Penanganan Korupsi di Riau Butuh Komitmen Dalam Pemberantasannya

Penulis : Tika Ayu

“Harusnya bapak Syamsuar mengeluarkan surat edaran semacam Peraturan Gubernur (Pergub) atau Peraturan Daerah (Perda) terkait  kebijakan yang menutup dan menghalangi tindakkan korupsi,” saran Jefri Sianturi koordinator Senarai saat menjadi salah satu narasumber di acara Diskusi Arah Pemberantasan Korupsi di Bumi Lancang Kuning Riau, Kamis, (9/12/2021).

Ia menyampaikan saran tersebut berkenaan dengan permasalah tren korupsi di Riau yang selalu marak terjadi, terlebih kasus korupsi ini terjadi pada lingkaran Gubernur Riau, Syamsyuar. Syamsuar sendiri merupakan gubernur yang ada di Indonesia yang sangat rutin melaporkan  Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Namun nyatanya korupsi tetap marak terjadi.

Demikian pun menurut Senarai,  Syamsuar belum dapat dikatakan sebagai contoh kepala daerah antikorupsi. Ini lantaran kasus korupsi secara struktural belum terselesaikan dengan baik di Riau. Salah satu kasus korupsi yang berada dekat Syamsuar adalah kasus Mantan Sekretaris Daerah Provinsi Riau, Yan Prana Jaya Rasyid, pada salah satu kasus korupsi anggaran rutin Kepala Bappeda Siak.

Baca: Menulis adalah Menemukan Jati Diri dan Menampilkan Value pada Diri

Merujuk rilis publikasi Senarai melalui Instagramnya @senarai_id, menyebutkan ada beberapa korupsi yang bergerak di bidang-bidang tertentu, seperti kasus  korupsi di  bidang pengadaan barang dan jasa, suap, grafikasi, penggelapan jabatan dan  pungutan liar. Selain itu, juga ada kasus korupsi di bidang kesehatan, yang merupakan bidang penting.

Di sisi lain, Koordinator Media dan Penegakan Hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Provinsi Riau (Walhi), Alul Fadli menurutnya jika tren korupsi dilihat dari sudut pandang sektor fungsi sumber daya alam terdapat relasi kuasa yang mempengaruhi korupsi di bidang tersebut.

“Kalau sistem perekonomian yang dibangun oleh pemerintah Indonesia dan diturunkan oleh kebijakan daerah itu memang tidak ada pengaruhnya dengan konsep econom effect,” ungkap Alul.

Baca: Kabag Akademik Jelaskan Soal Pelaksanaan Wisuda dan Penyerahan Ijazah Periode 2021-2022

Perlu diketahui maksud dari yang disasar economic effect tersebut  tidak berpengaruh ke bawah misalnya seperti pengusaha micro, masyarakat bawah. Hal ini selaras dengan data yang dipaparkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, bahwa sebanyak 72,2 persen merupakan presentase masyarakat miskin. Dan 7,12 persennya atau setara dengan 500 ribu jiwa merupakan masyarakat adat (miskin).

Menurut Alul, walaupun pembangunan daerah itu tinggi dan meningkat, tetapi tidak berdampak langsung pada masyarakat adat yang mana merupakan kelompok yang hidupnya dekat dengan SDA.

“Dari hal tesebut kita bisa melihat lebih cenderung terkait elit-elit dan pengusaha terutama yang ada di Riau,” tuturnya.

Selanjutnya Alul menjelaskan, selain tidak terpedayakan melalui ekonomi akan pembangunan oleh pemerintah,  kelompok masyarakat adat justru menjadi kelompok yang selalu mendapatkan intimidasi.  Hal ini khususnya soal ekplorasi sumber daya alam, yang luput dari pemikiran keberlangsungan dan eksistensi dan hak pengakuannya beraktivitas di wilayah mereka sendiri.

Bentuk intimidasi soal eksplorasi sumber daya alam ini mengingatkan pada kasusnya Pak Boku dari suku Sakai yang dikriminalisasi hanya karena mengambil 10 batang kayu yang kemudian dipenjara. Ketika mereka mencari aktivitas di dalam hutan seperti cari rotan atau oabat tradisional mereka berpikir apakah itu wilayah mereka, sebab selama ini mereka selalu dikriminalisasi. Contohnya kasus terbaru Pak Boku.

Baca: Aksi Baksos Tikungan, Bentuk Kontribusi Pramuka UIN Suska kepada Masyarakat

Maraknya kasus korupsi di Riau ini, juga dikomentari oleh Advokat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Noval Setiawan, ia mengatakan bahwa selama ini kasus korupsi yang terjadi di Indonesia sekadar ditinjau dari  kerugian negara dan pemidanaan. Namun menurutnya juga perlu ditinjau pula pemulihan HAM  dalam kasus korupsi.

“Catatannya adalah negara tidak hadir dalam pemulihan HAM dalam kasus korupsi,” tutur Noval.

Pada 2016 lalu, di Riau pernah dilaksanakan pertemuan membahas tentang Strategi Nasional (Stranas) anti korupsi, namun hal tersebut tak menjadikan surutnya tren korupsi di Riau.

Manager Advokasi FITRA, Taufik, mengatakan bahwa justru pasca peringatan Hari Anti Korupsi 5 tahun silam banyak meninggalkan piring kotor salah satunya kasus korupsi pembangunan tugu integritas yang menyekal Dwi Sumarsono.

Menurut Taufik pada tahun 2021, ia menduga bahwa tidak ada komitmen dari pemerintahan Syamsuar dalam memberantas korupsi.

“Tidak ada statmen beliau di rapat paripurna berbicara isu anti korupsi, 2021 belum ada statmen beliau tentang isu pemberantasan korupsi,” ungkapnya.

 

Reporter : Tika Ayu 
Editor      : Wilda Hasanah 
Foto          : Freepik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.