Memelihara Harimau di Tubuh yang Tragis

Penulis: Delfi Ana Harahap**

Judul : Lelaki Harimau
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-602-03-0749-7
Cetakan : Pertama
Jumlah Halaman : 190

Pada lanskap yang sureal, Margio adalah bocah yang menggiring babi ke dalam perangkap. Namun di sore ketika seharusnya rehat menanti musim perburuan, ia terperosok dalam tragedi pembunuhan paling brutal. Di balik motif-motif yang berhamburan, rasa takut, dan behari, bunga dan darah, ia menyangkal dengan tandas. “Bukan aku yang melakukannya,” ia berkata dan melanjutkan, “Ada harimau di dalam tubuhku.” Begitulah tulisan yang tertera di sinopsis buku ini.

Dalam novel Lelaki Harimau ini Eka menggambarkan latar belakang tokoh-tokoh secara detail dengan tidak menggunakan bahasa yang mendayu-dayu. Cenderung lugas tanpa diksi. Penggambaran kemelut rumah tangga dan kekerasan menjadikan novel ini terasa begitu gelap dan suram. Penggunaan plot maju mundur dan penggembangan berbagai latar belakang tokoh-tokoh yang terlibat menjadikan pembaca terus penasaran akan pucak masalah yang sesungguhnya. Kekerasan, amarah, dendam menjadikan novel ini seolah sebagai potret kekerasan rumah tangga yang masih banyak dialami masyarakat, terutama dalam ekonomi yang rendah. Novel ini banyak menyentil perilaku moralitas sebuah masyarakat, di mana makian dan kekerasan dapat menjadikan seseorang berperilaku menyimpang. Juga peranan keluarga yang tidak berjalan dengan semestinya, seorang suami yang berlaku semena-mena, istri yang berselingkuh, dan anak yang suka mabuk-mabukan. Hingga memunculkan kepercayaan pada makluk mitologi yang dianggap sebagai dalang pembunuhan, yang mungkin secara psikologis tak lain adalah kumpulan dari segala bentuk amarah, dendam dan kebencian yang tidak tertahankan oleh anak berusia 20 tahun. Pada nyatanya awal semua akar permasalahan yang ada adalah rendahnya tingkat perekonomian keluarga.

Bau amis darah yang menggelongsor dari leher serupa pipa ledeng yang bocor, dan seorang bocah berjalan panik sempoyongan, dihantam kesembronoannya sendiri, dengan mulut dan gigi penuh warna merah, semacam moncong anjing hutan meninggalkan sarapan pagi. Margio, anak pemurung yang tak betah di rumah, tapi sesungguhnya anak yang manis dan santun. Senja itu dia membunuh Anwar Sadat dengan cara primitif, ia mengatupkan rahangnya kuat, memperoleh segumpal daging di mulutnya, dan menyepahkannya ke lantai. Ia melakukannya kembali, pengulangan yang jadi monoton tanpa irama, hingga rekahan di leher itu semakin dalam dan compang-camping. Bagai didorong rasa lapar yang tak kepalang dan kerakusan memaharaja, meninggalkan letupan-letupan serta gelembung darah terjun bebas ke bumi. Ia hampir memenggalnya, namun ia menggergaji leher itu hingga batang leher Anwar Sadat telah tampak, sekilas berwarna gading sebelum banjir oleh merah.

Bagi orang-orang, lebih masuk akal jika Margio membunuh bapaknya Komar bin Syueb. Karena lelaki itulah yang selalu menghujami Margio dan Nuraeni ibunya dengan pukulan dan makian. Kesalahan Komar di masa lalu menjadikan pernikahannya dengan Nuraeni menjadi tidak harmonis. Nuraeni yang menyimpan dendam masa lalu enggan menuruti semua perkataan dan kemauan Komar bahkan sampai ia mati sekalipun, sehingga menjadikannya bahan siksaan Komar. Memiliki dua orang anak tidak menjadikan Komar sadar, ia tetap bersikap kasar dan sering memukuli Margio. Karena itulah Margio menyimpan dendam yang begitu dalam kepada bapaknya. Dalam beberapa kesempatan ia sering kali menyampaikan keinginannya membunuh Komar, tapi tak pernah dilakukannya sampai Komar mati dengan sendirinya.

Penulis menggambarkan Nuraeni sosok istri yang bebal meskipun selalu dihajar habis-habisan oleh suamianya. Nuraeni juga digambarkan sebagai sosok perempuan yang memelihara rasa dendamnya dengan sangat baik, terutama saat anak ketiganya mati mengenaskan. Dia lebih banyak berceloteh kepada panci, wajan, dan kompor kumal di dapur kotor milik keluarga itu, dibandingkan harus berbicara pada suaminya. Margio yang sejak kecil lebih senang berkunjung ke rumah kakeknya lambat laun
mengetahui cerita mitologi mengenai harimau putih kepunyaan kakeknya yang hampir sebesar sapi. Dikatakan warisan magis turun temurun, yang pada akhirnya bersemayam di tubuh Margio. Mameh mengaku pernah melihat sosok harimau itu keluar dari tubuh Margio di malam hari, tapi ia memilih bungkam.

Semenjak bekerja di rumah Anwar Sadat, Nuraeni menjadi sosok yang lebih hidup dan periang. Dia akan bersolek terlebih dahulu sebelum mengunjungi rumah majikannya itu. Perselingkuhan antara Anwar Sadat dan Nuraeni lambat laun diketahui oleh Margio, ia melihat dua manusia itu bersenggama di kamar milik Anwar. Ketika itu Margio mengintip dari balik jendela. Margio seolah membiarkan perilaku menyimpang ibunya, menurutnya melihat ibunya senang merupakan sebuah kejadian langka. Hingga Nuraeni hamil anak ketiga. Komar yang tidak pernah lagi menyentuh istrinya mengetahui perselingkuhan itu, tiap hari Nuraeni dihajar. Hingga bayi itu lahir dengan keadaan yang sangat mengenaskan, seminggu kemudian bayi itu mati.

Perlahan ajal juga menjemput Komar, seolah bayi itu mengajaknya untuk ikut mati. Pria itu mati dengan penyakit yang membuat badannya menjadi rongsokan daging, yang tak akan memuaskan nafsu si gagak pemakan bangkai sekalipun. Dia mati sebelum Margio membunuhnya. Asmara antara Margio dan Maharani menjadikan Margio dalam situasi yang sulit. Margio memilih mengalah dengan menyuruh Anwar Sadat menikahi ibunya dan mengubur perasaannya pada Maharani.

“Kawinlah dengan ibuku, dia akan bahagia.”
“Tidak mungkin, kau lihat aku ada istri dan anak.”
“Lagi pula aku tidak mencintai ibumu,” tandas Anwar Sadat.

Itulah kala harimau di tubuh Margio keluar. Putih serupa angsa. Dan menjadi hari terakhir hidup Anwar Sadat.

Penulis: Delfi Ana Harahap**
Editor: Bagus Pribadi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.