Senja untuk Alin

Penulis: Siti Nurlaila Lubis

“Kalau Bapak masih melarang saya untuk keluar rumah ya sudah kita pisah saja.” Bentak ibu kepada bapak.

“Apa pisah? lancang sekali kamu minta hal seperti itu. Tidak ingat kamu punya anak!,” bentak bapak sembari menunjuk ke arah ibu.

“Dia sudah besar pak, aku merasa tertekan di rumah ini!,” ungkapnya menangis.

Kalimat serapah dari mulut manusia yang paling kusayangi di dunia ini. Orang tua yang membuat kehadiranku di nantikan oleh semua orang, bahkan memiliki mereka adalah kebanggaan terbesar dalam hidup. Mau tidak mau harus diterima, semua pertikaian, perdebatan, dan perpisahan mereka.

“Alin, ayo turun sayang. Makan dulu sebelum berangkat kerja,” suara mbok Farida membangunkanku dari lamunan lima tahun yang lalu.

“Iya mbok, Lin sudah mau turun,” jawabku sambil membawa berkas-berkas laporan yang akan di presentasikan pagi ini di kantor

***

Setelah sarapan pagi, aku menuju ke kantor. Oh iya aku bekerja di salah satu media yang ada di Jakarta, tepatnya menjadi seorang wartawan. Sudah dua tahun aku bekerja di sana, bertemu teman baru, teman lama dan teman dekat yang sampai hari ini masih keseringan mengintiliku di kantor. Tapi, aku senang karena dengan mereka aku bisa berbagi apapun yang sedang dirasakan. Pahit dan manis kehidupan.

“Mau kopi? Sapa Benito berjalan ke arahku.

“Ben,,,, masih pagi. Waktu untuk ngopi bagiku itu ya sore hari,” tegurku dengan nada bercanda.

“Baiklah Nona manis, kita minum kopi di sore hari saja. Mungkin aku akan membawa kawan baru agar kopi yang kau minum tidak pahit terus.” Ejekan Benito sembari memalingkan badannya pergi meninggalkanku.

***

Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Tentunya aku harus buru-buru meninggalkan kantor, supaya Benito tidak mencariku untuk menikmati kopi dengan teman barunya itu. Belum beberapa menit, cowok jangkung pecinta buku itu akhirnya berdiri di hadapanku. Tanpa bergumam, ia menarik tanganku untuk selekas-lekasnya pergi ke tempat minum kopi dan bertemu dengan temannya.

“Ben, aku ingin kabur tadi,” pungkasku untuk jujur padanya.

“Kabur kok bilang-bilang Lin?,” menertawaiku sambil menyalakan mobil kodoknya.

“Habisnya aku takut hilang jika kabur,” membalas guyonannya.

“Lah, jika kabur tentu akan hilang Alin, gimana sih…hahahahha.” Ia tertawa merasa dunia anekdot ini miliknya.

“Maka dari itu aku pamit jika mau kabur nantinya,”

“Supaya apa?”

“Supaya kamu mencariku,” Berani sekali aku mengakhiri lelucon yang tidak romantis ini.

Tetapi, Ben malah melanjutkan guyonan yang tidak ada faedahnya itu. Hingga sampailah kami ke kedai kopi yang Ben bilang di sepanjang perjalanan. Aku pertama kalinya ke sini. Tempatnya sangat sejuk, karena terletak di desa yang cukup jauh dari kota. Samping kanan dan kiri Pasanggrahan ada sawah yang terbentang luas, terus ada kolam ikan serta air mancur yang membuatku secepat kilat untuk bisa meminum airnya. Tenang saja air tersebut berasal dari gunung, jadi aman untuk di minum. Satu hal yang membuatku takjub adalah pemilik Pasanggrahan ini adalah sepasang kakek dan nenek. Jarang sekali kudengar ada orang jualan kopi, tapi yang menjual kakek dan nenek.

Tanpa menunggu waktu lama, Benito menyuruhku duduk di Pasanggrahan. Ia sudah tahu kopi apa yang ku suka, ya kopi hitam tanpa gula. Sedangkan Ben malah memesan kopi sachet dengan gula dua sendok. Aku tidak akan menegurnya, karena sudah terlalu sering untukku berkomat-kamit memarahinya untuk mengurangi makan gula. Jadi kubiarkan saja. Cukup lima menit menunggu dua kopi jadi, Nenek menghidangkan pesanan dan sepiring pisang goreng di hadapan kami. Kemudian Kakek menghampiri kami, ya seperti tuan rumah mengajak tamu untuk bertukar pikiran.

“Kalian dari mana nak?,” sapa kakek sambil membenarkan posisi kupluknya.

