Masa Kecil Bersama Body Shaming

Penulis: Siti Nurlaila Lubis

Gagasanonline.com – “Kok badannya lebih besar ya dari ibunya sendiri, masih SD badan kok udah seumuran anak kuliahan,” itu salah satu kalimat yang paling menyakitkan yang pernah saya dengar dari beberapa orang yang bertemu saya ketika di luar.

Di antara semua kalimat yang pernah dilontarkan entah dalam bentuk candaan ataupun serius  seperti “eh gendut,” “ya ampun betisnya besar banget,” “jangan makan banyak-banyak nanti pipinya makin tembem,” “tinggi banget sih, badan juga lebar,” kalimat pendek yang kesannya membandingkan tubuh saya dengan ibu saya sendiri itulah yang sampai hari ini masih membekas diingatan.

Kalimat tidak baik itu saya terima ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Usia saya masih sebelas tahun saat itu, sudah memasuki fase baligh dan pubertas. Namun karena kepolosan dan tidak mengerti sama sekali, kalimat tersebut saya anggap hanya angin lalu saja. Pemikiran saya saat itu menganggap ucapan yang dikeluarkan biasa saja, saya tidak marah atau menyangkal karena bagaimanapun itu hak mereka untuk berbicara apapun.

Tapi lama-kelamaan beberapa kali kalimat-kalimat tidak baik itu jika terdengar ditelinga, sangatlah risih dan membuat saya tidak nyaman terhadap tubuh yang saya miliki. Tentunya saya bertanya-tanya memangnya ada yang salah jika postur tubuh saya seperti ini? Bukankah ini sudah pemberian dari pencipta? Beberapa kali hal semacam itu membuat saya kepikiran dan ingin membahasnya dengan ibu di rumah, namun lagi-lagi ketidakberanian saya muncul untuk tidak memberitahu ibu.

Semenjak mendengar komentar orang-orang tentang tubuh saya, saat itulah saya sadar bahwa rasa percaya diri saya pelan-pelan menurun. Ada saja yang saya tutupi setiap kali ingin jalan keluar seperti memakai baju yang lengannya lebar atau ukuran bajunya besar yang pada saat itu bukan ukuran baju yang biasa saya pakai. Jadi bagian lengan yang besar itu hilang dimakan lengan baju gombrong. Karena sudah dibiasakan sejak kecil lama-lama saya nyaman untuk menggunakan cara itu agar lemak di tubuh saya tidak terlihat di mata orang-orang.

Saya adalah anak perempuan pertama dari tiga bersaudara yang memiliki bobot kerangka tubuh yang besar sejak kecil. Bentuk tubuh saya berbeda dengan kedua adik saya. Ibu bilang sejak usia dua bulan perkembangan tubuh saya sudah kelihatan berisinya, sampai saya memasuki Taman Kanak-kanak (TK) postur tubuh yang tinggi sudah lebih nampak karena  ada moment di mana saat ada acara pawai sekolah saya dipilih untuk memakai seragam Polisi Wanita (Polwan) dan memegang spanduk identitas TK serta berdiri paling depan saat berjalan.

Baca juga: Disebut Sebagai Zona Hijau, Warga Rimba Melintang Tetap Patuhi Protokol Kesehatan

Ketika naik kelas empat sekolah dasar perkembangan tubuh saya semakin terlihat besar dan bertambah tinggi. Saat itu memang saya sangat menyukai makan, apa saja makanan yang lewat di depan rumah seperti cemilan sering saya beli ditambah lagi kalau orangtua sudah banyak masak di rumah, makan saya pasti akan bertambah.

Namanya juga masa pertumbuhan jadi semuanya saya bawa santai saja, lapar  makan haus  minum. Itupun minuman bersoda atau minuman sachet yang diblender di warung dekat rumah. Kalau di sekolah pun tentunya saya akan jajan seperti anak kecil pada umumnya.

