Time Will Tell How Much I Love You

Penulis: Saprian Mahendra**

Gagasanonline.com – Semuanya bermula sejak aku mengenal seorang gadis manis berambut panjang, dia adalah sosok yang aku sukai saat SMA, namun aku tak pernah punya keberanian untuk memulai mengenalnya karena aku merasa tidak percaya diri untuk mendekatinya.

Setelah lulus SMA aku menempuh pendidikan di perguruan tinggi, bagai sebuah keajaiban tanpa sengaja aku bertemu dengannya lagi. Kami berada di jurusan dan kelas yang sama. Saat itulah aku tahu siapa nama gadis manis berambut panjang itu, dia menyebut namanya saat perkenalan di depan kelas. “Stevia!”

Baca: Mahasiswa: Label Buku di OPAC Perpus Universitas Tak Sesuai 

Waktu berjalan terasa begitu cepat, tiga bulan berlalu aku, namun belum ada kemajuan sama sekali. Aku masih belum memiliki keberanian bahkan hanya untuk sekedar menyapanya, tetapi aku merasa senang berada di kelas yang sama dengannya. Hal bodoh yang aku lakukan adalah menyia-nyiakan kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat, karena masih tidak ada keberanian dalam diriku untuk memulai percakapan dengan Stevia.

Hingga di suatu pagi aku merasa nasib baik berpihak padaku, waktu itu aku sedang duduk sembari makan roti ditemani sebotol air mineral di depan kelas menunggu jam kuliah dimulai. Sungguh tak terduga sama sekali, saat itu aku melihat Stevia berjalan dari kejauhan dan mataku tak berkedip sedikitpun tertuju padanya. Hingga tanpa kusadari ia sudah ada tepat di depanku dan sontak saja aku kaget dibuatnya.

“Gitu amat liatnya, awas entar naksir,” ucap Stevia sembari tersenyum manis.

“Sumpah aku sudah naksir kamu dari dulu…” jawabku, namun kalimat itu hanya bisa kukatakan dalam hati, karena aku masih belum berani untuk berbicara langsung empat mata dengan Stevia.

***
Selama ini aku hanya bisa mencari tahu sedikit tentang Stevia melalui sosial media dengan harapan bisa mendapatkan kontaknya. Aku mendapatkan kontak Whatsapp-nya. Setelah aku mendapatkan kontaknya, malam itu aku memberanikan diri untuk mengirim pesan untuk Stevia.

“Hai…” hanya kata itu yang bisa aku ketik, itupun membutuhkan waktu yang lama untuk mengetuk tombol kirim. Setelah kukirim pesan tersebut, tak ada tanda-tanda bahwa pesan itu akan di balas. Satu jam berselang, akhirnya pesanku dibalas Stevia.

Harapan yang semula hampir padam kembali bersinar dengan balasan pesan yang kuterima darinya.

“???”

Sungguh aku tak menyangka hanya itu balasan yang kuterima setelah satu jam lamanya aku menunggu, Namun kesempatan ini tak boleh kusia-siakan dan aku memberanikan diri untuk basa-basi dengannya.

“Kamu alumni SMA Bangsa, kan?”

“Iya, kok tau?”

“Soalnya aku juga lulusan SMA Bangsa, cuman kita beda jurusan, aku IPA kamu IPS,” jawabku.

Baca: Tim UIN Suska Lolos Semifinal Football Championship 2019

Meskipun harus menunggu balasan yang lama darinya, tapi tak mengurangi sedikitpun harapanku. Dan benar saja pesanku tak jua dibalas, aku pun memutuskan untuk tidur. Alarm berdering, sinar matahari menimpa wajahku melalui ventilasi jendela diiringi suara kokok dari ayam tetanggaku yang saling bersaut-sautan, sontak membuatku terbangun. Tak lama kemudian setelah aku bangun tidur aku bergegas ke kamar mandi, tapi dasar nasib lagi sial, ternyata antrian anak-anak kos lain yang hendak mandi sudah sejauh mata memandang. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak mandi pagi ini.

