[Cerpen] Mama, Maafkan Denis

Penulis: Adrial Ridwan

gagasanonline.com– Aku sama sekali enggak pernah menggangap kehadiran mama selama ini. Aku hanya sayang sama Papa. Papa-ku dengan segala fasilitas yang telah ia berikan. Dan mama dengan segala kecerewetannya.

Semuanya jadi hancur karena tingkahku. Semua yang disimpan mama selama ini terungkap. Papa pun baru mengetahui semuanya hari ini. Mama hebat menyembunyikannya selama 10 tahun tanpa menimbulkan kecurigaan dariku mau pun dari papa.

“Mama-mama Denis mau mama sadar, maaaaa maaaaa, Denis janji akan mematuhi semua perintah mama, Denis juga janji enggak akan mabuk-mabukkan lagi,” tangisku pecah saat kulihat mama sudah terbujur kaku.

****

Suara ayam terdengar nyaring ditelingaku. Tak kalah dengan suara mama yang hampir tiap hari pun mewarnai hari-hariku. Aku paling kesal dengan teriakkkan mama membangunkan aku setiap paginya. Enggak pernah terdengar lembut, aku paling benci.

“Denis, Denis bangun lagi, udah jam 6. Sekolah kamu nanti telat,” teriak mama seperti pakai toa.

“Iya, bisa santai enggak sih, dari dulu lagi kalau bangunkan orang enggak pernah selaw,” gerutuku, aku pun paling benci dibilang udah jam 6, nyatanya masih jam 5 subuh.

“Ini juga masih jam 5, bohong banget jadi orangtua,” kesalku. Aku juga jarang banget sopan berbicara sama mama. Manggil sebutan mama pun aku ogah.

“Iya nak, nanti kamu telat, mama minta maaf ya, mama bilang jam 5 supaya kamu bisa santai bersiap-siap mau ke sekolah, biar engga terburu-buru,” kata mama dengan nada yang berbeda saat membangunkanku.

Aku juga ngerti kenapa mama sering teriak-teriak membangunkanku. Segala pekerjaan rumah mama yang pegang. Mama enggak pernah mau kalau disuruh mencari asisten rumah tangga, jadi wajar aja mama teriak-teriak membangunkan aku, di sisi lain ia menyiapkan sarapan pagi, dan juga harus membangunkan aku yang sulit sekali dibangunkan.

Walau begitu, entah mengapa aku benci banget kalau diteriak-teriakkan seperti itu. Seperti orang enggak punya sopan santun. Aku selalu kesal.

“Denis ayo nak sarapan,” kata mama

“Ia ini juga mau sarapan,” ketusku.

“Nak sopan ya ngomong sama mama, nanti kita beli baju baru,” rayu papa.

“Papa ini selalu memanjakan Denis, dikasih ini itu,” kesal mama.

“Apa sih, cerewet banget. Eh btw makasih papa,” kata Denis.

“Cepat sarapannya nak, siap itu kita langsung ke sekolah,” sebut papa.

“Siap sarapan, cek lagi buku-buku sekolahmu, bajumu udah dimasukin belum? baju olahraga udah dibawa? Air minum? Bekal makan siang? Pensil? Pena?” kata mama yang tiap hari tak pernah absen mempertanyakan hal yang ku-anggap sudah sangat membosankan.

Udahhh! Cerewet banget itu mulu yang ditanyain tiap hari, Denis bukan anak SD lagi!” jawabku kesal.

Raut wajah Ratna, Mama Denis tampak sayu. Ia sedih mengapa Denis tidak pernah sopan terhadapnya. Walau kasih sayang yang Ratna berikan terhadap Denis tidak seperti yang diberikan Andi, Papa Denis yang hampir tiap hari memberikan apapun yang Denis mau. Ratna menganggap Denis tetaplah Denis kecil, walau kini Denis sudah duduk di kelas 1 Sekolah Menengah Atas (SMA).

****

Jam tanganku menunjukkan pukul 06.50 WIB. Suara bel tanda masuk segera berbunyi. Aku pun bergegas menuju ruang kelas. Di sekolah inilah aku, Putra semata wayang Ratna dan Andi, Denis Arsenio bersekolah, tempat di mana aku terlepas dari segala kebisingan rumah.

Bete banget muka lo, itu juga tas lo isinya apaan? Bawa bekal segala, manjalita banget haha,” kata Rayan, teman sebangku-ku.

“Ya lo tau la nyokap gue gimana, cerewet banget tiap hari pasti nanyain gini, Denis bekalnya udah? Pensilnya? Penanya? Baju udah rapi? Tali pinggang kamu udah? bawel enggak sih? Kesel gue lama-lama,” gerutu Denis.

Haha itu artinya nyokap lo sayang sama lo, bakal terasa sepi deh kalau nyokap lo udah enggak ada,” ceramah Rayan.

