Nestapa Orang Papua Hadapi Rasisme di Indonesia

Penulis: Bagus Pribadi

Gagasanonline.com – Tidak dipungkiri, gerakan Black Lives Matter di Amerika Serikat atas meninggalnya Goerge Floyd, menginspirasi orang dari berbagai belahan dunia untuk membicarakan rasisme yang terjadi di negaranya masing-masing.

Dilansir dari abc.net.au dalam aksi Black Lives Matter yang digelar di Melbourne, Australia, Cindy Makabory, perempuan asal Papua itu berorasi dan menceritakan insiden yang terjadi di asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 2019 lalu, dimana teriakan berbau rasis seperti ‘monyet’ disematkan pada orang Papua.

“Nama saya Cindy Makabory. Saya bangga lahir dari pasangan pribumi berkulit hitam dari Melanesia,” ucapnya dalam bahasa Inggris.

Di Indonesia, muncul diskusi-diskusi daring membahas seputar rasisme yang dihadapi Papua sejauh ini. Tak hanya itu, pada 15 Juni 2020, di beberapa kota juga digelar aksi langsung yang meminta tahanan politik Papua di Balikpapan dibebaskan tanpa syarat.

Baca Juga: Masuk Area UIN Suska Riau Wajib Kenakan Masker

Akar Rasisme Indonesia Terhadap Papua

Ketua Aliansi Mahasiswa Papua, Jhon Gobai menjelaskan pada tahun-tahun munculnya semangat pembebasan di berbagai negara sekitar tahun 1940-1960an, saat itu juga Papua sedang mempersiapkan kemerdekaan. Kali pertama bendera Bintang Kejora dikibarkan di tanah Papua pada 1 Desember 1961.

“Pada Mei 1963, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerahkan Papua pada Indonesia di bawah Perjanjian New York,” tuturnya dalam diskusi daring bertajuk ‘Diskriminasi Rasial Terhadap Papua’ yang diselenggarakan oleh UKPM Teknokra, Universitas Lampung, Kamis (11/6/2020).

Gobai menuturkan dalam Perjanjian New York, PBB memberikan syarat kepada pemerintah Indonesia yakni referendum pada tahun 1969. Maka pada 1969 diterapkan Pepera untuk melakukan pemungutan suara. Namun, kata Gobai, pemungutan suara yang harusnya dilakukan oleh seluruh orang Papua berjumlah 800 ribu, diubah menjadi 1025 orang, yang orang-orangnya dipilih oleh pemerintah Indonesia.

“Sebelum Pepera, pada 1967 juga Indonesia menjual hak penambangan di Papua kepada Freeport. Mengapa Indonesia sudah berani menjualnya sebelum dilakukannya Pepera?” tanya Gobai.

Menurutnya, Indonesia selalu menyebarkan narasi bahwa Papua akan jadi negara ‘boneka’ buatan Belanda, dalam artian perjuangan orang Papua dalam menggapai kemerdekaan tak dianggap murni. Padahal semua itu dilakukan karena semangat Indonesia untuk terus mengambil Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di Papua.

“Rasisme itu senjata Indonesia untuk terus melakukan praktik-praktik eksploitasi SDA, yang dibantu oleh kapitalisme. Penjajahan itu melahirkan rasisme,” terangnya.

Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua), Surya Anta Ginting mengatakan praktik rasisme Indonesia kepada Papua dilakukan secara struktural. Akarnya ialah kolonialisme, sehingga berbeda dengan rasisme yang dialami orang Tionghoa dengan orang Papua.

“Praktik rasisme kepada Papua akan terus berlanjut seiring dengan praktik kolonialisme yang dilakukan Indonesia kepada Papua sampai saat ini.”

“Kita sebagai orang Indonesia mengkhianati nilai-nilai anti kolonialisme. Kalau Anda tak bersuara tentang kebebasan berpendapat, pers, informasi di Papua, maka demokrasi kita akan cacat. Kita tak akan bisa keluar dari ‘demokrasi sempit’ dan kita akan hidup di bawah tirani,” lanjut Surya.