Kalau di kelas saya termasuk siswi yang memiliki tubuh yang lebih tinggi dibandingkan teman-teman lainnya. Mungkin karena pola makan yang sejak kecil kurang teratur alias makanan yang masih berantakan membuat tubuh bertambah lebar. Kalau kata orang-orang tubuh saya jadinya tinggi besar.

Saat saya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) yang ketika itu berusia 17 tahun. Pembentukan tubuh saya sudah benar-benar terlihat, masih sama yaitu  postur tubuh yang tinggi dan besar. Saya juga sadar kalau bobot tubuh saya berbeda dari teman-teman yang lain. Rasa tidak percaya diri yang pernah dialami di waktu kecil akhirnya terbawa sampai besar.

Semua hal yang terjadi dalam hidup saya berlanjut ketika sudah berada di perkuliahan. Pola berpikir saya pelan-pelan mulai berubah, saat itu saya lebih banyak mendengarkan orang-orang menyuarakan  kampanye ‘stop body shaming. Memang ketika itu mengomentari tubuh seseorang sedang jadi bahan diskusi apalagi kasus ini lebih sering dialami oleh perempuan.

Baca juga: Nasib Bongku dan Sengketa Adat Sakai dengan PT Arara Abadi

Saya pun tertarik untuk mengetahuinya, beberapa artikel saya baca tentang apa itu  body shaming, kemudian apa pengaruh dan efeknya terhadap diri sendiri, bagaimana cara menanggapi orang-orang yang kerjaannya hanya mengomentari tubuh orang lain, apalagi hal ini juga menyangkut perasaan manusia. Khususnya perempuan yang apa-apa sensitif kemudian terbawa perasaan.

Saya baru menyadari bahwa apa yang saya terima di masa lalu itu sangat berdampak besar di hidup saya saat ini. Rasa tidak percaya diri terhadap tubuh saya waktu itu sampai dewasa masih sering dialami bahkan sesekali membuat saya takut, yang saya lakukan sekarang hanyalah berusaha bersikap semestinya ketika menanggapi hal ini.

Lalu timbul pertanyaan kenapa tidak diet saja? kenapa tidak mengatur pola makan saja supaya berat badannya berkurang? Kenapa tidak olahraga yang banyak? Sebenarnya sejak SMA saya sudah mulai mencoba untuk melakukan diet dan berolahraga. Saya menonton youtube, mendengarkan resep-resep diet dari beberapa teman, kemudian membaca buku tentang pola makan yang baik.

Namun lagi-lagi itu selalu gagal karena saya belum terbiasa untuk melatih diri yang selera makannya banyak kemudian tiba-tiba dikurangi dalam waktu yang mendadak. Tapi kalau ingin sehat semua yang tidak enak itu harus dipaksa diawal, maka dari itu pertengahan kuliah saya memulainya kembali  dengan tujuan untuk membuat tubuh sehat karena ada beberapa anggota tubuh saya yang sakit dan gejalanya sudah sering saya alami ketika pola makan dan olahraga tidak dikontrol dengan baik.

Bagi saya apa yang terjadi di masa kini tentang orang-orang yang terlalu sering mengomentari tubuh orang lain sangatlah tidak memiliki hati nurani. Apalagi jika itu terjadi sesama perempuan dan sesama laki-laki. Kalau tidak tahu apa-apa cukuplah diam dan berhenti untuk mencampurinya, bukankah kita tahu kalau manusia punya privasi yang tidak perlu untuk diketahui orang banyak? Lalu mengapa kita terus sibuk untuk meremehkan fisik seseorang?

Baca juga: Dongeng Untuk Orang-orang di Atas

Dilansir dari cnnindonesia.com yang mengutip Hello Giggles, survei menyebutkan bahwa sebanyak 93 persen wanita dan 83 persen pria mengungkapkan rasa tidak percaya dirinya akibat body shaming yang dilontarkan orang-orang di sekitarnya. Perut dan kaki menjadi bagian tubuh yang sering membuat mereka malu. Namun, meski sama-sama melaporkan rasa malu, body shaming memengaruhi wanita dengan porsi yang lebih besar. Wanita disebutkan cenderung lebih lama terpengaruh body shaming.

