Upaya Perempuan Perokok Melawan Stigma

Penulis: Delfi Ana Harahap

Judul              : Perempuan Berbicara Kretek

Penulis          : Abmi Handayani, dkk

Penerbit         : Indonesia Berdikari, Januari 2012

Tebal              : x + 320 halaman

Penulis           : Delfi Ana Harahap

Gagasanonline.com – Buku yang ditulis oleh Abi Handayani dkk ini berisi essai-essai mengenai perempuan-perempuan yang bersinggungan langsung dengan kretek dan dengan orang-orang yang mencintai rokok kretek. Essai dalam buku ini menarasikan rokok dari sudut pandang perempuan, stigma yang diterima perempuan perokok, dokrin negatif rokok, serta keterlibatan perempuan dalam sejarah tembakau dan rokok yang luput dari ingatan masyarakat Indonesia.

Essai-essai dalam buku ini dibagi menjadi empat sub bagian, yang masing-masing menarasikan kretek dan rokok dalam tema yang berbeda.

Bab pertama : “Ritus Keseharian”, dalam bab ini terdapat delapan essai yang menceritakan kretek maupun rokok dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam essai “Kota Gila” yang ditulis oleh Atika di halaman 3, tokoh Edo yang mendebat tokoh Saya dengan tegas mengkritik pemahaman dan dokrin negatif yang melekat dalam pikiran masyarakat tentang rokok, seperti : rokok tidak baik bagi kesehatan, penyebab kanker, gangguan janin dll. Edo memaparkan bahwasannya penyumbang polusi udara 60-70% adalah asap knalpot kendaraan. Polusi asap industri 10-15%, dan sisanya berasal dari rumah tangga, pembakaran sampah dan kebakaran hutan. Dan dalam data Bappenas (Badan pembangunan Nasional) yang turut dipaparkan Edo, menyebutkan bahwasannya per-kendaraan  mengeluarkan asap yang mengandung sekitar 1000 unsur beracun yang mengotori udara. Diantaranya karbon monoksida (Co), timbal (Pb), NO dan Ozon (O3). Zat-zat beracun ini dapat mengakibatkan penyakit kanker, kemandulan pada perempuan, gangguan janin, merusak sistem pernafasan dan pencernaan, mengganggu tingkat kecerdasan (IQ) anak, dan bisa mengakibatkan penyakit mental.

Namun naasnya gembar-gembor mengenai dampak negatif polusi udara tidak seterkenal iklan-iklan dan dokrin mengenai dampak negatif merokok. Iklan layanan masyarakat tentang larangan merokok justru lebih sering kita temui di televisi maupun poster di bandingkan iklan layanan masyarakat mengenai dampak polusi udara yang justu lebih mematikan. Padahal seharusnya pemerintah menekan jumlah penggunaan kendaraan pribadi dan menekan pembangunan besar-besaran, serta membangun ruang-ruang hijau di tengah kota, dan genjar menggembar-gemborkan dampak negatif asap kendaraan. Agar masyarakat kita lebih takut oleh asap kendaraan dibandingkan dengan asap rokok yang dituding sebagai sumber berbagai penyakit mematikan.

Dalam Bab kedua : “Perempuan di Simpang Stigma” berisi 14 essai yang menceritakan bagaimana perempuan-perempuan perokok harus mengemban beban stigma dari masyarakat jika dengan terang-terangan merokok di hadapan umum. Dalam essai berjudul “Perempuan juga (Berhak) Merokok,” halaman 125 yang ditulis Astrid Reza,

dikatakan bahwasannya hidup di Indonesia sebagai perempuan perokok adalah sebuah dilema. Ketika perempuan merokok di hadapan umum, tak jarang orang lain akan melebeli stigma, seperti perempuan perokok adalah perempuan tidak baik dan murahan. Tokoh saya menceritakan bahwasannya pada generasi masa Ibunya dan dirinya dikatakan jika segala prestasi dan karir yang diperoleh perempuan dapat hancur hanya karena perempuan itu merokok. Padahal dalam generasi si Nenek tokoh Saya, merokok bagi perempuan adalah sebuah pilihan yang natural dan merupakan bagian dari budaya. Sehingga pada generasi si Nenek, perempuan tidak mengemban beban stigma seperti tokoh Saya, karena pada generasi si Nenek masyarakat tidak dicekoki dengan nilai-nilai bias yang sempit akan kebaikan dan keburukan di balik kebiasaan merokok.

Dalam essai ini juga dipaparkan keterlibatan perempuan dalam sejarah perkembangan rokok kretek di Indonesia yang menempati posisi cukup vital. Dalam cerita Haji Djamahari yang dipaparkan penulis dalam essai ini, dikatakan rokok kretek pertama kali diracik oleh perempuan bernama Mbok Nasilah pada 1870-an di Kudus, dengan komposisi tembakau dan cengkeh yang dilinting dengan daun jagung kering. Dari sinilah awal Mbok Nasilah dan suaminya mengembangkan racikan rokok menjadi sebuah industri kretek. Namun sejarah telah berubah, saat ini perempuan Indonesia justru lebih sering dijadikan perisai gerakan anti merokok.

Bab 3 : “Dalam Pusaran Arus” dalam bab ini terdapat 14 essai yang berfokus tentang bagaimana rokok melawan zaman yang semakin hari semakin menyudutkannya karena semakin genjarnya gerakan anti merokok dan kerap dikait-kaitkan dengan sesuatu hal yang tidak baik.