Baca Juga: Masa Kecil Bersama Body Shaming

Keterbatasan Informasi dan Minimnya Akses Jurnalis di Papua

Pada 3 Juni 2020 lalu, PTUN Jakarta memvonis bersalah Presiden Joko Widodo, serta Menteri Komunikasi dan Informatika atas kasus pemblokiran internet di Papua pada Agustus 2019 silam. Putusan ini menjadi angin segar bagi keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia.

Tantowi Anwari dari Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (Sejuk) menyayangkan perlakuan pemerintah Indonesia yang selama ini tentang pembatasan informasi di Papua. Hal itu karena menyulitkan para jurnalis dalam melakukan peliputan.

“Pembatasan akses ini membuat media-media di Indonesia cenderung tak melihat persoalan yang terjadi di Papua,” ujarnya.

Media-media di Indonesia sedikit yang membicarakan Papua, dibanding dengan jumlah keseluruhan yang ada di Indonesia. Tantowi memberi tahu ada media di Papua yang bisa menjadi rujukan seperti Jubi.co.id dan Suarapapua.com dan beberapa media di ibu kota memberitakan soal Papua dengan objektif.

“Tapi, pembatasan akses informasi ini membuat banyak media memberitakan soal papua itu hanya hal-hal yang bombastis saja, misalnya isu-isu makar. Tapi dalam pemberitaan yang seperti itu pun enggak memberi ruang untuk orang Papua, pada akhirnya refresentasi Papua di media sangat diskriminatif,” terangnya.

Menurut Tantowi, seharusnya negara memenuhi pertanyaan para jurnalis selama ini, tentang kebebasan pers di Papua. Sehingga jurnalis tidak mentah-mentah hanya memberikan ruang pada pemerintah dari satu sisi, dan mengutip mentah-mentah rilis dari pemerintah.

“Dalam pemberitaan Papua berimbang saja sudah bagus, namun kalau sudah ada ketimpangan, harusnya posisi jurnalis memihak pada korban,” imbuhnya.

Baca Juga: Pembayaran UKT Dimulai Juli, UIN Suska Belum Kasih Keringanan

Penderitaan Kolektif Orang Papua Hari Ini

Gerakan Black Live Matter di Amerika Serikat dan menyebar di berbagai belahan dunia puncak dari gunung es perilaku rasis yang terjadi di dunia. Bagi Surya, Papua juga tak bisa lagi menerima perilaku rasis yang dialami selama di Indonesia.

Surya bertutur, dalam kasus Surabaya di 2019 mengakibatkan letupan yang besar, setidaknya itu berdampak paling besar dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Tuduhan orang Indonesia yang mengakibatkan meletupnya kasus di Surabaya itu sampai sekarang tak pernah terbukti.

“Sampai sekarang Joko Widodo tak pernah minta maaf atas kasus itu melainkan menganjurkan orang Papua memaafkan itu,” kata Surya.

Sementara Gobai menganggap rasisme yang selama ini dihadapi orang Papua bentuk dari kontruksi Indonesia menyikapi Papua. Sepanjang Papua bergabung dengan Indonesia, tak terlepas dari perilaku rasisme.

“Indonesia saat ini selalu melihat Papua berdasarkan perspektif pembangunan. Kalau seperti itu, masalah rasisme tak akan selesai. Misalnya, Timika adalah kota paling tinggi tingkat buta hurufnya di Papua, padahal Freeport berada di situ. Yang membuat orang Papua tak berkembang adalah negara, karena hanya fokus pada infrastruktur demi melanggengkan kepentingan kaum kapitalisme,” keluhnya.

Ia menceritakan tentang perilaku-perilaku rasisme yang sering dijumpai seperti ketika dirinya naik angkot, orang-orang pada menutup hidung. Kemudian orang Papua dibilang monyet, dan diskusi-diskusi mahasiswa Papua yang kerap kali dilarang.

“Kami menganggap rasisme berasal dari Negara Indonesia. Orang Papua akan bahagia hanya kalau kemerdekaan didapatkan oleh orang Papua. Itu perjuangan orang Papua hari ini,” tutup Gobai.

 

Reporter: Bagus Pribadi
Editor: Wilda Hasanah
Foto: twitter.com/friwp

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.