyesuaian diri terkait kesejahteraan seseorang, jadi sepertinya belum terganggu sekali. namun kita coba melihat mengapa bisa terjadi gangguan mental itu sendiri. Menurut hasil penelitian dari Anastasia salah satu dosen di Ponorogo ia mencoba memberi pertanyaan “siapa aku di era covid?” ada tiga zona yang ia bagi di antaranya zona ketakutan, zona belajar, dan zona bertumbuh. Jadi tergantung, misal pada zona ketakutan, kita yang sering mengeluh biasanya langsung share di sosial media, marah, dan lain-lain. Namun seiring berjalannya waktu zona tersebut bisa juga beralih ke zona belajar atau bertumbuh. Namun ada juga yang tidak mengalami perubahan tapi insyaallah kalau kita sama-sama bisa kita jalani.

Jika dikaitkan antara kesehatan mental dengan kuliah Daring ini tergantung pada penyesuaian diri, ada yang mampu menyesuaikan diri secara cepat dan ada pula tidak, sehingga ia berada di zona ketakutan.

Hasil dari survei kami dari tim Komite Penjamin Mutu (KPM) Fakultas Psikologi UIN Suska Riau, yang masuk itu lebih banyak seperti harapan-harapan mahasiswa terhadap kampus terkait penunjang kuliah Daring.

Bagaimana kita melihat indikasi kesehatan mental yang masih skala ringan?

Perbedaan kesejahteraan psikologis seseorang dan cara dia menyesuaikan dirinya terhadap kondisi, berdampak pada kesehatan mentalnya. Misalnya pada kecemasan yang tinggi, merasa stres, dan takut. Stres itu sendiri terbagi antara stres ringan, stres sedang, serta stres berat. Dan itu tergantung, tidak bisa kita menilai bahwa seseorang itu sedang mengalami stres berat atau lainnya.

Namun secara psikologi maupun klinis ada asesmen yang harus dilakukan. Misalnya kalau seseorang itu stresnya tinggi maka ia sudah mengarah depresi sebaiknya pergi ke yang ahli di bidang ini atau profesional, seperti psikolog atau psikiater. Jadi kita jangan langsung mendiagnosa secara sembarangan, karena ada tahap-tahap yang harus dilalui.

Sejauh ini bagaimana pendapat Anda mengenai kesadaran kesehatan mental pada mahasiswa?

Pada umumnya mahasiswa mampu menyesuaikan dirinya namun dia enggan keluar dari zona aman sehingga tantangan itu dianggap sebagai beban. Jadi kerap kali tantangan  yang berat tersebut dianggap sebagai serangan bagi kesehatan mentalnya. Padahal ia mampu untuk mengatasi itu, namun penyesuaiannya yang lambat.

Bagaimana menurut Anda mengenai stigma kesehatan mental di masyarakat, agar ia berani memeriksa dirinya?

Kita secara umum kalau melihat semua orang yang mengarah kepada sikap yang tidak normal kita anggap gila, padahal ada klasifikasi-klasifikasinya menurut ilmu psikologi. Agar seseorang mau memeriksakan diri terkait kesehatan mentalnya, yaitu harus adanya pendukung sosial dari orang sekitarnya, dan orang sekitarnya harus mampu melihat hal itu. Karena seseorang yang mengalami depresi sendiri tidak tahu kalau dia mengalamai depresi. Mereka hanya mengetahui bahwa dirinya lagi banyak masalah, butuh dukungan, dan lainnya.

Apakah kesadaran seseorang terhadap kesehatan mental berpengaruh dengan lingkungan sosial atau pandangan umum orang Indonesia terhadap kesehatan mental itu sendiri?

Selama ini yang menjadi perhatian beberapa tahun belakangan hanya penyakit fisik. Untuk faktor kesehatan mental akhir-akhir ini sudah mulai diperhatikan apalagi tingkat kesadaran mental orang Indonesia itu terutama untuk yang kaum muda sangat tinggi. Karena seharusnya yang tidak mengetahui pun, harus mendapatkan penyuluhan dari petugas kesehatan. Contoh pada tahun 2015 ada  60,17% dari 8477 pelajar SMP-SMA mengalami gangguan mental/emosional dan gejalanya berupa kesepian dan cemas. Bahkan 7,33% ingin bunuh diri, dan itu lebih banyak didominasi oleh pelajar perempuan. Seharusnya dalam dunia pendidikan ini sudah menjadi perhatian khusus.

Menurut Anda bagaimana cara yang efektif meningkatkan kesadaran kesehatan mental?

Mungkin kita harus peduli pada diri sendiri, seperti melakukan kegiatan fisik yang positif,  makan yang bergizi, berolahraga, dan lain sebagainya. Yang penting yaitu memberi dukungan, khususnya pada mahasiswa yang melakukan kuliah Daring saling mendukung satu sama lain. Bisa juga dengan membuat manajemen waktu dan skala prioritas dalam kegiatan sehari-hari baik dalam belajar, bekerja, maupun aktifitas yang lain.

Apakah di UIN Suska Riau sendiri ada layanan khusus mengenai kesehatan mental?

Kalau di Fakultas Psikologi tepatnya di Biro Konsultasi Psikologi ada namanya Biro Konsultasi Harmoni. Di mana di situ melayani bidang konseling, bisa datang ke sana. Ada direktur bironya dan mahasiswa bisa memanfaatkan ini, namun mungkin belum tersosialisasi dengan baik. Tapi ada beberapa yang mengetahui tentang itu.

Namun secara formal di UIN Suska Riau sendiri untuk pusat kesehatan mental mahasiswa, saya belum menemukannya.

Harapan Anda terkait kesehatan mental baik untuk kalangan mahasiswa maupun dosen?

Mungkin kesadaran akan pentingnya kesehatan mental bagi setiap orang, dan cara kita belajar mengenal diri. Apakah dalam menyelesaikan masalah kita butuh orang lain atau tidak? Jangan terlalu menyebar ke sosial media mengenai persoalan yang dihadapi. Jika terasa berat sebaiknya mengunjungi yang lebih profesional dalam menangani hal ini. Bercerita kepada keluarga termasuk penting dalam menyelesaikan masalah, dan pilih teman yang tepat dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi.

Kita tidak bisa menilai seseorang mengalami gangguan mental hanya karena dia mengeluh pada hari itu dan di saat hari yang lain ia tidak ada keluhan. Karena ada standar-standar sebelum mengatakan seseorang itu mengalami gangguan mental.

Reporter: Sabar Aliansyah Panjaitan
Editor: Bagus Pribadi
Foto:Internet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.