“Kami dari Jakarta kek,” balas Ben

“Jauh sekali kalian pergi menikmati kopi, memangnya di kota tidak ada kopi yang lebih enak.” Kata nenek dengan nada becandaannya.

“Tidak nek, selera saya selalu berada di tempat sepeti ini.” Kata Benito yang juga ikut dalam becandaan nenek.

Seberes ngobrol dengan kakek dan nenek, mereka mengajak kami ke suatu tempat untuk bertemu seseorang. Aku hanya mengikuti saja, karena aku juga penasaran siapa sih orang tersebut. Mengapa Benito selalu membicarakannya di perjalanan. Melewati hutan, kemudian anak sungai, dan lagi-lagi aku terjatuh. Banyak sekali bebatuan dan tanah yang licin. Perjalanan memakan waktu setengah jam, aku ingin menangis rasanya. Bahkan aku meminta kepada Ben untuk kembali ke Pasanggrahan karena pisang goreng pesananku belum di makan. Tapi Ben, enggan memenuhi permintaanku.

“Jangan jatuh terus dong Lin, lihat jalannya, lihat apa yang kamu injak.” Tegur Ben sedikit muak.

“Aku sudah melihat dengan empat mata malahan Ben, tapi tetap saja jatuh terus. Kita pulang saja Ben, hari mau gelap.” Kata Alin memasang wajah merengek.

“Kamu kalah sama sepasang kekasih itu, mereka kuat meski separoh usianya sudah di makan waktu Lin. Kamu masih muda dan banyak energi, tidak malu kah?” ucapan Ben dengan semangat.

Akhirnya kami sampai di tempat tujuan, mata ini di sambut oleh gradasi warna dari cahaya yang sangat indah. Bayangkan saja warna merah muda, biru langit, abu-abu, kuning keoren-orenan menyatu menjadi satu. Aku tidak berani mengedipkan mata, sekali saja pandangan elok ini hilang aku akan menyesal. Ah! Siapa sangka senja menarik perhatianku, membuatku jatuh cinta.

“Jadi siapa temanmu itu Ben?,” tanyaku penasaran

“lah nak Ben belum mengatakannya kepada nak Alin?”

“Belum nek,”
“Nenek juga tahu dengan temannya Ben?, siapa nek? Cewek apa cowok nek?”

“Jelas nenek tahu sayang, bahkan kakek dan nenek setiap hari melihatnya.”

Alin semakin penasaran, siapa sebenarnya teman yang sering menikmati kopi bersama Benito. Mungkinkah itu pasangan Ben, atau calon istrinya.

“Itu temanku Alin.” Menunjuk senja yang hampir habis

“Senja maksudnya?” kataku dengan kening yang mengkerut

“Benar sekali, kau tahu mengapa senja yang menjadi temanku?”

“Tidak Ben.” Aku menggelengkan kepala dan berusaha menyimak

“Senja itu teman yang setia Lin. Banyak orang bilang ia sama seperti pelangi. Singgah sebentar, menampakkan keindahan yang begitu mempesona, kemudian pergi tanpa sepatah aba-aba, dan meninggalkan para penikmat.”

Aku menyimak dengan baik, memikirkan dengan logikaku apakah benar senja teman yang setia. Aku tahu ini bukan untaian kata-kata manis yang biasa Benito tulis dalam tulisannya.

“Senja itu tak pernah benar-benar pergi Lin, kita saja yang sering meninggalkannya. Yang kita ketahui hanyalah saat indahnya datang kita turut menyaksikan, tapi lihatlah yang kataya penikmat senja sekarang ini, saat cahayanya tidak keluar atau terhimpit kawannya yang besar yaitu matahari. Kemana mereka? Mereka mengkhianati dengan mengabadikan moment foto siluet. Atau mengumpat pada diri bahwa senjanya tidak bagus. Bukankah senja di nikmati dengan hati Alin?.”

Tiba-tiba Ben duduk di sebelah kakek dan nenek

“Cara manusia menikmati senja berbeda-beda Ben dan kita tidaK bisa memasang ego untuk menyuruh orang-orang ikut cara kita.”

“Pahamilah apa yang aku katakan Alin, bukan kah analogiku sama seperti kehidupanmu?”
Aku pun makin tidak mengerti dengan situasi yang dimunculkan Benito. Tentang kehidupanku seperti apa? Kakek dan nenek pun mencoba meluruskan apa sebenarnya maksud Ben.

“Begini nak Alin, sebenarnya kakek dan nenek sudah kenal dengan Ben sejak lama. Saat pertama kali kami melihatmu di pasanggrahan tadi kami hanya melontarkan basa basi, sekadar sapaan. Dan kakek tahu apa tujuan Ben membawamu ke tepi pantai ini.”

“Kakek seserius ini ya ternyata?”