Mengapa perempuan lebih cendrung terpengaruh? karena perempuan perasa dan jika ada yang salah karena tubuhnya dikomentari orang lain pasti akan membuat mood perempuan tersebut jadi kacau. Contoh sederhana saja ada orang mengatakan “kok lipstik yang kamu pakai merah banget sih di bibir” dengan adanya kalimat itu saja bisa memacu rasa tidak percaya diri seseorang kambuh. Tentu ia akan bertanya kepada teman di sekitar yang melihatnya apakah lipstiknya benar-benar merah atau tidak, dan akhir dari semua itu lipstik yang sudah dioles dengan rapi dan indah itu ia hapus.

Apakah sebuah kesalahan jika ada seseorang yang memiliki rambut keriting, ikal dan lurus? Apakah itu sesuatu yang tidak baik jika seseorang memiliki kulit yang tidak kuning langsat? Kemudian tidak memiliki tinggi dan berat badan ideal? Semua itu tidaklah salah, yang menjadikan itu salah hanyalah pemikiran orang-orang yang selalu negatif terhadap sesuatu.

Berkomentar tentang citra tubuh seseorang tidak hanya dilakukan secara langsung namun dalam lingkup kolom komentar sosial media pun juga ramai menjadi perbincangan masyarakat. Jika ada seseorang yang sedang memublikasikan dirinya di laman sosial medianya, kemudian ada orang-orang yang mengomentari fisik bahkan sampai menghina dan orang yang dikomentari tersebut tidak terima maka  bisa saja si pelaku dilaporkan serta dijerat hukuman yang berlaku.

Bersumber  dari Tirto.id tentang Pasal 27 ayat 3 UU ITE bisa menjerat pelaku body shaming, karena pasal itu menyebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dapat dipidana paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta. Sementara itu, penghinaan terhadap citra tubuh dapat di kategorikan sebagai pasal penghinaan ringan yang termaktub dalam Pasal 315 KUHP.

Baca juga: Mahasiswa Rasakan Sulitnya Bimbingan Skripsi sampai Ujian Proposal Saat Pandemi

“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

“Jika ditelaah, sebenarnya tidak ada kalimat dalam aturan tersebut yang menyebut pidana penghinaan citra tubuh atau body shaming secara eksplisit. Yang ada hanya klausul “penghinaan/pencemaran nama baik” yang bersifat umum dan seringkali dilihat sebagai ‘pasal karet’ karena bisa menimbulkan multitafsir. Pasal ini menjerat banyak korban serta mengekang kebebasan berekspresi.

Semenjak saya mengalami body shaming semasa kecil. Ketika dewasa ini saya berusaha untuk sesantai mungkin jika ada orang yang masih mengomentari bentuk fisik saya. Tidak terlalu bawa perasaan cukup menertawakannya saja, karena kita tidak bisa menghentikan seseorang bahkan membuat orang lain menyukai diri kita sendiri pasti ada saja yang tidak mereka sukai.

Untuk semua orang yang sedang berada di tahap merasa tubuhnya tidak ideal, belum bisa berpenampilan baik sesuai keinginannya. Tidak apa-apa jika hari ini tubuh seperti itu yang dimiliki, bersyukurlah karena masih diberikan tubuh lengkap dan sehat.

Nanti akan ada saatnya memiliki apa yang dimimpikan, perubahan itu tidak datang secara instan, semua yang dilalui ada proses panjangnya. Tutup telinga jika mendengar komentar yang tidak membuat hati senang, ambil waktu untuk mengubah semuanya dan jangan pernah lupa untuk membahagiakan diri sendiri.

Editor: Winda Oktavia
Foto: Internet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.