Penulis: Annisatul Fathonah
Gagasanonline.com – Tak dapat dipungkiri, menjadi sarjana tepat waktu adalah impian setiap mahasiswa. Namun, kenyataannya, mendapatkan gelar sarjana sesuai target waktu bukanlah tugas yang mudah. Mengapa demikian? Apakah semangat mahasiswa telah memudar, ataukah persyaratan menuju gelar sarjana begitu rumit? Saya pikir jawabannya terletak pada yang terakhir.
Saat saya menanyakan kepada teman-teman yang sudah berada di tingkat akhir studi, mayoritas dari mereka mengeluhkan kerumitan persyaratan di kampus. Di kampus Madani ini, Juz Amma, TOEFL dan TOAFL juga menjadi syarat lulus. Bahkan, di beberapa fakultas, ada tambahan hafalan doa yang harus dipenuhi.
Harusnya hal tersebut tidak menyulitkan, mungkin dianggap tambahan berkah. Namun, yang masalah ketika beberapa fakultas menetapkan bahwa minimal 85% hafalan wajib disetor sebelum mahasiswa boleh mengikuti Sidang Proposal. Sebaliknya, fakultas lain mungkin menerapkan syarat yang sama, namun dengan toleransi yang lebih besar.
Sudah lama sebenarnya saya ingin menulis ini. Tapi sebagai mahasiswa yang masih berharap ada keringanan persyaratan sidang, saya menahan diri. Akan tetapi, sampai sekarang tak ada perubahan yang meringankan malah persyaratan semakin bertambah.
Realitasnya banyak mahasiswa tingkat akhir yang cukup keberatan dengan penetapan hafalan Juz Amma yang telah ditentukan fakultas. Seperti edaran surat Persyaratan seminar proposal yang pernah saya baca “Bukti setoran Juz Amma minimal 30 surah” begitulah kira-kira isinya.
Bukankah ini dianggap sebagai hambatan bagi sebagian orang. Pasalnya tak semua mahasiswa yang dapat menghapal dengan cepat, belum lagi jika dosen yang berwenang meminta mahasiswanya menyetor dengan tajwid yang benar. Ditambah ada persyaratan lain yang harus dipenuhi.
Tidak hanya itu, pelayanan administrasi baik di tingkat fakultas maupun kampus seringkali tidak ramah dan responsif.
Baru baru ini, saya mendapatkan pengalaman yang kurang enak. Di ruang administrasi bersama mahasiswa lainnya kami mengantri untuk menyelesaikan segala persyaratan. Pegawai di sana bisa dibilang tidak ada yang menyambut dengan hangat ataupun tersenyum. Banyak dari mereka memasang muka judes, marah-marah, hingga ada yang meminta untuk datang di kemudian hari dengan dalih sedang sibuk. Atau bahkan sedang tidak ada di tempat saat jam kerja sudah dimulai. Jika begitu, siapa yang patut disalahkan?
Mau tidak mau, mahasiswa meninggalkan ruangan dengan raut kekecewaan. Tak sedikit dari mereka mengeluarkan air mata.
Saya memaklumi sikap tersebut, mungkin saja pegawainya sedang lelah atau memang sedang banyak kerjaan. Tetapi, itu tak terjadi sekali dua kali. Beberapa keluhan yang saya dengar dan saya alami, mahasiswa kerap merasakan hal serupa. Sehingga perkara ini membuat mereka takut untuk mengurus dan bertemu pegawai-pegawai tersebut.
Lalu, bagaimana dengan pejabat fakultasnya. Apakah mengetahui sikap pelayanan bawahannya? Padahal, tiap Fakultas dan kampus selalu memberikan survey kepuasan kepada mahasiswa. Menjadi pertanyaan bukan, apakah tidak ada evaluasi dan keterbukaan dari hasil survey tersebut atau mahasiswa tidak berani mengungkapkan keluhannya.
Bukankah setiap fakultas menginginkan mahasiswanya lulus tepat waktu. Tetapi mengapa masih ada persyaratan yang begitu banyak tanpa adanya toleransi. Mengapa masih ada kendala yang dialami mahasiswa dalam mengurus persyaratan-persyaratan tersebut?
Editor: Rofiqoh Romadhoni
Foto: Annisatul Fathonah