Jilbab untuk Gabriel

Penulis: Hendrik Khoirul

Gagasanonline.com– Dalam hidupku yang serba nestapa tak berkesudahan ini, kesusahan menyadarkanku untuk tak boleh punya banyak rasa ingin. Pun kalau aku berkeinginan, keinginanku tak muluk-muluk, yang biasa dan mudah-mudah saja. Sejauh ini yang paling kuingini adalah sepotong jilbab, ya sepotong saja sudah cukup. Namun bagiku, sepotong itu bukan hal biasa dan tentu tidak mudah untuk mendapatkannya.

Namaku Asri, gelandangan kecil yang dekil dan kumuh, usiaku entah berapa, aku tak bisa berhitung, tolak ukur umurku adalah kalau aku bersekolah mungkin aku seusia anak SMP atau SMA. Asal-muasalku menjadi gelandangan, yang kuingat suatu pagi di dua tahun yang lalu, ketika bangun dari lelap kudapati tubuhku meringkuk di Tempat Pembuangan  Akhir (TPA) sampah, dengan kepala yang teramat sakit dan pinggang kiri yang perih bekas disayat dan dijahit dengan sembarang. Hanya karena sebuah keajaiban dan kuasa Tuhanlah yang membuatku masih bisa bertahan hidup hingga sekarang, kemungkinan terbesar mengapa aku tidak ingat masa laluku adalah bisa jadi aku lupa ingatan.

Sejak hari itulah aku menjalani hidup sebagai gelandangan, menyambung nyawa dari mengemis dan mengais makanan sisa di tong-tong sampah. Semula akal sehatku menolak gaya hidup seperti itu, tapi perut harus diisi dan nafsu untuk makan tak bisa dibendung. Nasi basi dan lauk-pauk busuk adalah rezeki yang tak boleh disia-siakan, dua tahun makan makanan seperti tak lekas membuatku mati, walaupun sebenarnya aku rindu mati. Tak ada orang yang dengan rela dan senang hati menjalani hidup seperti ini. Jika menghitung mundur ke belakang, kebanyakan aku merasa agak kenyang bukan karena mengemis, mengais sisa makanan di tong sampah lebih dapat dipastikan aku bakal makan ketimbang meminta-minta. Meski terkadang harus cekcok dengan sesama gelandangan demi sesuap nasi sisa.

Baju yang kukenakan saat ini adalah sebuah daster yang kebesaran yang kucolong dari tempat jemuran orang empat bulan lalu, hanya seminggu sekali kubasahi ketika mandi di kali. Kali yang aku maksud tak lain adalah saluran air selebar dua meter yang penuh sampah di pinggir kota. Rambutku yang gimbal dan anyir aku ikat dengan karet gelang, aku punya banyak karet gelang ditangan yang kukumpulkan dari bekas ikat nasi bungkus sisa, bahkan saking banyaknya seolah menjerat pergelangan tanganku yang kurus kering. Rasanya sangat sakit ketika mulai berkudis, tapi rasa sakit itu malah jadi penawar saat aku merasa lapar. Jadi walau sakit tetap bakal kupakai.

Nama Asri adalah nama karanganku, entah siapa namaku yang sebenarnya aku tak peduli lagi, pun nama itu tak pernah ada yang menyebutkan kecuali aku. Aku tidak punya teman, aku sendirian, berkelana mengelilingi setiap sudut kota, menelusuri tempat di mana bakal kutemui makanan-makanan sisa. Siklus hidupku adalah tidur ketika siang dan beraksi saat malam. Aku tidur di suatu tempat yang kubangun dari tumpukan seng berlantai kardus di bawah naungan pohon dan semak, yang tak seorang pun tahu.Aku punya banyak tempat seperti ini, setidaknya ada empat tempat yang bisa kujadikan tempat singgah untuk berhibernasi selama siang hari.

Aku tidak tahu apa itu Islam, tapi aku sangat mengagumi jilbab, orang-orang yang mengenakannya terlihat cantik dan bersahaja, aku ingin seperti mereka. Tapi gembel sepertiku harus sadar diri, sangat harus, walau aku tidak pernah bosan membayangkan betapa senangnya hatiku bisa mengenakan jilbab, rasa-rasanya bakal tidak cocok dengan baju daster kumuhku. Kalau mau, aku sudah lama memakainya, jilbab bisa kucuri dari mana saja, dari jemuran misalnya. Dorongan hati untuk melakukan itu tak ada, terniat sedikit pun tidak, seperti ada yang salah jika aku melakukannya.

Suatu malam, larut malam tepatnya, ketika aku tengah mencari makan di tong sampah langgananku. Aku dikejutkan oleh tepukan pelan di bahuku, aku terlonjak karena kaget, biasanya aku melakukan aksi mengais-ngais tong sampah dengan sangat hati-hati dan sebisa mungkin tak bersuara. Tepukan pelan ini tidak biasa, belum pernah sebelumnya aku mendapatkan tepukan seramah ini. Biasanya orang menegurku dengan hinaan, kalau sesama gelandangan pasti aku sudah mereka dorong dengan keras.

