Pengorbanan Tanpa Imbalan

Judul Buku     : Gadis Pantai

Penulis            : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit          : Lentera Dipantara

Tahun Terbit   : 2016

Tebal buku      : 272 Halaman

“Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini. Ah tidak, aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan”

Oleh Linda Rizky

Berlatar belakang era penjajahan Belanda, novel ini mengisahkan salah satu babak yang sangat menyedihkan bagi bangsa Indonesia. Sebagai negara jajahan, Indonesia hanya bisa pasrah dengan keadaan. Banyak terjadi kesenjangan sosial seperti feodalisme yang terjadi pada masa itu. Tunduk kepada pemimpin menjadi salah satu syarat untuk bisa tetap hidup. Rakyat kecil tidak mampu berbuat apa pun, tertindas oleh penguasa yang semena-mena, mengorbankan segala hal yang dimiliki.

Novel ini bercerita tentang seorang gadis belia yang tinggal di kampung nelayan Jawa Tengah, Kabupaten Rembang. Memiliki tubuh kecil mungil, mata agak sipit, serta hidung ala kadar menjadikannya Bunga Kampung Nelayan.

Di usia yang ke 14 tahun, ia terpaksa menikah dengan sebilah keris, yang menandakan bahwa dia telah dinikahkan dengan seorang pembesar yang bekerja pada Belanda. Masa mudanya terenggut oleh keadaan yang memaksanya untuk menjadi selir seorang pembesar “Bendoro”. “Mas Nganten”, itulah julukan yang diberikan kepadanya, sebuah sebutan untuk selir yang berarti menjadi istri tak resmi sebagai pernikahan latihan sebelum Bendoro menikah dengan wanita yang sederajat dengannya.

Tidak pernah terbayangkan olehnya bagaimana menjadi selir seorang pembesar dan tinggal di kota. Terselip rasa takut pada Bendoro yang kini telah menjadi suaminya.

Kehidupan Gadis Pantai mulai berubah, tangan yang dahulu kasar kini secara perlahan berubah menjadi lebih halus, wajahnya mulai dirias dengan celak buatan Arab dan memakai pakaian selembut sutera yang menambah kecantikannya. Ketika bercermin, Gadis Pantai tak mengenali siapakah yang berada di balik cermin itu. Seolah terbersit di hatinya bahwa itu bukanlah dirinya, itu hanyalah kepalsuan.

Tinggal di rumah besar lantas tak membuatnya merasa berada di surga. Tawa gembiranya tak secerah dulu hingga ia lupa caranya tertawa. Tidak memiliki teman seorang pun, hanya seorang bujang tua yang menjadi pelayan, teman sekaligus sahabatnya sebagai tempat pemuas jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Dan dari bujang tua inilah Gadis Pantai belajar beradaptasi dan menghabiskan hari-harinya mempelajari hal yang baru.

Kehidupan Gadis Pantai mulai terancam ketika datang seorang pelayan baru yang menggantikan bujang tua yang biasa menemaninya. Ia membawa misi untuk melenyapkan Gadis Pantai dengan imbalan yang menggiurkan.

Hingga pada suatu hari Gadis Pantai hamil, badannya lemas dan tak mampu berbuat apa pun, hanya terbaring lemas di atas ranjang. Selang beberapa bulan, akhirnya Gadis Pantai melahirkan, namun  Bendoro yang selalu sibuk tentu saja tidak berada di rumah.

Hari-hari Gadis Pantai berubah bahagia setelah anaknya lahir, tapi kebahagiaan yang dirasakannya tak berlangsung lama. Bendoro menceraikannya. Gadis Pantai tahu apa yang akan terjadi padanya dan anaknya. Ibu dan anak pasti akan dipisahkan, jiwa keibuannya meronta untuk tetap melindungi anaknya. Namun apa daya, Bendoro yang memiliki kuasa di sana. Gadis Pantai diusir dan keluar dengan tangan kosong. Rasa malu untuk kembali ke kampung menggelayutinya. Tak tahu arah yang akan ia tuju, hanya teringat pelayan tua di Selatan Pulau Jawa.

Gadis Pantai ditulis dengan gaya bahasa yang menarik serta dibumbui dengan sedikit bahasa Jawa sehingga deskripsi latar cerita di tanah Jawa terasa sangat kental. Alur cerita yang ditulis pun menarik, dan dengan jelas mengkritik feodalisme yang terjadi pada masa lalu, antara masyarakat biasa dengan kaum priyayi. Penggambaran alur cerita seolah seperti nyata, penulis membawa pembaca merasakan penderitaan Gadis Pantai yang masih belia. Konflik-konflik batin yang tak dapat terelakkan tak luput digambarkan dalam buku ini.

Meskipun kisah ini unfinished, tak menjadikan novel ini miskin dari esensi dan sastra, novel ini sarat akan gambaran makna kehidupan yang dialami oleh perempuan di masa penjajahan. Dan sangat disesalkan ketika dua buku lanjutan Gadis Pantai raib disebabkan kebiadaban vandalisme Angkatan Darat di masa pemerintah fasis Soeharto.

Gadis Pantai adalah sebuah trilogi roman karya penulis tersohor Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya telah melahirkan 50 karya-karya luar biasa yang telah diterjemahkan ke lebih 50 bahasa asing. Tidak ada yang bisa menghentikan semangatnya untuk menulis, sekalipun berada di penjara.

Dan apresiasi yang luar biasa karena Gadis Pantai dipastikan tidak akan pernah ada, jika saja pihak Universitas Nasional Australia  (ANU) di Canberra tidak mendokumentasikannya dan lewat Savitri P. Scherer, mahasiswi yang mengambil tesis seputar kepengarangan Pramoedya Ananta Toer. Berbahagialah membaca buku karya-karya pesohor bangsa dan lestarikan jangan sampai hilang ditelan peradaban. Banyak pesan yang terkandung dalam novel ini, sehingga menjadikannya sebuah novel yang layak untuk dibaca oleh generasi hari ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.