[Cerpen] Penyesalan Tak Berujung

Penulis: Rindy Ariska**

Gagasanonline.com – Udara malam yang dingin dan menusuk tulang, dengan sepoi angin yang membawa pesan seolah menyelimuti malam ini, seorang gadis yang berlari di tengah jalan dengan pakaian yang berantakan. Bulir keringat juga mulai membasahi kening dan lehernya. Napasnya terengah dan air mata mengalir di pipinya, dari mata indahnya yang berwarna hitam pekat.

“Hei kau! Tunggu aku! Jangan lari, Melva!, ” seseorang dengan perawakan seram dan suara berat mengejar gadis itu.

Gadis itu terus berlari sambil terisak. Sesaat kemudian ia terjatuh.

“Dapat kau! Sekarang kau tidak bisa lepas lagi, Dasar pembunuh!,” ujar seseorang itu dengan sarkasnya.

“Tidak, aku bukan pembunuh,” gadis itu gemetar.

Seseorang berperawakan seram itu mulai mendekatinya.

“Tamatlah riwayat mu gadis bodoh. Nyawa dibalas nyawa,” ucap seseorang itu dengan suara beratnya sembari mengeluarkan pisau dari saku nya.

“Jangan sakiti aku, aku bukan pembunuh nya,” Melva memohon dengan suara tercekik.

“Mati kau melva!, ” seseorang itu menodongkan pisau.

Gelap…

Kamar itu gelap dengan seorang gadis yang sedang berbaring di kasur dengan tidak nyaman. Kepalanya terlempar beberapa kali ke kiri dan kenan.

“Jangan…. Jangan sakiti aku. Aku bukan pembunuh..”

Tiba-tiba lampu kamar menjadi terang dan seorang perempuan berlari kearahnya.

“Mimpi itu lagi?, ” tanya Lila kepada Melva.

“Aku bukan pembunuh, aku bukan pembunuh,” Melva teriak sambil menangis.

“Iya, kau bukan pembunuh, kau itu bukan pembunuh!,” jawab Lila sembari memeluk Melva.

Melva, seorang gadis cantik yang terjebak oleh kisah dimasa lalu, ia selalu di hantui rasa bersalah.

Kisah itu bermula ketika ia dan sahabatnya janjian bertemu di sebuah cafe untuk membicarakan tentang pesta ulangtahun Melva.Velia awalnya menolak karna sebenarnya ia sedang tidak enak badan dan meminta Melva untuk ke rumahnya saja. Namun Melva bersikeras untuk tetap bertemu di cafe biasa. Akhirnya mau tidak mau Velia menuruti permintaan sahabatnya itu.

Saat itu hari sedang hujan lebat. Melva telah tiba sebelum hujan turun, namun saat itu sahabatnya, Velia belum kunjung datang.

Melva mencoba untuk menghubungi Velia, namun tidak membuahkan hasil. Velia tidak dapat dihubungi.

Hingga tiba-tiba….

“Hallo, Velia kamu dimana? Aku sudah menunggu mu di cafe,” tanya Melva cemas.

“Maaf,,” terdengar suara asing diseberang telepon.

“Maaf, yang punya handphone ini mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat,” ujar orang tersebut.

Deg…

Seketika jantung Melva berhenti berdetak.

Air mata nya mengalir deras, ia tidak percaya, ia tidak menyangka. Ia menyesal telah memaksa Velia untuk bertemu dengan nya di hari itu.

Sejak saat itu, semua orang menyalahkannya. Orang tua Velia menyalahkannya dan juga membencinya.  Melva juga membenci dirinya sendiri, andai saja dia tidak memaksa Velia untuk bertemu dengannya, pasti Velia masih hidup sampai saat ini.

Melva yang periang kini menjadi murung, dia seperti orang gila. Dia selalu merasa bersalah, dia terperangkap dengan kisah dimasa lalunya itu. Kejadian itu selalu menghantui nya.

Setiap hari Melva pergi ke rumah Velia untuk bertemu orangtua Velia. Melva ingin mendapatkan maaf dari orang tua Velia. Tetapi, orangtua Velia enggan memberinya maaf.

“Assalamualaikum.. Permisi om tante..,” Melva mengetuk pintu rumah velia dan memanggil kedua orangtua Velia.

Sesaat kemudian, orangtua Velia keluar dan langsung memasang muka amarah penuh kebencian. Mereka masih sakit hati dan mereka masih menganggap kematian Velia adalah ulah dari Melva.

“Mau apa lagi kamu? Sudah saya katakan sampai kapanpun saya tidak akan pernah memaafkan kamu!,”mama Velia sangat muak dengan Melva.

Dengan tampang lusuh dan airmata yang mengalir di pipi, Melva pergi dari rumah itu. Ia tidak tau harus bagaimana lagi. Ia sempat berfikir untuk mengakhiri hidupnya saja. Beberapa kali ia menyakiti dirinya sendiri, menyanyat, menggunting rambut, ia sudah seperti orang yang tidak waras.

“Velia, andai saja waktu bisa diputar. Aku tidak akan memaksamu untuk bertemu denganku. Velia hari ini adalah hari ulangtahunku, setahun setelah kepergian mu. Biasanya kita merayakannya bersama. Tapi tahun kemarin,sekarang dan selanjutnya kita tidak bisa merayakannya lagi. Maafkan aku velia maafkan aku.. Tenang di sisi-Nya sahabatku. Aku selalu merindukan mu,” tangis Melva pecah.

 

Editor: Wulan Rahma Fanni
Foto: Gagasan/Rindy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.