Marak Kasus Bunuh Diri, Dosen Psikologi Ungkap Pentingnya Kesehatan Mental

Penulis: Alhamda Putri**

Gagasanonline.com – Menurut World Health Organization (WHO) hingga (28/8/2023) jumlah korban jiwa akibat bunuh diri telah mencapai lebih dari 700.000 orang. Perilaku bunuh diri dikaitkan dengan berbagai gangguan jiwa, seperti depresi. 

Pada Oktober, telah tercatat empat kasus bunuh diri mahasiswa. Kasus baru-baru ini yang menghebohkan, adalah dua mahasiswa di Semarang yang meninggal dalam keadaan tragis hanya selang satu hari.

Menanggapi itu dosen Psikologi UIN Suska Riau Ikhwanisifa, mengatakan banyak faktor seseorang memutuskan bunuh diri salah satunya kesehatan mental. Karena depresi, atau logika berfikirnya kurang matang dan sistematis.

“Sebenarnya orang yang melakukan hal tersebut awalnya hanya percobaan saja entah itu menyakiti diri sendiri dll,” ujarnya saat diwawancarai, Rabu (25/10/2023).

Ikhwanisifa menambahkan orang yang memiliki keinginan untuk bunuh diri itu karena kurang didengar, tidak mempunyai tempat untuk bercerita, dan kurang terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial.

“Mungkin dia tidak punya tempat untuk bercerita, dia introvert tidak mempunyai lingkungan sosial yang juga support,” ujarnya.

Mahasiswa Fakultas Psikologi (FPsi) Ibnu berpendapat, maraknya mahasiswa bunuh diri karena kurang didengar sehingga menarik diri dari keramaian, serta banyaknya tuntutan tugas yang diberikan. Dia berharap dengan mengenal isu kesehatan mental di kalangan mahasiswa, kasus tersebut dapat berkurang.

“Fase orang ingin bunuh diri pasti ada gejalanya awalnya ceria menjadi murung dan berakhir depresi dan semoga kasus ini dapat berkurang, ” pungkasnya.

Senada dengan itu, Dwi Ervina Rahmadani mengatakan dengan bercerita ke orang terdekat dan berani speak up terkait masalah yang sedang dihadapi serta berfikir terbuka, ia berharap kasus ini tidak pernah terjadi lagi.

Ikhwanisifa menjelaskan tips mengatasi supaya tidak berfikir untuk bunuh diri yaitu dengan memilih strategi antara emotion focused coping, problem focused coping atau keduanya.

“Ketika ada masalah yang perlu kita lakukan adalah kita berespon dulu terhadap emosi-emosi yang kita rasakan, atau memilih strategi coping apa yang mau dipakai,” tutupnya.

Reporter: Alhamda Putri, Eviati
Editor: Fira Wahyuni Putri
Foto: dock. pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.