Tak Ada Surga di Rumahku

Penulis: Kiki Mardianti

Gagasanonline.com- “Aku sempat menghardik Tuhan atas cobaan beruntun di hidupku. Kata mereka, rumah adalah surga, tempat berpusatnya kasih sayang dan perlindungan, tapi tidak bagiku. Aku mengutuk seluruh laki-laki di dunia ini. Termasuk ayah kandungku sendiri,” batinku dalam tangis.

***

“Ceraikan aku sekarang juga, laki-laki bangsat! Aku menyesal menikah denganmu! Biar kubawa Rara bersamaku, dia akan lebih aman daripada dia besar di tangan bapak tak bertanggungjawab sepertimu!” teriak ibu dengan amarah sambil melayangkan map merah ke muka ayah.

Plak! Sebuah tamparan keras mendamprat wajah ibu.

“Ini yang kau mau!?” bentak ayah sambil menandatangani surat cerai dalam map merah dengan sekuat hatinya.

Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Kulihat ayah membanting pintu dengan keras, berlalu pergi entah ke mana. Sekeliling ruang tamu berantakan, guci-guci, vas bunga bahkan foto pernikahan ayah ibu kulihat tergeletak di lantai. Kepingan-kepingan kaca berceceran.

Aku tak mengerti apa yang tengah terjadi di keluarga kecilku. Setiap malam ayah dan ibu bertengkar, kuintip dari celah pintu kamarku. Teriakan ibu selalu membuatku terjaga dari tidurku. Tubuhku bergetar ketakutan, setahun belakangan ini pemandangan setiap malam kusaksikan. Ibu tahu aku mengintip, tiba-tiba saja ibu datang menghampiriku.

“Ayahmu itu tidak ada gunanya, kerjanya hanya mabuk-mabukan, main perempuan, sering mukul ibu, kalau enggak masak selalu marah-marah padahal dia tidak ada ngasi uang belanja, uangnya dikasihnya sama lonte itu!” ujar ibu setelah memasuki kamarku dan mengunci pintu kamar. Kulihat ada luka lebam di pipinya.

Sebagai anak kecil berumur lima tahun, aku tak mengerti apa maksud pembicaraan ibu. Yang kutangkap hanya pipi ibu bengkak dan ibu berlinangan air mata. Air mukanya menandakan sakit yang ia rasakan.

“Rara anak ibu satu-satunya. Kalau anak ibu sudah besar nanti jadilah anak yang menenangkan dan selalu menebarkan cinta ya nak. Seperti namamu, Rara Mawaddah. Jangan tiru ayah ibu, sudah tak ada lagi cinta dan ketenangan di hati kami, besok pagi-pagi sekali kita berangkat ke rumah nenek, ” ujar ibu masih dengan linangan air mata di pipinya.

Aku mengangguk lesu, mengiyakan perkataan ibu. Kejadian ini tak kan pernah kulupa, perempuan yang paling kucinta menerima perlakuan kasar dari laki-laki yang seharusnya melindunginya. Malam ini keteganganku mulai reda, aku terlelap di pangkuan hangat ibu.

***

“Ibu mau ke mana?” kulihat ibu tampak lebih cantik dari biasanya, wangi sekali.

Akhir-akhir ini ibu memang sering pergi pagi pulang malam. Apalagi semenjak ibu bekerja di salon tante Marni, sepupu ibu. Untung setiap subuh aku selalu bangun. Walau tak pernah menyambut kepulangan ibu karena sering tertidur duluan, setidaknya aku bisa menyalami ibu dan mendapat kecupan sayang sebelum ibu pergi bekerja.

Sudah enam bulan kami tinggal di rumah nenek. Dan sudah enam bulan pula ayah menghilang tanpa kabar. Sejak kakek meninggal dunia lima bulan yang lalu, Ibu bekerja menghidupi kami, aku dan nenek. Aku tahu pasti ibu lelah. Satu-satunya tulang punggung keluarga.

Waktu menunjukkan pukul 22.00. Aku belum tidur dan masih menunggu ibu sembari membaca buku Anak Soleh yang dibelikan ibu minggu lalu. Nenek menyuruhku masuk ke kamar dan segera merapikan buku-bukuku. Kata nenek, anak kecil tidak baik bergadang.

Tok! Tok! Tok! “Assalamualaikum,” kudengar suara ibu dari balik pintu.

Seketika kuberlari membuka pintu, hatiku sangat senang ibu pulang cepat hari ini. Pertama kalinya aku menyambut kepulangan ibu bekerja.