“Jangan bercanda Lin, dengarkan saja kakek bicara.” Sanggah Ben memasang wajah serius

“Maaf sebelumnya nak, kakek mengungkit masa lalumu yang kelam. Kakek melihat kamu belum bisa melepaskan kesepianmu itu, perceraian orang tua yang membuatmu harus berpisah dari mereka berdua”.

Aku kaget mendengarkan kalimat kakek yang membuat pikiranku kembali pada masa lalu. Rumah itu, baju yang di pakai ibu dan bapak, suara tangis ibu, perdebatan yang sangat kasar, koper milik ibu dan aku yang terdiam menyaksikan talak keluar dari mulut bapakku. Nyaris air mata tidak terbendung lagi, aku tersedan dan terisak. Di depan senja yang sudah larut, aku menjadi malu.

“Kakek kenapa bisa sekali membaca Alin?,” kataku sembari mengusap air mata di pipi.

“Tentu bisa sayang, kami juga orang tua. Kami memiliki anak perempuan.” Ucap nenek memelukku dengan erat.

“Kembalilah kepada ibu dan bapak, Nak.” Kakek melanjutkan nasihatnya.

“Tidak kek, Lin sudah memutuskan hubungan dengan mereka sangat lama.”

“Jangan seperti itu, kamu sukses sekarang berkat doa ibumu sayang, berkat didikan bapakmu. Pahamilah ini, sakit ada obatnya luka pun ada penyembuhnya.” Nenek menghapus air mataku.

***

Beberapa menit kami terdiam bersama, Benito masih kuat berdiri melihat temannya bernama senja itu sudah hilang. Mungkin dia juga memikirkan kata-kata apa lagi yang cocok untuk merayuku kembali ke pangkuan orang membuatku ada di muka bumi ini.
“Senja itu kedua orang tuamu Alin, dan kau adalah penikmat yang menikmati jerih payah, kasih sayang, suka duka, dan cerita mereka setiap harinya. Tidakkah mereka masih setia sampai hari ini? Siapa yang meninggalkan dan mengkhianatinya?,”
Kalimat Ben benar-benar menusuk hatiku, ingin rasanya berteriak tanpa air mata. Tapi air mata ini selalu mengucur ke bawah.

“Jawab aku Alin! itu analogiku,”

Ia beranjak duduk di depanku, memegang kedua bahuku seolah memberikan kekuatan dan menatapku dengan mengisyaratkan

“jangan keras kepala Alin!”

“Aku Ben, aku! Aku yang meninggalkan mereka, aku yang mengkhianati mereka!”

Aku marah di hadapan Ben, berteriak keras kepadanya, di depan wajahnya yang nampak lelah
Kedua orang tua itu meninggalkan aku dan Ben di tepi pantai. Hari sudah malam, desir ombak seolah menyuruh kami pulang, lampu-lampu yang dinyalakan petugas di sekitar pantai sudah hidup, dan kami masih di sini.

Kakek dan Nenek paham dengan situasi ini, tentang Ben yang pelan-pelan mulai merobohkan tembok keras kepalaku.“Lepaskanlah kesepianmu dengan kembali ke salah satu dari mereka. Jangan hidup sendiri Lin.”

“Aku tidak hidup sendiri Ben, ada mbok Farida, ada teman-teman di redaksi dan ada kamu teman dekatku. Tidakkah semua itu cukup?,”

“Kau tak akan pernah cukup tanpa orang tuamu.” Ia merendahkan volume suaranya.

Sekali lagi Ben membuatku berusaha sadar bagaimana pun orang tua, mereka tetap orang tua yang harus di hormati. Aku menyanjungkan ketaatan pada aturan menjadi seorang Pers, dengan selalu mengungkap kebenaran. Tapi aku tidak bisa mengungkap bahwa sebenarnya dari lubuk hati terdalam merindukan mereka, dan tak pernah adil untuk bisa bersikap setelah perceraian itu terjadi. Justru aku meninggalkan orang-orang yang kusayangi.

“Baik Ben, akan aku coba.” Akhirnya aku menyerah,,

“Beranilah dan kuatkan dirimu, mereka bukan singa yang akan memakanmu Lan, tapi sebaliknya menghangatkanmu dalam setiap kenyamanan.”

***

Sesimpul senyuman merekah keluar dari lengkungan bibirnya, senyum yang menandakan bahwa teman dekatnya ini akan kembali pada pelukan orang tuanya. Senyum yang turut hadir bahwa usahanya hari ini berhasil meyakinkanku.
Kami kembali ke Pasanggrahan, menemui sepasang sejoli kedai kopi yang ikut-ikutan menyuntikkan nasihat kepadaku. Semoga pernikahan mereka selalu dalam keridhoan-Nya.

Foto: Internet/titikdua.net
Editor: Adrial Ridwan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.