Umi Sardjono dan Stigma Gerwani, Perempuan-Perempuan yang Dituduh Terlibat G30S

Gagasanonline.com – Peristiwa Gerakan 30 September 1965 selain dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia, juga dipaut-pautkan dengan Gerwani alias Gerakan Wanita Indonesia yang saat itu diketuai oleh Umi Sardjono. Gerwani, yang memang dekat dengan paham komunis, dituduh terlibat dalam tragedi pembunuhan tujuh jenderal yang berakhir di lubang buaya. Mereka, Umi Sardjono dan anggota Gerwani, turut ditangkap usai peristiwa berdarah tersebut. Tuduhannya, mereka secara biadab turut menyiksa para jenderal dengan mencukil mata, menikam kemaluan dan menyayat tubuh korban? Tetapi benarkah demikian?

Cerita tentang penyiksaan korban G30S yang sadis oleh anggota Gerwani terus dingiangkan hingga dekade ini, percaya atau tidak, saya adalah satu dari banyak siswa yang didoktrin bahwa para revolusioner disiksa sebelum mati. Cerita sadis tentang pencungkilan mata dan penyayatan tubuh jenderal-jenderal tersebut telah saya dengar sewaktu sekolah dasar. Setelah masuk ke perguruan tinggi, kisahnya lebih seru lagi, ternyata pelakunya adalah wanita-wanita yang terlatih untuk menghajar orang. Begitulah kisah yang saya dengar tiap jatuh tanggal 30 September. Sampai akhirnya saya membaca Majalah Tempo edisi 4-10 Oktober 2021, dari sanalah perlahan semua pertanyaan saya terjawab. Sekali lagi, pertanyaan saya itu adalah… benarkah demikian?

Baca juga: Luntang Lantung Perhutangan Duniawi

Kunci dari semua jawaban pertanyaan saya adalah sosok Umi Sardjono, dulunya bernama Suharti Sumodirwiryo, kurang lebih selama satu dekade perempuan ini memimpin Gerwani, sebuah organisasi perempuan yang memperjuangkan kesetaraan hak dan perlindungan bagi kaum perempuan. Karena turut berafiliasi dengan PKI, setelah kejadian G30S, tak urung anggota Gerwani ikut ditumpas, bukan hanya diburu dan dipenjarakan, isu soal mereka terlibat dalam penyiksaan para jenderal yang dibumbui metafora pesta seks pun disebarkan. Umi Sardjono, sang ketua, tak luput dari penangkapan dan dijebloskan ke penjara. Tak ada saksi yang mengatakan apakah Umi Sardjono disiksa selama dibui, sebab setelah dia keluar dari sana, wanita pergerakan ini memilih untuk menutup mulut terkait pengalamannya di penjara hingga akhir hayat.

Soal keterlibatan Gerwani terhadap pembunuhan jenderal tragedi G30S, menurut penelusuran Ita Fatia Nadia, penulis buku Suara Perempuan Korban Tragedi ’65, yang juga Ketua Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan, hingga kini masih amat sumir dan simpang siur. Namun cerita penyiksaan para tahanan politik Gerwani akhirnya tertuliskan juga. Salah satunya adalah Sudjinah, ia adalah seorang wartawan yang ditahan bersama Umi Sardjono di penjara perempuan Bukit Duri, Jakarta. Rahim Sudjinah pecah disodok dengan sebatang besi, bukti x-ray nya diperlihatkan Ita saat mengunjungi Umi Sardjono.

Perempuan tahanan tragedi G30S yang juga disiksa dengan tudingan terlibat penyiksaan para jenderal adalah Jamilah, ia masih 15 tahun saat ditangkap. Umi Sardjono kepada Ruth Indiah Rahayu, Ketua Divisi Pendidikan Indoprogres Institute for Social Research and Education, mengatakan bahwa sebelumnya tak pernah mengenal Jamilah dan baru bertemu saat di penjara perempuan Bukit Duri. Namun perempuan tersebut juga dituduh terlibat dalam aksi pesta seks sebelum membunuh para jenderal. Padahal Jamilah bukanlah anggota Gerwani, ia hanyalah seorang pelacur yang tidak tahu menahu tentang peristiwa yang terjadi di Lubang Buaya. Kendati begitu, Jamilah tetap disiksa dan dipaksa mengaku bersalah.