“Waalaikumussalam, Bu,” girangku berubah menjadi heran. Siapa gerangan laki-laki yang datang bersama ibu. Laki-laki itu memakai baju kaos dibaluti rompi denim dan memakai celana denim, sebatang rokok siap hisap di tangannya, seperti preman, gumamku.

“Mari masuk, Mas,” kata ibu mempersilakan laki-laki itu.

Aku menyalami ibu, dan ibu mencium keningku. Tak lupa juga ibu menyalami nenek. Aku masih dengan kebingunganku siapa laki-laki ini? mengapa dia datang? Apa dia teman ibu? Sejak kapan ibu punya teman laki-laki? Pertanyaan itu berputar di otakku.

Baca: [Cerpen] Mama, Maafkan Denis

Ibu memperkenalkan laki-laki tadi pada nenek. Ia menyalami nenek sambil tersenyum, tampak ada maksud.

“Kenalin, Mak. Ini Mas Redo, teman yang pernah kuceritakan kemarin. Mas Redo ini sebenarnya sering mengantarkanku pulang, tapi baru kali ini Mas Redo berani mampir, segan katanya, ” tutur ibu ketawa kecil.

Nenek menunjukkan ekspresi datar, sama sepertiku. Tiba-tiba nenek menarik ibu ke dapur. Agaknya nenek tidak suka dengan laki-laki itu. Apalagi penampilannya seperti preman, tak jauh berbeda dengan penampilan ayah.

Posisiku tak jauh dari dapur, sedikit banyaknya kumendengar perdebatan nenek sma ibu, meski berbisik-bisik kutangkap dari pembicaraan itu nenek tak suka padanya.

“Namanya siapa, adik kecil?” aku terkejut laki-laki itu mendekatiku.

“Rara Om,  Rara Mawaddah.”

“Nama yang cantik, sama seperti orangnya.”

Perasaanku tidak enak, mungkin dia mencoba mengambil hatiku. Tiba-tiba saja ibu menghampiri kami karena mendengar pembicaraan kami tadi.

“Rara ini anak pintar Om, sudah bisa salat, mengaji, baca, dan sebentar lagi masuk SD. Tidak ada TK-TKan. Udah pintar gini kok masih TK, iya kan Nak,” kata ibu sambil membawaku duduk di pangkuannya.

Nenek datang membawakan air sirup dan beberapa biskuit untuk dihidangkan. Nenek dan Om Redo tampak berbincang-bincang. Aku tak tahu apa yang dibincangkan. Ibu membawaku ke kamar. Menyiapkan perlengkapan tidurku. Tidak lama, tampak aku mulai tenang, ibu keluar kamar menghampiri ibu dan om preman itu. Aku berpura-pura tidur sedari tadi.

***

Semenjak kenal dengan Om Redo ibu banyak berubah. Jilbab yang dulu selalu menutupi aurat ibu sudah dilepas, kini ibu berpenampilan serba ketat dan minim bahan.

“Pokoknya aku mau nikah sama Mas Redo, Mak,” aku mendengar teriakan ibu. Selama di rumah nenek ibu tak pernah berteriak. Bicaranya selalu lembut, terakhir malam sewaktu bertengkar dengan ayah. Namun pagi ini, trauma teriak itu kembali mengintai jiwaku. Aku terdiam di sudut kamar, aku takut, apa ibu dan nenek bertengkar?

“Dia bukan laki-laki baik-baik, Nak. Dia hampir sama dengan suamimu dulu. Sekarang kelihatan baik, nanti dia akan berubah. Percayalah kata emak. Emak enggak mau kamu masuk jurang ke dua kalinya, dulu ayah Rara juga demikian. Sudah punya anak lihat perubahannya,” aku mengintip dari celah pintu, nenek bicara dari hati, air matanya menetes. Tapi ibu tetap kekeh mempertahankan laki-laki itu.

“Cuma dia yang bisa menghibur aku dan melupakan aku sama laki-laki bangsat itu, Mak. Restu enggak restu, aku akan nikah sama dia. Kalau perlu kawin lari.”

“Kau akan menyesal, Nak” ujar nenek dengan lirih, aku mendengar nenek sesak nafas. Aku langsung memberanikan diri keluar kamar, nenek memegang dadanya, sepertinya sakit jantung nenek kambuh.

“Ibu! Ibu! Nenek, Bu! nenek pingsan!” ibu tak mengacuhkan teriakanku. Ibu keluar rumah dengan membawa koper. Ke mana ibu akan pergi meninggalkan kami. Apa yang sudah diberi om preman itu pada ibu, sehingga ibu lupa sama anak dan ibunya.

