Citayem Fashion Week dan Fenomena Remaja Berpacaran

Penulis: Hendrik Khoirul

Gagasanonline.com – Khalayak media sosial akan medsos mungkin tidak asing dengan fenomena Citeyam Fashion Week di Sudirman Central Busines District (SCBD). Ratusan remaja berkumpul meramaikan Kawasan BNI City Sudirman, Jakarta itu dengan beragam busana. Beberapa mendukung, tapi ramai juga yang memperolok, “Ekonomi sulit gaya elit!”

Mengutip Tempo.co, menurut Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati, fenomena remaja nongkrong di kawasan Sudirman, Jakarta merupakan efek media sosial. Mereka, yang notabene merupakan entitas individu dalam masa pencarian identitas, terpengaruh medsos yang kerap dikonsumsi. Di era digital, biasanya mau tidak mau individu ini akhirnya menjadi tawanan dari kepungan visual digital.

“Yang memang banyak menunjukkan referensi gaya hidup,” kata Devie kepada Tempo, Senin 4 Juli 2022.

SCBD memang jadi ramai setelah banyak konten yang beredar di medsos tersebut. Para konten kreator membuat “wawancara ekslusif” dengan beberapa remaja yang datang, dengan berbagai pertanyaan. Mulai dari jenis fashion yang mereka kenakan. Datang ke SCBF menggunakan apa atau dengan siapa? Serta, pertanyaan-pertanyaan lainnya. Konten seperti ini ternyata disenangi oleh khalayak dan memancing remaja di sekitaran SCBD untuk datang.

Kadang pertanyaan yang diajukan konten kreator kepada remaja-remaja tersebut menjurus ke ranah orang dewasa, seperti, “Kamu sudah punya pacar belum?”, “Ini pacar kamu?”, “Sudah berapa lama pacaran?” dan pertanyaan-pertanyaan lain yang menjurus. Banyak penikmat medsos, kemudian nyinyir soal perilaku remaja yang mengaku sudah pacaran atau punya pacar. Tak sedikit yang berpendapat, di usia remaja pendidikan lebih penting.

Fenomena remaja pacaran bukan hal baru. Remaja mengaku pacaran bukan hanya terungkap setelah munculnya fenomena Citayam Fashion Week yang dikontenisasi tersebut. Jauh hari, bahkan jauh bulan atau jauh tahun, remaja pacaran adalah fenomena tak lazim yang dibiarkan lazim. Bahkan, mungkin, ada juga dari pengguna medsos yang berkomentar nyinyir itu sebenarnya dulu adalah penyintas. Seperti tidak pernah muda saja.

Di Indonesia, terutama bagi penganut agama Islam, pacaran dianggap haram. Sebab laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dilarang berdua-duaan. Norma dan nilai yang dianut masyarakat juga menabukan pacaran. Di beberapa daerah, kedua sejoli yang ketahuan pacaran bakalan langsung dinikahkan. Pacaran memang mendapat konotasi negatif di telinga masyarakat. Kendati sebenarnya, tidak sedikit anggota masyarakat yang sebenarnya juga pernah pacaran.

Fenomena remaja pacaran ada bukan karena tanpa alasan. Kebiasaan kita adalah menyalahkan, menghujat, menghakimi, mendiskriminasi, dan apalah itu, tanpa mau melihat sisi lain dari sebuah fenomena. Pertanyaannya adalah, mengapa muncul fenomena remaja pacaran? Apakah mereka benar-benar membutuhkan romansa cinta monyet dari “pasangan” ketimbang afeksi dari keluarga? Adakah perilaku orang dewasa menjadi role model bagi remaja?

Sedikit banyak, fenomena remaja pacaran sebenarnya dipengaruhi oleh perilaku orang dewasa. Apalagi dewasa ini informasi sangat mudah didapatkan. Media digital dan internet menjadi dua mata pisau yang bermanfaat sekaligus menjerumuskan. Tayangan berbau percintaan membanjiri media Indonesia, bukan tak boleh, tapi sayangnya tayangan ini juga ditonton oleh anak-anak, bahkan remaja.

Siapa yang bisa menjamin mereka tak menonton acara dengan konteks dewasa itu? Malahan, beberapa tahun belakangan, banyak muncul drama bertemakan anak sekolah yang bukan berorientasi pada pendidikan, tapi lebih kepada kisah percintaannya. Secara sengaja namun tidak sadar, atau sebenarnya sadar, acara-acara ini memberikan kontribusi kepada remaja. Produser sinetron sepertinya tahu betul cara mendapatkan rating tinggi. Ya, menjual kisah cinta masa remaja.

Penelitian yang dilakukan Vusvi Eka Sari Zendrato dan kawan-kawan yang dipublikasikan dalam PSIKIS-Jurnal Psikologi Islami Vol. 2 No. 2 (2016), menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara perilaku menonton sinetron percintaan dengan perilaku pacaran pada remaja, dengan kontribusi sebesar 58,5%. Kita kerap kali menyalahkan dan menghujat remaja pacaran, tetapi sebenarnya salah satu penyebab fenomena ini muncul adalah karena orang dewasa. Ibarat kata “Kita yang ngasih contoh, kita pula yang sok suci”.

Terlepas dari konteks nilai agama dan budaya yang menabukan pacaran, sebenarnya pacaran di usia remaja ada bagusnya. Jika dengan maksud dan tujuan baik, pacaran dapat memberikan motivasi bagi remaja dalam menempuh pendidikan, menurut publikasi di Repositori Universitas PGRI Sumatera Barat oleh Afriani Nanda Sari. Selain itu, berpacaran di usia remaja juga dapat mendorong perubahan perilaku remaja menjadi lebih baik.

Di sisi lain, menjalin hubungan pacaran juga menjadi penyebab stres para remaja. Sebuah penelitian yang diterbitkan secara online berjudul The Journal of School Health menyebutkan bahwa remaja yang tidak menjalin pacaran selama SMP dan SMA akan memiliki kemampuan bersosial yang bagus dan terhindar dari depresi. Penelitian yang dilakukan oleh Brooke Douglas bersama Pamela Orpinas sejak 2013 kepada sekelompok remaja dari kelas 6 hingga 12 di Georgia Timur tersebut, menunjukkan bahwa remaja yang tak pernah berpacaran memiliki keterampilan interpersonal lebih baik dibandingkan dengan remaja yang sering berpacaran.

Bagi muslim, terlepas dari baik dan buruknya dampak pacaran di masa remaja, satu hal yang perlu diingat adalah Islam mengharamkan pacaran. Remaja atau dewasa sama saja hukumnya. Jadi, sebelum berkomentar nyinyir terhadap perilaku remaja yang pacaran, ada baiknya berintrospeksi terhadap diri sendiri. Apakah Anda pacaran?

 

Editor: Sabar Aliansyah Panjaitan
Foto: cnnindonesia.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.