Little Women: Posisi Penting Perempuan di Abad 19

Penulis: Bagus Pribadi

Gagasanonline.comLittle Women (2019) berawal dari sebuah buku karya penulis Amerika Serikat, Louisa May Alcott yang sudah diterjemahkan ke banyak bahasa, termasuk Indonesia. Dalam terjemahan berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Gramedia, cover buku ini langsung diubah sesuai dengan gambar film Little Women. Proses kapitalisasi seperti ini sering kali ditemui di industri perbukuan, baik buku dalam negeri yang akan dijadikan film, maupun buku terjemahan seperti Little Women.

Disutradarai oleh Greta Gerwig, film coming of age yang bercerita tentang drama keluarga ini fokus pada peran dan kedudukan perempuan pada abad 19. Little Women berkisah tentang keluarga Marches, sebagai upaya perwakilan gambaran posisi perempuan pada abad 19.

Keluarga Marches hidup di sebuah perkampungan yang indah. Di satu musim, perkampungan ini tampak hijau dan memanjakan mata Anda, di musim yang lain berubah diselimuti salju, bahkan rawa juga beku. Pasangan suami istri ini memiliki empat anak, yang semuanya perempuan. Aktivitas ke empat anak perempuan ini yang menjadi fokus film garapan Greta, baik saat beraktivitas di rumah, menonton teater, di rumah tetangga, sampai mereka dewasa dan memiliki jalan hidup masing-masing.

Dimulai dari Meg (Emma Watson) sebagai anak sulung yang anggun, sehingga adik-adiknya selalu berharap ia menjadi seorang aktris. Hal itu didasari karena kecintaan Meg terhadap teater. Meg tak terlalu tendensius untuk menjaga adik-adiknya seperti pandangan awam masyarakat Indonesia pada anak sulung. Tetapi, sifatnya yang mudah kompromi, dan di saat-saat genting, selalu punya solusi terhadap masalah yang dialami oleh ketiga adiknya. Ada kehangatan yang lebih dari sekadar status anak sulung yang dimilki Meg.

Jo (Saoirse Ronan), anak kedua yang paling memiliki sifat pemberontak di antara saudari lainnya. Saat beraktivitas sehari-hari, Jo sangat energetik. Dalam keadaan apapun ia selalu tampak baik-baik saja di depan semua tokoh yang ada di film ini, kecuali kepada ibunya. Jo selalu bekerja keras, juga dengan narasi menolak pernikahan yang dibawanya sejak film dimulai.

Jo menyukai dunia literasi. Hari-harinya dihabiskan untuk membaca di tengah keributan tiga saudarinya, dan di malam hari ia mulai menulis di loteng rumah mereka. Uniknya, Jo dan dunianya yang sunyi sama sekali tak membuatnya terasing dari saudarinya. Malah sebaliknya, ia yang paling energetik di antara saudarinya.

Sifat pemberontaknya tak sepenuhnya melekat di dirinya. Dibandingkan seorang kakak dan dua adiknya, Jo sangat pengertian. Ia selalu mengesampingkan urusannya untuk kedua adiknya, tapi untuk Meg, Jo tak selalu seperti itu. Ia sesekali tak peduli dengan perasaan Meg, apalagi ketika Meg menikah dan di situ Jo memaksa Meg untuk melarikan diri agar tak jadi menikah. Padahal keinginan Meg untuk menikah dengan tetangganya sudah membuncah. Pada akhirnya Jo menyerah membujuk kakaknya dan mengatakan, “sedih sekali, masa kecil sudah berakhir.”

Lalu ada Beth (Eliza Scanlen) paling pendiam di antara saudari-saudarinya. Beth sehari-hari hanya bermain piano dan sesekali memainkan boneka. Di usia remaja seperti itu, Beth membawa bonekanya ke meja makan dan ia menyuapi bonekanya.  Beth sangat pemalu, dan sakit-sakitan. Ia tampak tenggelam di antara tiga saudarinya. Ketika Meg dan Jo selalu keluar bersama untuk menonton teater, Beth asik main piano sambil membujuk si bungsu, yang merengek ingin ikut kedua kakaknya ke teater. Beth pernah bilang ke adiknya yang merengek, “di rumah saja, nanti kuajari kau bermain piano.” Sederhana dan tampak cuek, tapi Beth berusaha keras untuk membuat adiknya tenang dan tak sedih lagi. Padahal dari kecil dia tahu, hanya dia yang keranjingan bermain piano.

