Romansa Musik Tradisional Cina dan Masa SMA

Penulis: Hendrik Khoirul

Gagasanonline.com – Apa yang ada di benak Anda ketika seseorang menyebutkan kata ‘musik’? Bagi saya musik bukan sekedar kumpulan nada dalam ritme, seperti kata kebanyakan orang, musik adalah bahasa universal. Saking universalnya, ribuan jenis musik bertebaran di dunia ini, mulai dari musik tradisional klasik sampai modern elektro. Membandingkan musik adalah kesalahan terbesar, sebab seperti halnya pakaian, makanan atau apa pun yang mengandung kata ‘pilihan’, musik adalah soal selera. Kalau disuruh memilih antara musik klasik atau tradisional, bagai disuruh memilih Sate Padang atau Sate Madura, dua-duanya saya doyan.

Berbicara tentang musik klasik versus musik tradisional, barangkali film musikal asal negeri Tiongkok ini layak untuk kita ulas, Our Shining Day (2017). Banyak film yang mengangkat tema musik, Dreams misalnya, film Indonesia yang dibintangi Fatin Shidqia Lubis, atau film asal Korea My Paparotti yang diangkat dari kisah nyata. Sama dengan kedua film yang disebut terakhir, Our Shining Day juga menyajikan genre lakon hidup pembuktian diri. Berlatar belakang di sekolah musik yang memiliki dua jurusan, musik klasik dan musik tradisional Cina.

Konflik dalam film ini sudah disuguhkan sedari menit-menit awal film, yang seolah memang menekankan pada perspektif versus antara siswa jurusan musik klasik dengan siswa jurusan musik tradisional Cina. Awalnya saya berpikir, ini kan musik, kok dimusuh-musuhin? Musik tradisional Cina memang tak seberuntung sumpit dan mangkuknya yang mendunia, berbeda dengan musik klasik yang tetap populer di era modern karena dianggap dapat meningkatkan kecerdasan, musik tradisional Cina terenggut zaman karena dianggap kuno. Lewat film ini barangkali, paling tidak sang sutradara Wang Ran dapat menyuguhkan instrumen-instrumen musik Cina dan alunan melodi Tiongkok yang hampir terlupakan oleh dunia, hmmm… sutradara Indonesia kayaknya perlu bikin film musik tradisional juga, tapi jangan yang horor ya!

Perjalanan roda film ini berputar apik berkat akting Su Lu yang berperan sebagai Chen Jing, siswi jurusan musik tradisional Cina yang memainkan alat musik YangQin, sejenis musik pukul yang mengandalkan resonansi senar untuk menghasilkan bunyi, alat musik tradisional Cina yang dibawa dari Persia, secara harfiah YangQin sama dengan Piano, bedanya jika Piano diketuk dengan tut, alat musik ini dipukul menggunakan semacam stik khusus. Piano adalah alat musik yang dimainkan WangWen, seniornya dari jurusan musik klasik yang disukainya. Chen Jing menyatakan perasaannya pada WangWen, namun penolakan plus hinaan yang diterimanya. WangWen mempertanyakan alat musik apa yang dimainkan oleh Chen  Jing dan mengatakan tak pernah mendengar nama YangQin.

Bersama teman laki-lakinya, Li You (Peng Yuchang) Chen Jing berusaha membentuk grup musik dengan tujuan untuk membuka mata WangWen bahwa musik tradisional Cina tak kalah dengan musik klasik. Bertemulah mereka dengan keempat cewek ‘aneh’ berpenampilan nyentrik ala-ala cosplay yang tergila-gila dengan game dan anime atau karya grafik dua dimensi sejenisnya,  Xiaomai (Liu Yongxi), Sakura (Li Nuo), Beibei (Lu Zhaohua), dan Tata (Han Cungyu). Penampilan boleh ‘unik’, tapi kemampuan bermain musik tradisional mereka jangan diremehkan. Grup musik mereka terbentuk dan dinamai 2.5 Dimensi, kepopuleran mereka melejit setelah 2.5 Dimensi memainkan musik mereka di sebuah panggung pertunjukan ACG, sejenis konferensi untuk penggemar game, anime, dan manga. Awalnya musik mereka tidak diminati, bahkan ketika 2.5 Dimensi baru memulai, mereka ditinggalkan penonton lantaran dianggap kuno dan salah tempat. Mereka tidak patah semangat dan tetap memainkan musik mereka, penonton yang sempat merangsek pergi kembali berkerumun setelah mendengar musik 2.5 Dimensi yang kuno tapi menakjubkan.

Tujuan Chen Jing untuk menunjukkan apa itu YangQin pada WangWen telah tercapai, untuk kedua kalinya ia menyatakan cinta, Chen Jing berpikir setelah WangWen tahu apa itu YangQin, cowok itu akan menerimanya, namun sama seperti sebelumnya, WangWen menolak dan menghinanya, lagi. WangWen meminta Chen Jing untuk melupakan dan menjauh darinya karena kehadiran Chen Jing hanya akan mengganggu kariernya, apalagi WangWen sebentar lagi akan lulus dan pergi ke luar negeri untuk mempelajari musik klasik. Di saat Chen Jing terpaku dan terhina, Li You datang dan mengatakan dengan marah kepada WangWen, tidak semestinya WangWen menghina Chen Jing hanya karena ia memainkan alat musik tradisional Cina.

