Stigma Negatif Masyarakat Terhadap Cadar, Mengapa?

Penulis: Hendrik Khoirul

Gagasanonline.com

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

 

Artinya: Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Surat Al-Ahzab Ayat 59).

Meski dalam kancah pendidikan perguruan tinggi apalagi berbasis Islam, rasanya tetap perlu untuk sekali lagi mengulik dan mengulas arti aurat, mengingat belakangan banyak dibicarakan baik di media sosial maupun dalam diskusi formal dan non-formal. Menyadur dari Kamus Umum Bahasa Indonesia yang dikutip dalam jurnal Aurat Wanita dan Hukum Menutupnya  Menurut Hukum Islam tulisan Muhammad Sudirman Sesse dari Universitas Negeri Makassar, aurat adalah sesuatu yang menimbulkan rasa malu, sehingga seseorang terdorong untuk menutupnya.

Apabila pengertian tentang aurat dikenakan pada tubuh wanita, maka hal itu terkait dengan situasi mana wanita itu berada. Secara umum, situasi itu dapat dibedakan dalam tiga hal, yaitu; Ketika ia berhadapan dengan Tuhan dalam keadaan shalat, ketika ia berada di tengah-tengah muhrimnya, dan ketika ia berada di tengah-tengah orang yang bukan muhrimnya.

Berdasarkan syariat, sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran dan Hadis, maupun Ijtihad ulama, ternyata batas-batas aurat wanita tidak sama dalam tiga keadaan yang melingkupi ruang gerak wanita. Persoalan aurat merupakan cakupan bahasan yang sangat urgen dalam konteks wacana hukum Islam. Realitasnya, terkadang makna aurat sering dijadikan bahan kajian untuk mendiskreditkan eksistensi wanita, utamanya dalam melakukan aktivitasnya. Sementara kajian-kajian keislaman (syariat Islam) bertujuan menciptakan suasana kondusif dan harmonis, serta saling memberikan kontribusi pemikiran berharga bagi setiap yang menjalankan syariat agama dengan sempurna.

Dalam Jurnal Problematika Hukum Cadar dalam Islam: Sebuah Tinjauan Normatif-Historis hasil penelitian Lisa Aisiyah Rasyid, Rosdalina Bukido, disebutkan secara  historis perhatian  Indonesia  terhadap fenomena  jilbab dan  cadar, mulai tertuju  ketika  Pemerintahan  Orde  Baru  mengeluarkan  kebijakan  yang  sempat melarang penggunaan jilbab di sekolah maupun di ruang kerja. Pasca reformasi, jilbab  mulai  mendapatkan  kebebasannya sebagai  identitas perempuan muslim, meskipun masih ada kontroversi mengenai pemaknaan penggunaan jilbab.

Lintang Rantri dalam jurnalnya, ‘Cadar, Media dan Identitas Perempuan Muslim’ menyebut cadar merupakan versi lanjutan dari penggunaan jilbab, dalam studi tafsir  Islam sendiri dalil-dalil yang mengatur mengenai wajib atau tidaknya penggunaan  cadar  masih  diperdebatkan.  Namun  satu  hal yang  pasti,  penggunaan  cadar membawa konsekuensi penolakan lebih besar dari jilbab. Selain persoalan stigma  yang dilekatkan pada  perempuan bercadar yakni aliran Islam fundamental yang  erat  juga  kaitannya  dengan  terorisme,  cadar  kini  juga  menghadapi  penolakan teknis terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik.

Bahkan baru-baru ini, Fachrul Razi Menteri Agama di Hotel Best Western, Jakarta, pada Rabu 30 Oktober 2019, menyatakan tentang penggunaan cadar di lingkungan instansi pemerintahan dan ancaman keamanan. Ancaman keamanan yang dia maksud adalah seperti kasus penusukan Menkopolhukam Wiranto di Banten beberapa waktu lalu. Salah seorang penusuk Wiranto mengenakan jilbab panjang serba hitam dan bercadar. Fachrul Razi mengatakan tak ada dasar aturan agama dalam penggunaan cadar. Apalagi aturan di pemerintahan. “Kalau instansi pemerintah kan memang sudah jelas ada aturannya, kalau kamu PNS memang boleh pakai tutup muka?” ujar Fachrul, dilansir dari Tempo.co.