Lekas aku menoleh ke sumber tepukan, seorang laki-laki muda berpenampilan menarik menatapku dengan senter yang mengarah ke wajahku, dia tampak terbelalak saat menatapku, aku agak tersinggung, wajahku memang kumuh, tapi menyakitkan sekali ditatap seperti itu. Lagi pula siapa laki-laki ini, aku tak kenal. Secara refleks aku cepat-cepat mundur untuk menjaga jarak dengan laki-laki itu, alam bawah sadarku mengatakan ada sesuatu yang bakal terjadi. Namun laki-laki muda itu dengan cepat mencekal pergelangan tanganku. Sekuat tenaga aku mencoba melepaskan cekalan tangannya.

Jantungku berdetak kencang karena takut hal yang paling mengerikan yang terbayang dalam otakku terjadi, yakni laki-laki ini bakal menculik, memperkosa dan menjualku atau apa pun itu.

“Gabriel?! Kamu Gabriel, kan?” bisiknya dengan suara tertahan.

Aku menggeleng kuat-kuat, pikirku, jelas laki-laki ini hanya pura-pura mengenalku, cara murahan untuk mengelabui gelandangan. Kukibaskan tanganku berupaya berkelit, tanganku berhasil lepas, tapi laki-laki ini dengan sigap menangkap bahuku.

“Puji Tuhan… Gab! Ini Abang!”

Direngkuhnya aku ke dalam pelukannya, kuat sekali, sampai dadaku sakit, aku berontak sebisaku, yang ada dalam pikiranku adalah laki-laki ini pasti hanya mengaku-aku sebagai abangku untuk menarik simpatiku. Tapi laki-laki ini kukuh, pelukannya tak bisa aku lepas, bergeming pun tidak. Rasa takutku bukan main. Aku meronta sekuat tenaga tapi tetap tidak bisa melepas pelukan laki-laki ini.

Tiba-tiba aku merasakan tubuhnya bergetar, tangisnya pecah. Laki-laki ini menangis sesenggukan di pundakku. Pelukannya masih erat, bahkan makin kuat bagai aku tak akan dilepaskannya. Perlawananku mengendur, getaran tangis dan suara isaknya membuatku terenyuh, entah kenapa, hatiku tersentuh.

Benarkah laki-laki ini abangku? Pikirku.

“Terima kasih, Tuhan… Terima kasih, Yesus…” bisik laki-laki ini dalam isak.

Selang beberapa saat laki-laki ini melepas pelukannya, menatapku dalam cahaya remang, dia tersenyum bahagia, sementara aku masih dalam keadaan bingung dan tidak percaya.

“Kamu siapa?” tanyaku dengan curiga.

“Kamu lupa sama abang, Gab? Ini abang, Bang Josep, abangmu!”

“Abang?” beoku dengan skeptis.

Laki-laki yang mengaku sebagai abangku ini mengutak-ngatik ponselnya, kemudian memperlihatkannya beberapa foto padaku. Ya, ada seorang gadis yang wajahnya mirip denganku di foto itu, tapi penampilannya sangat jauh berbeda dengan penampilanku, gadis di foto itu cantik dan bersih.

“Ini fotomu sama abang…” katanya sembari menunjukkan sebuah fotonya bersama gadis yang mirip denganku.

Sulit mempercayai ini, bahwa aku masih punya keluarga, hal yang tak pernah, bahkan sekali pun, terpikir di benakku gelandangan sepertiku punya keluarga.

Singkat cerita, semenjak Bang Josep menemukanku, hidupku berubah, aku bukan lagi gelandangan mengenaskan yang tak punya harapan. Ternyata selain Bang Josep aku masih memiliki Ibu dan Ayah yang awalnya dengan kaku kupanggil mereka Bapa dan Mama. Aku sedih karena sedikit pun tak memiliki memori tentang mereka yang tersimpan di kepalaku. Setelah diperiksa, dokter mendiagnosis aku kena amnesia, penyebabnya adalah benturan kuat di kepalaku.Bekas benturan itu masih ada, seukuran ruas jari di ubun-ubunku yang terlihat jelas karena tidak ditumbuhi rambut lagi.

Selain amnesia, satu hal lagi yang mengejutkan tentang tubuhku, satu-satunya alasan dan memang itu kenyataannya kenapa salah satu pinggangku terdapat bekas jahitan adalah karena salah satu ginjalku dicuri. Ya dicuri. Rupanya aku diculik oleh oknum jahat perdagangan gelap organ tubuh manusia. Syukur hanya satu ginjal, di beberapa kasus malah ada korban yang diambil semua organ vitalnya.

Pada akhirnya aku memang tidak ingat apa-apa, dan mungkin Tuhan telah menggariskan jalan takdirku untuk tak bisa mengingat lagi. Keinginanku untuk memakai jilbab pupus karena jelas ditentang keluargaku, satu-satunya jalan untuk menyalurkan kecintaanku pada jilbab adalah kursus desain, ya aku kini adalah desainer jilbab dan baju-baju Muslimah. Aku dulu amat menginginkan jilbab, dan sekarang aku bisa mendonasikan beberapa hasil kerjaku untuk kaum duafa, tidak hanya jilbab, juga baju-baju untuk mereka.Terima kasih Yesus.

Reporter: Hendrik Khoirul 
Editor: Siti Nurlaila Lubis
SumberFoto: https://www.gambarhitamputih.website/2018/10/download-gambar-sketsa-lingkungan-kotor.html

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.