Chen Jing pada akhirnya memutuskan membubarkan grup musiknya, tentu saja Xiaomai dan yang lainnya marah dan kecewa. Namun bagi Chen Jing, 2.5 Dimensi hanyalah alat untuk pembuktian diri kepada WangWen. Chen Jing Juga memutuskan untuk berhenti memainkan YangQin namun kata-kata dari ibunya menyadarkan bahwa ia dan YangQin tak terpisahkan.

Secara garis besar film ini cukup menarik untuk ditonton, meski bertemakan anak sekolahan film ini tidak miskin konflik, bahkan konflik-konflik yang disajikan jauh dari kesan ‘drama’ karena plotnya mengalir sesuai rasional, ya meskipun tak sepenuh film ini sesuai realitas, misalnya se-wibu atau se-otaku apa pun Anda, rasanya tetap tidak nyaman mengenakan baju cosplay ke sekolah. Dan ngomong-ngomong soal Cosplay, film ini menggabungkan antara musik tradisional dengan sesuatu yang identik dengan anime, Anda dapat membayangkan musik tradisional Cina yang dimainkan oleh musisi berseragam Cosplay? Begitulah kira-kira…

Perseteruan antara jurusan musik klasik dengan jurusan musik tradisional Cina makin menajam setelah kepala sekolah mengumumkan lomba orkestra untuk jurusan musik klasik dan akan menutup jurusan musik tradisional Cina lantaran sedikit peminatnya dan prospeknya untuk ke depan tak secerah musik klasik. Anak-anak dari jurusan musik tradisional Cina karuan saja tidak terima dan menuntut kepala sekolah untuk mengikutkan serta jurusan mereka di ajang lomba bergengsi tersebut, dan tidak menutup jurusan musik tradisional Cina tahun depan. Bagian yang paling saya suka adalah ketika inspektur datang ke sekolah, di sinilah musik klasik benar-benar diversuskan dengan musik tradisional Cina. Gabungan instrumen barat dengan instrumen timur saat memainkan sebuah lagu untuk menarik perhatian inspektur benar-benar menarik perhatian saya. Kubert Leung, sang Director Music patut diacungi jempol karenanya.

Dugaan saya di awal ternyata salah, kata diversuskan rasanya kurang tepat, ‘musuh-musuhan’ suara ini malah menghasilkan harmoni musik klasik yang berbeda namun tetap simfoni. Kombinasi kedua alat musik dari budaya yang berbeda tersebut bukan suatu cela, malah terkesan menakjubkan, ketukan piano WangWen semakin harmonis diiringi denting YangQin yang dipukul Chen Jing, benarlah kedua alat musik ini secara harfiah memang sama. Tak hanya itu, di film ini Wang Ran ingin menunjukkan bahwa instrumen tradisional Tiongkok juga bisa menghasilkan musik Orkestra, tentu saja dengan nuansa Tiongkok yang kental.

Kisah cinta dalam film ini diminimalisir sedemikian rupa, bahkan hanya ditampilkan beberapa frame saja, namun tetap saja dalam sebuah film, kisah asmara termasuk bagian penting dan wajib, Wang Ran menyadari itu. Bukan dengan WangWen, cobalah tebak, barang kali Anda tahu Chen Jing akhirnya sadar siapa yang dicintainya selama ini, yang dengan senyum Chen Jeng mengatakan, “Aku tidak akan menyimpan fotoku, karena ada kamu yang akan memotretku diam-diam hingga di masa depan,” atau “Tidak apa-apa malam ini tidak ada kunang-kunang, kita masih memiliki banyak musim panas untuk menyaksikan kunang-kunang bersama.”

Meski demikian, film ini bukan tanpa kritik, jika Anda pernah menonton film My Paparatti yang dibungkus dengan keseriusan, film Our Shining Day ini jelas jauh dari kesan itu. Film ini terkesan cair dengan pembawaan Chen Jing yang ceria. Musik tradisional Cina pun terasa aneh dimainkan oleh sekelompok remaja berdandan ala cosplay. Entahlah, rasanya saya tetap ingin protes, main musik tradisional kok pakai baju anime? Di tambah lagi dengan sentuhan teknologi virtual membuat saya bertanya-tanya, apa sih film ini? Kesannya film ini kayak bercanda dengan masalah yang disajikan, kalau saja film ini dikemas dengan keseriusan dan konflik yang lebih tajam mungkin selepas menonton film ini akan membekas di ingatan penonton, seperti film My Paparotti, misalnya. Atau karena pasar film ini untuk remaja? Musik kan universal, seharusnya disuguhkan untuk semua kalangan umur.

Editor: Tika Ayu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.