Dari  Aku yang Terbuang

Penulis: Teguh Arif Ramadhan**

Gagasanonline.com- Aku adalah benih yang entah ditanam oleh siapa dan oleh apa. Banyak sekali yang ingin aku pertanyakan pada pemilik tempat pribadi yang telah menjadi tempat umum ini. Kalau dihitung-hitung beberapa bulan lagi aku akan berubah menjadi seonggok daging yang entah akan menjadi apa ketika  bernyawa nanti. Aku tidak menyesal berada di sini, mengingat di sini adalah tempat paling nyaman dan tentram, setiap manusia berasal dari sini, di mana mereka hanya diam meminta makan agar bergtumbuh, menendang-nendang dari dalam dan di luar seseorang sedang merasa-rasakannya. Tempat ini bernama Rahim, tempat yang penuh kasih saying. Pemiliknya adalah perempuan, malaikat bagi semua manusia, yang biasa mereka panggil ibu, bunda, emak, mama, dan bermcam panggilan lainnya.

**

Pemilik Rahim ini adalah perempuan yang hidup di dunia malam, dengan bibir yang merah, pipi yang putih dengan bedak, dan bulu mata palsu yang lentik menggoda. Dengan  memakai rok mini dan atasan yang terbuka menampakan belahan dadanya yang montok. Ia berdiri di pinggir-pinggir jalan setiap malam, menjajaki dirinya sendiri sebagai barang dagangan, memanggil-manggil setiap lelaki yang lewat. Malam adalah waktu yang panas untuk bercinta dan hanya dengan menjual badannya ia bisa bertahan hidup dan membeli nafas untuk esok hari. Ia senang melakukan pekerjaan ini sebab ia mendapatkan kenikmatan dan juga uang. Ia tidak peduli dengan hilangnya keperawanan sebab kesucian bukan dari sana datangnya. Dengan bercinta setiap malam ia tidak merasakan kesepian yang mengganggu pikirannya. Pekerja-pekerja malam adalah orang-orang yang kesepain di pagi hari.

**

Malam datang lagi, bulan mulai menyinari gang-gang yang gelap. Anak-anak bayi menangis mengganggu tidur ibunya yang nyenyak. Di bawah lampu jalan yang redup, tukang sampah sedang bekerja mengambili sampah yang berantakan, di buang tanpa perasaan bersalah, ketika datang bencana barulah terkena imbasnya . Di jalan, terdengar suara bising, seorang lelaki menendang-nendang kaleng sambal memaki dan menyumpahi tuhannya, anjing-anjing menggongngong meminta makan, sedang pemiliknya entah dimana dan penarik becak sedang tidur di becaknya dengan menutup wajahnya dengan caping.

Di suatu kamar hotel perempuan yang akan menjadi ibuku ini sedang asik bercumbu dengan lelaki gendut, berjanggut dan berkumis tebal, perutnya buncit, kepalanya sudah sedikit botak, jidatnya mengkilat dan menonjol ke depan. Orang bilang, jidat lebar pertanda pintar, tapi lelaki itu tidak pintar sama sekali dalam membuat perempuan merasa puas, sebab baru beberapa menit saja ia sudah kalah dengan calon ibuku ini. Dalam sebulan ini ia sudah tidur, kurang lebih dengan tujuh lelaki, ada yang pejabat, ada yang tokoh agama, ada yang pelajar, ada yang supir angkutan umum,  ada yang paruh baya dan esoknya diketahui ia meninggal karena penyakit jantungnya. Dalam dunia pelacuran tidak melihat fisik tapi melihat seberapa banyak uang yang bisa dikeluarkan demi meluapkan setumpah nafsu. Di sana tidak ada cinta, yang ada hanya bercinta. Beginilah pekerjaannya, ia ihklas menjalaninya, selama ada kebahagiaan di sana. Sebagai sebatang kara ia bernapas dan tertawa dengan usahanya sendiri, dalam keadaan sulit pun ia tidak pernah menuntut tuhan. Ketika terjatuh, tersungkur dan tertimpa apa pun ia selalu berterima kasih pada tuhan, menurutnya beryukur bukan hanya untuk hal-hal yang baik saja. Kita sebagai manusia pun harus adil, dari hal paling menyakitkan sekali pun kita bisa menjadi sesuatu yang indah.

Pada beberapa minggu selanjutnya calon ibuku ini mendapati dirinya sering mual dan pusing. Setiap bangun tidur ia selalu muntah-muntah. Ia juga sering merasa kelelahan, dan ia coba mengingat-ingat kalau ternyata ia belum mengalami menstruasi dalam beberapa minggu ini. Ia mulai stress dengan keadaannya, hidup sendirian di kota dengan pekerjaan yang mewajibkan tubuhnya selalu segar. Dan sekarang ia mendapati perutnya telah hadir titipan tuhan yang entah datang dari lelaki yang mana. Sungai di matanya mulai mengalir, membasahi tiap aliran di pipinya, bibirnya bergetar tak sanggup untuk berkata apa-apa, ada perang di kepalanya, sedang hatinya sedang diporak-porandakan oleh penyesalan.

“Harus ku apakan anak ini, Tuhan?”

“Aku tidak menginginkannya, aku hanya ingin sendiri di dunia yang sepi ini,”

“Tidak mungkin dalam keadaan bunting aku melacurkan diri,”

“Para pelanggangku akan pergi,”

Hanya ketakutan-ketakutan yang ada, tidak ada bahagia yang tampak dari wajah cantiknya. Baginya bercinta dengan lelaki tampan tanpa dibayar lebih membahagiakan hatinya daripada mendapat hadiah dari tuhan seperti ini. Hari-hari berikutnya muncul pikiran untuk mencari siapa ayahnya, siapa yang terakhir kali menidurinya, tapi itu adalah hal yang mustahil. Dalam pikirannya tidak ada keinginan untuk bertaubat sebab baginya menjadi pelacur memiliki kesenangan tersendiri.

Di suatu pagi, ayam-ayam belum berkokok, fajar belum menyinsing, daun masih basah oleh sisa hujan tadi malam, ibu-ibu belum berada di dapur, tukang sayur belum keliling menjual sayur, supir-supir bus masih tidur, ia pergi ke dukun bayi untuk membuang calon bayi dalam perutnya, menggagalkan hidup si bayi dan sekaligus menyelamatkannya dari dunia yang kelam ini.

“Calon bayi ini tidak akan suka malam seperti ku, lebih baik ia tidak pernah melihat dunia, daripada menyesal setelah melihatnya nanti,”

“Selamat untuk tidak hidup saying, kau beruntung. Hiduplah senang bersama satu tuhan di surga, di sini terlalu banyak tuhan,”

Itulah sedikit cerita dari aku, darah yang tercipta bukan dari cinta. Dari aku, yang terbuang karna tak satu pun dari mereka menginginkan hadirnya nafas dan pijakan kakiku di bumi manusia ini. Aku tidak marah, tidak juga menaruh dendam, dari mereka aku tahu tempat mereka hidup adalah neraka sesungguhnya, tidak ada kemanusiaan. Aku yang tidak akan pernah ada ini berterima kasih sebab diberi kesempatan berada di rahim seorang perempuan walau akhirnya aku tidak diberi kesempatan bertemu malaikatku. Di sini aku masih melihatmu bersenang-senang di dunia malammu, semoga kelak kita bertemu di surga yang sama.

 

Editor: Wulan Rahma Fanni
Foto: Teguh Arif Ramadhan/Gagasan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.