“Dari Hellenisme sampai Kartini Penyejagatan dari Keberanian Perempuan” yang ditulis oleh Nurul Aini  pada halaman 205, tokoh Saya dalam essai ini mempertanyakan bagaimana bisa sebuah rezim memanipulasi kebenaran dan mengajak orang lain untuk tidak sekedar mengamini stigma-stigma dari rokok, tetapi juga melakukan penghakiman terhadap orang lain (si perokok). Masyarakat sering kita temui mempermasalahkan kebiasaan merokok sebagai gerbang menuju penggunaan Narkotika, tetapi tidak mengambing hitamkan konsumsi Monosodium Glutamat (MSG) yang berlebihan atau konsumsi antidepresain atau antibiotik. Dalam kungkungan media dan air bah informasi, nilai-nilai, norma-norma dan kelaziman ditentukan bukan lagi oleh kenyataan dan pengalaman empiris, tapi oleh apa yang dilansir dan disuarakan oleh media, serta dokrinasi yang didengar dari orang yang mungkin memiliki pengaruh di tengah-tengah masyarakat. Hal ini terlampir pada pesan singkat si Ibu penulis :

“Ibu baru kemarin ikut seminar NAPZA. Di situ, Narasumbernya bilang kalau rokok itu pintu masuk menuju narkoba. Katanya orang yang kecanduan rokok lebih gampang kecanduan narkoba. Nak, Ibu minta, bilang sama Mantu supaya berhenti merokok ya. Jangan sampai Kamu, hidupmu dan hidup anak-anak kalian jadi korban.”

Dalam praktik neokolonialisme, yang diracuni bukan hanya pasar, tetapi juga pola pikir. Dan yang menjadi korbannya seringkali dari masyarakat kelas menengah. Si Ibu tokoh Saya hanya salah satu dari sekian juta perempuan yang tak punya pilihan lain selain mengonsumsi media arus utama. Media-media yang demi kepentingan pasar didominasi oleh wacana-wacana yang juga meanstream. Pergeseran budaya dan pemaknaan terhadap kretek perlahan-lahan memposisikan kretek dan penikmatnya sebagai “Musuh Bersama.”

Dan di bab ke empat berisi narasi-narasi menganai budaya dan kemandirian bangsa. Dalam essai yang ditulis Anis Mahesaayu dengan judul “Mak Pik Si Pengkretek” diceritakan bahwasannya kretek adalah bagian dari budaya Indonesia sejak zaman penjajahan. Perempuan di era kelaharin “Mak Pik” menggunakan tembakau dan sirih untuk mengotori mulut dan gigi, agar penjajah tak menculiknya. Karena pada zaman penjajahan standarisasi kecantikan perempuan sudah ada, perempuan cantik haruslah bersih dan putih. Kemudian seiring berjalannya waktu, simbol kretek secara umum (khususnya bagi perempuan) sebagai warisan budaya dan media perlawanan telah bergeser menjadi stigma negatif. Hal tersebut sebenarnya tidak lepas dari penciptaan sejarah oleh Suharto pasca 1965. Pencitraan sosok perempuan “yang baik” mulai dibangun pascapenghancuran gerakan perempuan di Indonesia. Beberapa organisasi massa dan organisasi politik pada waktu itu dilarang beraktifitas lagi.

Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang saat itu diperhitungkan di Asia Tenggara, adalah salah satu media politik dan sosial perempuan pada masa itu yang ikut dilarang dan dikriminalkan. Banyak anggotanya diculik dan dihilangkan, sebagian lagi dipenjara tanpa proses hukum. Setelah lewat masa Gerwani tidak ada berita positif tentang gerakan perempuan berbasis masa rakyat. Citra buruk ini semakin melekat setelah sekitar tahun 80an diproduksi sebuah film G 30 S PKI yang diwajibkan bagi setiap siswa di semua sekolah untuk menonton tiap tanggal 30 oktober. Dalam film tersebut tampak Gerwani yang saat itu diceritakan sedang berlatih ketentaraan bersama pemuda-pemudi dari berbagai daerah. Gerwani digambarkan sebagai perempuan yang berpakaian agak terbuka, merokok, dengan sikapnya yang menantang, menari-nari dan dengan silet ditangannya menyayat-nyayat tubuh para jenderal. Bahkan ada yang digambarkan menyilet kemaluan jenderal yang ditangkap.

Di sinilah awal mula perempuan dihilangkan jatidirinya, lewat film dan berita bohong tentang Gerwani yang digambarkan sebagai perempuan tak bermoral. Dari proses pencitraan tersebut, munculah pandangan negatif bagi perempuan yang merokok, dianggap seperti Gerwani (liar dan tidak bermoral). Dan sejak peristiwa penghancuran perempuan tersebut, segala media pendidikan dan organisasi dibatasi dengan ketat untuk menjaga perempuan agar sesuai dengan “kodratnya”, yang tentu saja kodrat yang diciptakan oleh rezim saat itu. Dan Mak Pik, hanya satu dari sekian juta perempuan Indonesia yang berani melawan dan membebaskan diri dari ukuran-ukuran dan nilai-nilai kecantikan yang diciptakan dan ditanamkan oleh ”penjajah” (dunia barat) dengan terus menyusur dan mengngeretek.

Editor: Bagus Pribadi
Foto: Internet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.