Setelah itu aku lekas pergi ke kampus, tapi biar pun aku terburu-buru tetap saja terlambat. Saat masuk ruang kelas, semua mata tertuju padaku namun tak kuhiraukan dan langsung ambil posisi paling belakang agar tidak menjadi pusat perhatian lagi. Tak lama kemudian suasana kelas kembali menjadi kondusif, selama pelajaran berlangsung aku memeriksa ponselku yang belum sempat aku cek. Ada beberapa pesan yang belum terbaca.

“Yang bener??”

“Kok aku gak pernah liat?”

“Hallo???” itulah bunyi balasannya.

Sungguh senang rasanya, ternyata pesanku dibalas meskipun beberapa jam kemudian dari sejak kukirim pesan.

“Iya bener aku sering liat kamu, mungkin kamunya yang gak pernah sadar kalau dulu aku berada di dekatmu,” tanpa pikir panjang langsung saja ku kirim pesan tersebut dengan harapan ini adalah awal dari segalanya.

Di luar dugaan saat perkuliahan selesai, ketika aku berjalan keluar dia menghampiriku dan menepuk pundakku.

“Hei…” sapanya.

“Eh iya,” spontan aku menoleh dengan perasaan gugup, senang bercampur menjadi satu menciptakan peluh di dahiku.

“Ternyata kita dulu satu SMA ya, tapi kok aku gak pernah liat.”

“Iya karena kita beda jurusan,” kataku sambil menyembunyikan rasa gugup.

“Kalau pernah satu SMA, Kenapa gak pernah nyapa?”

“Gak berani soalnya, maklum kamu kan waktu SMA jadi incaran semua cowok,” jawabku.

“Gimana-gimana? Incaran apa? Emangnya aku pencuri apa, yang diincar,” ingin rasanya aku bilang iya kamu pencuri, pencuri hatiku.

“Eh, aku duluan ya, udah dijemput soalnya,” kata Stevia sambil berlalu.

Sejak kejadian saat itu, aku dan Stevia jadi semakin sering berbalas pesan singkat di Whatsapp. Meskipun kedekatanku dengannya hanya sebatas teman. Namun itu saja sudah membuatku bahagia, karena aku bisa selalu ada di saat ia sedih, lemah dan lelah dalam menghadapi masalah-masalah yang selalu menghampirinya.

Baca: Urgensi Pendidikan Dalam Menciptakan Insan Pencipta

Waktu lagi-lagi terasa begitu cepat berlalu, tak terasa kedekatanku denganya hampir memasuki tiga bulan. Meski sudah hitungan bulan namun rasanya cuma sebentar. Aku tak akan berhenti di tengah jalan, aku telah memulai ini semua dan aku tak ingin ini berakhir begitu saja, itulah alasan yang membuatku tetap bertahan.

Di penghujung tahun bertepatan dengan libur semester ganjil, aku memberanikan diri menyatakan semuanya melalui Whatsapp. Aku telah siap menerima segala kemungkinan yang akan kuterima nantinya.

“Sebenarnya, aku sudah suka sama kamu sejak masih SMA, namun aku tak berani mengungkapkannya, dan kurasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk menyatakan semuanya padamu, apapun keputusanmu akan kuterima,” kataku lewat Whatsapp. Keringat dingin membasahi keningku, menantikan jawaban darinya dengan penuh rasa cemas, dadaku bergemuruh dan jantungku berdetak kencang, karenanya.

Dua centang biru menandakan pesanku sudah dibacanya, namun tak ada tanda-tanda pesanku akan dibalas. Aku pasrah jika memang harus begini akhirnya, setidaknya aku sudah mengungkapkan apa yang sudah aku pendam selama bertahun-tahun. Apakah aku salah mengungkapkan apa yang aku rasakan? Lambat laun dia pasti akan tahu betapa aku mencintainya. Time will tell how much i love you

Editor: Wiwin Winarti
Foto: Internet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.