Aku berteriak meminta tolong, tapi tak ada satu pun orang mendengarnya. Kuberlari ke rumah Ketua RT, Pak De Tandra. Setelah menceritakan kejadian singkat tadi Pak Tandra langsung bergegas menghidupkan mobilnya, membawaku dan nenek ke rumah sakit yang tak jauh dari rumah.

Setelah dipindahkan dari UGD ke ICU, dokter memanggil Pak De Tandra masuk ke ruangan itu. Sedangkan aku, bersama Bu De istri Pak De Tandra dibujuk dengan memakan makanan yang dibelikannya di Swalayan agar aku tetap tenang.

“Sekarang Ibu Minah sudah tenang, sangat tenang. Sakit jantung beliau kumat, akhirnya beliau dipanggil Sang Pencipta,” ucap Pak De Tandra keluar ruangan ICU.

Innalillahi wa inna ilaihi rojiun,” ujar beberapa warga yang mengikuti kami tadi. Tidak hanya aku, mereka juga tampak sedih. Teringat sosok nenek yang jadi panutan warga, pun panutanku sendiri.

“Nenek kenapa Pak De, kenapaaa?? Nenek enggak boleh pergi,” tangisku pecah. Hampir seisi rumah sakit itu mendengar tangisanku.

“Nenek Rara sudah tenang sekarang, Nak. Rara jangan sedih ya, Rara tinggal sama Pak De dan Bu De ya, sekarang kita pulang mempersiapkan pemakaman nenek,” ujar Pak De menenangkanku.

Aku tetap memberontak di pelukan Pak De, setiap orang lewat melihat iba padaku. Ayah, kakek, ibu, bahkan nenek pergi meninggalkanku. “Nek, Rara ikut,” isakku.

***

Sebulan kepergian nenek. Aku tinggal sendirian di rumah, meski Pak De dan Bu De memaksaku tinggal di rumahnya aku tetap tidak mau. Bu De hanya bisa pasrah melihatku, setiap hari silih berganti warga mengantarkanku makanan, bahkan memberiku uang jajan. Aku merasa terpukul, setiap orang menemuiku tangisku pecah. Aku tidak merasa hidup di dunia ini lagi, Tuhan.

“Tok, tok, Assalamualaikum,” dengan lesu kujawab salam dan kubuka pintu.

“Ibuuuuu, ibu ke mana, nenek bu,” aku memeluk ibu. Nyawaku seakan kembali, akhirnya ibu pulang.

“Sudah, bereskan barang-barangmu kita pergi dari sini. Mas, tolong bantu aku ya,”

Aku heran ibu tak merespon kata-kataku. Ini ibu bukan, sih? Apa ibu tahu nenek sudah meninggal? Kenapa ibu memaksaku pergi? batinku.

Ibu memaksaku meninggalkan rumah ini. Katanya kami akan pergi jauh, mencari kehidupan yang layak, dan nanti aku akan disekolahkan di sekolah yang bagus dan mahal. Aku menurut saja, cuma ibu yang kupunya di dunia ini.

***

Druk! “Aduuuuh, sakiiiittt,” aku baru saja tersandung batu. Lututku luka, dan rok sekolahku sedikit robek.

“Kamu enggak papa?” aku melihat ke atas, seorang anak laki-laki seusiaku mengulurkan tangannya kepadaku. Tidak hanya berjabat tangan, tapi dia juga membantuku berdiri dan membawaku ke bangku depan kelas.

“Namaku putra, kamu?”

“Aku Rara, makasih ya udah nolongin aku.”

“Iya,  sama-sama. Lain kali hati-hati.”

Itu hari pertama aku masuk sekolah, dan hari pertama pula aku mendapat teman baru. Semakin hari kami semakin akrab, tidak hanya di sekolah di rumah pun kami menjadi sahabat. Setiap hari kami bermain dan belajar bersama. Putra memberikan warna di hidupku.

“Kemana aja main anak kurang ajar, piring tak dicuci, rumah berantakan,” bentak ibu saatku baru pulang dari rumah putra mengerjakan tugas. Semenjak aku tinggal dengan ibu, perlakuan ibu berubah drastis. Ibu tak lagi lembut seperti dulu, bahkan tak segan-segan memukulku. Apalagi sejak kelahiran adik baru, ibu lebih fokus mengurusi adik ketimbang aku. Segala perlengkapan ku siapkan sendiri, meski masih kelas dua SD. Aku sudah diajar mandiri oleh ibu.

