[Cerpen] Dongeng Untuk Orang-orang di Atas

Penulis: Hendrik Khoirul

Gagasanonline.com – Acok menghela napas panjang, sebab hasil panen kelapa sawit kali ini memprihatinkan, pun harganya tak sebanding dengan tenaga yang dikerahkannya saat memanen. Sebentar lagi anaknya bakal bayaran uang kuliah, padahal yang kemarin entah terpakai atau tidak. Kata Hamid, anaknya itu, semester lalu tidak ada kuliah di kampus karena Pandemi Covid-19. Acok bertanya-tanya dalam hati, kalau begitu ke mana perginya uang kuliah itu? Acok bukan orang berpendidikan, tapi ia cukup tahu, tak perlu berpendidikan untuk tahu bahwa membayar untuk mendapatkan.

Hamid yang dalam keresahan selalu berbicara kepadanya, tentang susahnya jaringan saat kuliah online, mahalnya paket kuota untuk mengakses internet, dan kegeraman Hamid kepada kampusnya karena tidak ada subsidi paket internet dari pihak universitas. Acok juga ikutan geram, hasil keringatnya setiap enam bulan yang ditabungnya untuk membayar kuliah tak jelas arahnya. Lebih-lebih pihak kampus sudah memberitahukan jauh-jauh hari bahwa untuk uang kuliah semester berikutnya tidak ada potongan.

“Padahal harusnya uang kuliah semester kemarin kan tidak terpakai,” kata Hamid lewat telepon.

Hamid bukanlah anak yang menggantungkan seluruh beban hidupnya kepada orangtuanya, sembari kuliah pun ia menyambi kerja sebagai tukang masak di salah satu restoran dekat kampusnya. Tapi di musim orang serba di rumah saja begini, pendapatan restoran di tempatnya bekerja anjlok drastis, alhasil gajinya diturunkan separuhnya. Gaji yang hanya cukup untuk kebutuhan hidup di kota itu karuan saja tak bisa Hamid sisihkan untuk membayar uang kuliah.

Acok merasa berat kepalanya, mungkin hipertensinya kumat, itu yang terjadi acap kali ketika ia banyak pikiran. Orangtua mana yang bisa lepas pikiran yang menyangkut masalah anaknya, apalagi masalah uang. Bulan depan harus sudah bayaran kuliah lagi, kalau hasil panen sawit masih tetap seperti panen terakhir, mustahil Acok bisa membayar uang kuliah untuk Hamid. Satu-satunya jalan adalah berutang lagi ke tauke sawit, lagi, sementara utangnya sudah berserak di mana-mana.

Acok hanyalah satu dari banyak orangtua di luaran sana yang merasa tercekik oleh kebijakan orang atas. Mereka, para orangtua yang ingin anaknya mengemban pendidikan tinggi, meski perekonomian tidak mendukung, selalu terbebani baik raga maupun pikiran. Apa tidak boleh melihat anaknya menyandang gelar sarjana? Mengapa pendidikan begitu dipersulit untuk orang-orang miskin. Program beasiswa pun banyak yang salah sasaran gara-gara orang dalam. Hamid adalah korban penyelewengan beasiswa, ia gagal mendapat bantuan keuangan itu karena tidak memiliki orang dalam. Padahal Hamid yakin betul dia bisa mendapatkan beasiswa itu, semua persyaratan sudah ia penuhi, ujian tes pun ia ikuti dan optimis bisa menjawab semua tes tulisan maupun lisan. Salah satu temannya yang lulus beasiswa berujar, “Usaha saja tidak cukup, Mid. Harus ada orang dalam kayak saya.” Padahal temannya Hamid ini tergolong orang mampu, berlebih malah.

Pendidikan memang membutuhkan biaya, itu pemikiran orang-orang sekuler, padahal dunia sudah semaju ini tapi manusianya masih berpikiran sempit. Pendidikan harus dengan uang, yang tidak punya uang biarkan tidak terdidik. Beasiswa hanya untuk yang punya orang dalam, yang tidak punya orang dalam biarkan tidak terdidik. Peduli apa? Toh orang atas tak pernah memikirkan nasib orang bawah saat membuat kebijakan, yang ada di pikiran mereka barang kali hanya soal apa makan siang lezat hari ini? Orang pintar otaknya di kepala, orang bodoh otaknya di dengkul, orang miskin otaknya di hati, dan orang kaya otaknya di perutnya.

 

Editor: Wulan Rahma Fanni
Foto:Hendrik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.