Cadar memang selalu menjadi isu yang kontroversial dalam Islam, bahkan  beberapa  waktu  yang  lalu,  masyarakat  muslim  Indonesia  kembali  dikagetkan  dengan  pemberitaan  dari  media  massa  baik  cetak  maupun  eletronik,  tentang dikeluarkannya  surat  edaranNo.  B-1301/Un.02/R/AK.08.3/02/2018  oleh  Rektor UIN  Sunan  Kalijaga Yogyakarta,  Prof.  Yudian  Wahyudi  yang  tertanggal  20 Februari  2018 perihal “Pembinaan  Mahasiswi  Bercadar”  bagi  mahasiswi  di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Keputusan Rektor tersebut mendapat  banyak  tanggapan  dan  tekanan  dari  berbagai  pihak.  Sehingga  demi  menjaga  iklim  akademik  yang  kondusif,  selang  beberapa  waktu  kemudian tepatnya  10  Maret  2018,  terbitlah  surat  No. B-1679/Un.02/R/AK.003/03/2018 perihal “Pencabutan Surat tentang Pembinaan Mahasiswi Bercadar”.

Stigma  negatif  tentang  perempuan  bercadar,  bermula  saat  terjadinya peristiwa ‘Bom Bunih Diri’ di kawasan Legian Bali pada 12 Oktober 2002. Korban meninggal pada peristiwa itu berjumlah 202 jiwa dan ini merupakan aksi teroris terparah  sepanjang sejarah  Indonesia. Media  massa saat  itu tidak  hanya memberitakan  tentang  pelaku-pelaku peledakan  bom  Bali  saja,  namun  juga menampilkan sosok istri-istri mereka yang semuanya memakai cadar. Setelah  pemberitaan  ini, masyarakat kembali dikagetkan dengan berita-berita lain terkait aksi terorisme di Bekasi  dan  Jakarta yang turut memberitakan isteri dari para tersangka yang kesemuanya bercadar.

Identitas dan stigma cadar terhadap perempuan ini, terus berkembang  dan menjadi lebih ekstrim pasca aksi terorisme yang menghancurkan Gedung WTC pada  11  September  2001  di  Amerika  Serikat.Baikjilbab  terutama cadar mendapatkan penolakan besar-besaran di hampir seluruh wilayah eropa, terutama  Amerika.  Bagi  anggota  keluarga  korban  dan  penduduk  eropa  lainnya,  cadar merupakan identitas perempuan muslim radikal atau bagian dari teroris.

Sementara  itu  bagi  perempuan  muslim  Indonesia,  penggunaan  cadar sekarang  ini bukan  sekedar  cara berbusana.  Ia  merupakan  bentuk  dari  ekspresi identitas keagamaan. Karena itu perdebatan tentang pemakaian cadar di kalangan muslim Indonesia muncul terkait dengan perbedaan pemahaman dalam beragama dan sekaligus terkait dengan kesesuaian cara berpakaian demikian dalam konteks Indonesia. Jilbab dan  cadar merupakan  sebuah simbol dan  bentuk komunikasi  non verbal yang memberikan tanda secara langsung mengenai identitas dirinya sebagai seorang  perempuan  Muslim,  tanpa  harus  mengucapkannya  melalui kata-kata kepada orang lain.

Bercadar adalah soal pilihan dengan latar belakang alasan yang tentu saja tidak bisa dipermainkan, bercadar bukan soal sekedar menutup aurat, tetapi menghindari fitnah yang memang amat rentan ditujukan kepada mereka yang dianggap kontroversial. Sebuah kecacatan toleransi yang parah ketika beragama diatur dan dikendalikan oleh penguasa. Ketika manusia berbuat maksiat yang dilanda musibah bukan hanya yang berbuat, tetapi juga orang-orang di sekitarnya. Begitu pula jika ada seorang hamba taat, yang mendapat berkah bukan hanya dirinya saja, tetapi juga orang-orang di sekitarnya. Biar segelintir saja, tetapi tetap ada, wanita muslim yang mau bercadar jauh lebih baik dari pada segerombol wanita muslim yang mengumbar aurat.

Dari berbagai sumber
Editor: Wulan Rahma Fanni
Foto: Internet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.