Baca juga: Pancasila Sebagai Arah Perubahan Hukum di Indonesia

Tuduhan anggota Gerwani terlibat dalam kejadian Lubang Buaya terus menyebar meski para pentolannya telah mendekam dalam penjara. Saskia E. Wieringa, dalam bukunya Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, mencatatkan peran media massa menyebarkan propaganda tersebut. Salah satunya adalah media pemberitaan Berita Yudha, media tersebut dalam beritanya yang terbit pada 5 Desember 1965 menyebut Umi Sardjono dan pentolan Gerwani terlihat mencurigakan saat diwawancarai. Padahal, selama diwawancara oleh wartawan Berita Yudha, Umi Sardjono, Mudikdio, Dahliar, dan Kartinah Kurdi tak banyak bicara. Mungkin inilah yang menyebabkan Umi Sardjono di kemudian hari bersikukuh tetap tutup mulut hingga ajal menjemput.

Cerita soal wanita khusus yang dibina untuk menyiksa jenderal korban G30S juga digodok oleh Berita Yudha, media pemberitaan ini memuat pengakuan seorang perempuan bernama Emmy, sebuah nama yang masih cukup asing digunakan perempuan pribumi kala itu. Dalam berita yang dimuat media tersebut terdapat pernyataan Emmy yang semakin memperkuat propaganda keterlibatan Gerwani, “Ikut latihan di Lubang Buaya, dan di sana para pemimpin menjanjikan akan memberikan Rp 1,2 juta jika mau menyiksa para jenderal,” kata Emmy.

Tak sedikit sejarawan yang meragukan keterlibatan Gerwani terhadap pembunuhan para jenderal dalam tragedi G30S. Apalagi belakangan, laporan autopsi mayat para jenderal memastikan tuduhan soal penyiksaan dengan mencungkil mata, menikam kemaluan, atau pun menyayat kulit para korban sebelum dibunuh, tidak terbukti benar. Hasil autopsi menunjukkan bahwa selain luka tembak fatal, tak ada tanda-tanda penyiksaan di tubuh mereka. Meski telah terbukti tidak ada penyiksaan terhadap korban tragedi G30S, stigma buruk tentang Gerwani masih melekat hingga kini.

Umi Sardjono hingga akhir hayatnya memilih tetap diam terkait peristiwa Lubang Buaya, cerita itu disimpannya rapat-rapat, setiap kali ilmuwan, penulis, maupun wartawan mendatanginya, Umi Sardjono hanya sedikit saja buka suara soal Gerwani. Bahkan ketika Orde Baru yang ditakutinya telah runtuh pun, ia tetap memilih diam. Umi Sardjono memang membawa beban rasa bersalah terhadap anggota Gerwani. Saskia E. Wieringa menuturkan ulang perkataan Umi Sardjono, “Ia merasa sangat bersalah, bertanya berulang kali, apa kekeliruanku? Apakah aku yang bertanggungjawab atas semua ini?” kata Wieringa.

Umi Sardjono akhirnya tutup usia pada 11 Maret 2011 silam, tepat pukul 02:00 WIB. Ia menghembuskan nafasnya kali terakhir di usianya yang ke-88 tahun. Umi dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Cipinang Asem, Jakarta Timur. Namun, kini pusara Umi Sardjono dikabarkan sudah tidak ada, bahkan nama Umi Sardjono maupun Suharti Sumodirwiryo juga tak terdata dalam database Pemakaman Cipinang Asem. Ruth dan Ita menduga Umi Sardjono mendapatkan penyiksaan selama ditangkap usai tragedi G30S, namun ia tak pernah menceritakan kepada siapapun. Umi Sardjono memendam ceritanya saat di penjara bersama jasadnya, kini kuburannya yang semestinya dapat dijamah pun hilang pusaranya.

Editor: Wulan Rahma Fanni
Sumber: Majalah Tempo edisi 4-10 Oktober 2021
Sumber Foto: historia.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.