Baca: Susuk

“Jangan dimanjakan anak itu Rina, mau jadi apa dia kalau sudah besar,” ku mendengar suara Om Redo dari belakang. Ya, aku mulai dibedakan, mulai dari panggilan saja adik yang masih berumur satu tahun diajari memanggil ibu dengan panggilan Mama, dan ayah tiriku Papa. Anak papa mama. Sedangkan aku, tetap memanggil ibu, walau sosok ibu sekarang bukan seperti ibu yang dulu. Juga tetap memanggil ayah tiriku dengan sebutan Om. Dia tak mau mengakui aku anaknya. Benar kata nenek.

Ibu lebih banyak mendengarkan kata-kata Om Redo, tak satupun kata-kata ku didengar ibu. Pernah suatu waktu, ibu melemparkan vas bunga ke kepalaku, karena waktu itu aku lagi sakit. Ibu menyuruhku mencuci piring. Aku menolak, Om Redo menghasut ibu bilang kalau aku berpura-pura sakit.

Praaaak, vas bunga itu jatuh ke lantai. Sebelum jatuh, vas itu mengenai punggungku.

“Lari kau anak binatang,” begitulah setiap hari kudipanggil ibu.

Aku berlari menuju rumah putra, sambil menangis terisak-isak kuceritakan perlakuan ibu padaku.  Ya putra sudah mengetahui sikap ibu dan Om Redo. Cuma dia satu-satunya orang tempatku berkeluh kesah setelah Allah SWT.

“Andai Kakek dan nenek masih hidup, ayah dan ibu tak berpisah, mungkin nasibku tak seperti ini put,” keluhku dengan sungai kecil di pipiku.

“Rara, kamu tidak boleh berbicara seperti itu, ini sudah jalan dari Allah SWT, kamu harus kuat. Aku janji akan selalu ada di samping kamu, aku  janji akan mendengarkan keluh kesahmu, dan aku juga janji tak akan pernah meninggalkanmu,” ujar Putra mencoba menenangkanku, kami menyilangkan jari kelingking sebagai tanda janji seorang sahabat.

***

“Bu… ibu…” panggilku yang kala itu demamku menjadi, aku ingin meminta ibu membawakanku obat.

“Ibumu tak ada, jangan teriak-teriak, sakit kepalaku.” kata Om Redo dari luar.

Aku baru teringat, yang ada di rumah cuma Om Redo dan adikku. Om Redo dipecat dari pekerjaannya karena dituduh mencuri uang. Kini ia hanya ongkang-ongkak kaki di rumah, sambil menunggu uang dari ibu. Om Redo menjadi kasar pada ibu. Akhirnya ibu harus bekerja pergi pagi pulang malam demi mencari makan. Bila Om Redo dan aku tak ada di rumah adik dititipkan di tempat penitipan anak. Sepulang sekolah aku harus menjemput adik. Mengasuhnya juga mengerjakan pekerjaan rumah sekaligus. Putra jadi tiap hari main dan belajar di rumahku.

Hari itu putra tak datang ke rumahku, entah kenapa gerangan. Badanku lemas, panas dingin. Untung saja adik sama Om Redo. Ku intip dari jendela kamarku, rumah Putra tampak sepi.

Keesokan harinya, aku menunggu putra di beranda kelas, hingga bel masuk berbunyi tak nampak juga batang hidungnya. Sehari dua hari berlalu. Aku datang ke rumahnya.

“Permisi, Assalamualaikum, Putra!” kataku menggedor-gedor pintu.

“Cari siapa ya, dik?” seorang ibu paruh baya keluar dari rumah putra, yang jelas wanita itu bukan ibu putra.

“Ibu siapa? Putra ada bu?”

“Oh, yang nempati rumah ini sudah pindah tiga hari yang lalu dik. Bapaknya pindah tugas ke luar kota, tidak tahu di kota mana. Mereka menyewa saja waktu itu, sebab beliau kerja berpindah-pindah,”

Bruuuukkk, aku serasa dijatuhi meteor. Putra tiba-tiba saja pergi meninggalkanku. Aku seakan tak percaya, putra yang dulu berjanji selalu ada untukku dan tak akan meninggalkanku kini pergi tanpa pamit. Aku hancur, tak ada lagi orang yang berpihak padaku tuhaaaaaan.

***

Aku demam tinggi semenjak mendengar kepergian Putra, tiap hari aku dimarahi, mendengar pertengkaran ibu dan Om Redo, serta tangisan adik. Kini betul-betul tak ada lagi orang tempatku berkeluh kesah, aku hanya bisa menangis di setiap sujud salatku.

“Kau pikirlah pakai otak, dari mana aku dapat uang sebanyak itu. Kau campakkan barang haram itu enggak,” ku mendengar ibu berteriak marah pada Om Redo saat meminta uang pada ibu untuk membeli narkoba.