Terakhir ada Amy (Florence Pugh) kegemarannya menggambar membuatnya tampak paling berkesenian dibanding tiga kakaknya. Amy menggambar di mana saja, bahkan saat di ruangan kelas, saat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar. Amy menggambar gurunya seorang lelaki, yang berujung ketahuan dan dapat hukuman pukulan di tangan Amy. Karena luka tangannya, Ibunya bilang untuk tidak pergi ke sekolah itu lagi. Di sini jelas sekali potret posisi perempuan dalam ranah pendidikan.

Meski Amy paling manja, ia banyak menyimpan rasa dan memendam sendiri tentang hal-hal yang ada di kehidupannya. Suatu waktu keluar dari dirinya kata-kata yang paling pemberontak dibanding sifat Jo, “jangan katakan pernikahan bukan transaksi ekonomi!”

Little Women, selain menarasikan posisi perempuan, juga menjelaskan bagaimana profesi di bidang seni layak ada dalam kehidupan. Hal itu terbukti dari empat saudari ini, yang masing-masingnya menggeluti dunia penciptaan karya.

Pada Akhirnya Akan Kalah

Little Women memilih alur maju-mundur. Pemilihan alur seperti ini sangat membantu penonton untuk memahami film dan mampu masuk lebih dalam lagi ke hal-hal pendukung di film ini, jadi tak hanya fokus pada hal-hal yang tampak saja.

Di awal, Jo sebagai penulis datang ke penerbit dan menghadap editor. Editor menerima tulisan Jo dengan berbagai pertimbangan, di antaranya editor itu mengatakan, “jika ingin menerbitkan karya lagi, buatlah tema menarik khalayak ramai dan gampang laku contohnya, di penghujung cerita tokohnya mati atau menikah.” Jo hanya tersenyum kecut.

Dan saat kembali ke editor untuk menerbitkan karyanya yang ternyata berjudul Little Women ini, Jo bersikeras menolak arahan editornya yang sangat mempertimbangkan pasar.

Saya senang saat ada di bagian itu, bahkan sempat tertawa cukup keras di kursi bioskop. Sifat pemberontak sedari kecil melekat pada Jo, bisa dibawanya ke depan orang lain dalam posisi Jo membutuhkan orang itu. Hebatnya, ia melakukan itu tak di kampungnya sendiri, Jo pergi ke penerbitan di New York.

Ada yang membuat saya lebih senang dengan sifat pemberontak Jo, yaitu saat ia menenangkan Beth yang sakit parah. Di pelukan Jo, Beth berkata, “tidak ada yang bisa menghentikan kehendak Tuhan.” Jo dengan cepat menjawab adiknya sembari mengusap-usap rambut Beth, “kau akan sembuh, kehendak Tuhan belum bertemu dengan kehendakku,” jawab Jo.

Di abad 19 di antara perang, cukup hebat bagi seseorang untuk memerangi kapitalisme dan memperjungkan otoritas atas tubuhnya sendiri. Dan itu dilakukan Jo, sebagai perempuan hampir di sepanjang film ini.

Tapi di penghujung film yang tergesa-gesa ini, Jo tiba-tiba saja setuju dengan perkataan editornya di awal film. Pada akhirnya di bukunya, Jo membuat tiga dari empat saudari ini menikah, dan satunya meninggal.

Tapi saya berpikir positif, mungkin Little Women ingin menyindir penulis-penulis Amerika Serikat pada abad 19 yang cenderung mainstream dan selalu menganggap pasar lebih penting dari lainnya. Atau memang sesuai dengan film adanya, pada akhirnya manusia akan tunduk dan kalah dengan hal-hal yang ada di kehidupannya.

Judul: Little Women
Sutradara: Greta Gerwig
Pemeran: Saoirse Ronan, Emma Watson, Eliza Scanlen, Florence Pugh, Laura Dern, Timothee Chalamet, James Norton, Louis Garrel, Bob Odenkirk
Durasi: 2 jam 15 menit
Tahun: 2019
Negara: Amerika Serikat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.