Aku tak terlalu menghiraukan perkelahian itu, badanku lemas, meski ibu sudah memberiku obat yang dibeli di warung tadi.

“Kau dengar enggak kataku, aku bilang enggak ada ya enggak ada,” ibu walau telah mendapatkan tamparan keras dari Om Redo.

“Betul kata ibuku dulu, aku menyesal mengikutimu dan tak menghiraukan kata ibuku. Aku pergi kerja dulu. Nisa aku titipkan, Rara biar di rumah dia lagi sakit, tolong kau jaga anakku, aku mau ngumpulin uang biar bisa lari dari rumah ini bawa anak-anak,” ibu berlalu pergi.

Berselang beberapa jam ibu pergi, tiba-tiba saja Om Redo masuk ke kamarku, aku lupa mengunci pintu. Ia mengelus pipi dan kepalaku juga berusaha menciumku penuh nafsu.

Aku berteriak, meski teriakanku tak kuat, sebab tubuhku lemas. Aku mencoba lari, dia menahan tubuhku berusaha mengunci pintu. Dicampakkannya tubuhku ke kasur, dia mulai membuka bajunya dan bajuku, tuhaaan apa yang diperbuatnya padaku. Aku tak bisa memberontak keras, sekujur tubuhku sakIt, keperawananku direnggut manusia biadap itu.

***

“Ra, Rara.. Bangun, Nak. Ini ibu, ini ibu nak,” ibu membangunkanku. Aku terheran mengapa aku sampai di rumah sakit.”

“Maafkan ibu nak, maafkan ibu, ibu tak bisa menjadi ibu yang baik, ” ibu menangis di sampingku, menghardik dirinya sendiri.

“Bu, aku sakit, aku takut bu,” air mataku pun pecah. Aku benar-benar hancur kali ini. Di usiaku yang sangat muda, aku mendapat perlakuan jahanam dari laki-laki itu.

Di ruangan itu tak hanya ada aku dan ibu, tetapi juga ada Pakde dan Bude, entah Bagaimana mereka bisa tahu aku di rumah sakit.

Di saat kami sama-sama menumpahkan tangis, dua orang polisi menghampiri kami.

Baca: Benda yang Berkorban

“Maaf bu, apa sekarang ibu sudah bisa ikut kami ke kantor?” ibu menciumku sepuas hatinya, memelukku, dan akhirnya melepaskan genggaman erat tangannya. Ibu dibawa oleh polisi. Aku tak tahu kenapa jalur hidupku sebegini pahitnya.

“Titip anak-anak saya ya bu, pak.” kulihat Pakde dan Bude mengangguk sambil menyalami ibu. Ibu pergi bersama polisi itu, ibu tak menghiraukan teriakanku memanggilnya.

“Ibu kemana Bude??” tanyaku dengan linang air mata.

Bude memelukku erat, menceritakan hal yang sebenarnya terjadi.

“Tadi pagi kebetulan Bude jumpa ibu di tempat kerjanya, Bude makan di tempat kerja ibu. Ibu menceritakan perihal kisah hidupnya kepada Bude dan Pakde, ia juga mencoba meminjam uang kepada Bu De katanya untuk membawa kamu dan adikmu jauh dari ayah tirimu itu. Karena mendengar Rara sakit, Bude dan Pakde meminta izin pada ibumu untuk menjenguk Rara. Ibumu juga bilang perasaannya tidak enak di rumah, takut kamu kenapa-napa.

“Setibanya kami di rumahmu, kami dapati Redo telah keluar dari kamarmu, sedangkan kamu tergeletak bersimbah darah. Percekcokan terjadi antara ibumu dan Redo, hingga ke halaman rumah. Sangking kesalnya ibumu memukul Redo dengan botol Miras yang diambilnya dari tangan Redo itu, Redo jatuh besimbah darah dan tetangga melihat kejadian itu. Ibumu dilaporkan mereka ke polisi, Redo meninggal saat kejadian itu. Kini Rara dan Nisa jadi anak angkat Bu De dan Pak De, kita tunggu keputusan Hakim nanti atas ibumu, kita sama-sama berdoa agar kalian bisa berkumpul kembali.”

Mendengar hal itu, aku merasa ingin mati saja. Aku benci pada laki-laki. Aku benci Ayah, Aku benci Putra, aku benci Om Redo, dan aku benci laki-laki di seluruh dunia ini.

Reporter: Kiki Mardianti
Editor: Hendrik Khoirul
Foto/Fimela.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.