Lo enggak ada beda sama nyokap gue, ceramah mulu, Ikut sana Aksi Indosiar,” ketus Denis.

Haha Denis lo emang keras kepala banget ya, dari dulu enggak pernah berubah,” kata Rayan sambil menepuk pundakku, lalu pergi ngobrol dengan temanku yang lainnya.

Rayan ialah sahabatku sejak SD. Rayanlah yang mengerti bagaimana kondisiku, dan bagaimana sifat mama seperti apa tapi tetap saja jahil kepadaku. Dari Rayan juga aku mengenal dunia malam, termasuk mengonsumsi minuman keras.

Singkat cerita pelajaran hari ini pun selesai. Pelajaran yang setiap hari sangat membosankan. Tapi bagaimana lagi, kalau aku tidak sekolah, segala fasilitas yang diberikan papa pasti diambil olehnya.

“Den, lo nanti malam sibuk enggak? Kalau enggak sibuk kuy nanti ke klab malam di Jatinangor, baru buka tuh,” kata Rayan.

Kuy lah, jemput gue yaaa,” pintaku manja.

“Siap bos Q,” kata Rayan sambil hormat ala-ala Paspampresnya Jokowi dan mengajakku pulang sekolah bersama.

****

Sesampainya di rumah, seperti biasa ocehan mama selalu bising di telingaku. ingin deh, rasanya satu hari saja enggak ada ocehan mama. Aku sekadar ingin tenang.

“Denis, siap ganti baju langsung bersih-bersih ya, Nak. Habis itu cek tugas yang diberikan gurumu, lalu langsung ke meja makan,” kata-kata yang tak pernah absen diucapkan mama setiap hari.

Aku tak acuh mendengar kata-kata mama, kalau aku lapar pasti langsung makan, ada tugas toh nanti bakal aku kerjakan, pun aku juga bakal ganti baju sekolah. “Aku bukan anak kecil lagi, Tuhan,” kesalku dalam hati.

Karena aku terlalu lama di kamar, mama mengantarkan makan siangku ke kamarnya. Namun yang dilihat Ratna, Denis tengah terlelap dan masih mengenakan baju sekolahnya.

“Denis bangun dulu nak, makan siang, baju kamu juga belum diganti,” kata Ratna sambil menggoyangkan badan Denis.

“Apa sih, kalau lapar juga pasti aku keluar, udah letakkan aja nasi itu di situ,” bentakku kepada mama seraya ia meletakkan piring yang berisi nasi tersebut.

Setelah itu mama keluar, aku pun turut memakan nasi yang mama bawakan tadi. Setelah memakannya, aku langsung membersihkan badanku sambil menunggu kedatangan Rayan.

“P” isi pesanku Whatsappku kepada Rayan.

“P P P P P salam kek, Assalamualaikum, Selamat Sore, apa gitu,” balas Rayan.

Haha iya maaf, Assalamualaikum Warahmatullahita’ala Wabarakatuh Rayan Aji Nugrah Utama, btw jadi enggak nih? Lagian gue  juga suntuk, nenek lampir rumah ini asik ngebacot,” gerutu pesan singkatku pada Rayan.

Walaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Ya Allah kualat mampus lu. Iya jadi, setengah jam lagi nyampe,” katanya singkat.

“Oke, kita ke Gramedia dulu ya, gue mau beli tas,”

Ukay,” katanya singkat dan tak kubaca lagi pesan Rayan tersebut.

****

“Ting ting ting ting,” suara klakson mobil Rayan. Aku pun harus bersiap-siap.

“Mau ke mana Nak?” tanya mama.

“Pergi bentar, entar juga balek,” jawabku ketus.

“Jangan malam kali pulangnya nak,” pesan mama dan tak aku jawab lagi.

Singkat cerita akhirnya aku sampai ke klub malam yang berada di Jatinangor. Klubnya lumayan besar. Dari luar saja udah kelihatan cewek-cewek dengan pakaian yang super minimalis menjaga pintu masuk.

Kuy tunggu apalagi?” ajak Rayan dengan semangat.

Aku pun bergegas memasuki klub malam tersebut. Tak lupa aku juga menyewa seorang cewek cantik dengan lilitan baju yang hampir terlihat payudaranya.

“Mari kita bersenang-senang malam ini,” kata cewek tersebut. Cewek itu juga mengambil gawaiku dari kantung baju yang kukenakan. Ia mengunggah beberapa video saat aku tengah asik meneguk minuman keras serta pose dirinya yang menantang birahi.

Aku engga terfikir sama sekali jika cewek bayaranku itu mengunggah postingan tersebut di story sosial mediaku. Ia tak sadar juga turut memposting di Whatsapp storyku dan tidak menyembunyikan postingan tersebut dari orang-orang terdekatku.

“Denis, lo waras gak update story beginian,” kata Rayan mengingatkanku.

“Ha story apa?” kataku sambil membuka gawaiku yang telah tergeletak di atas paha cewek bayaranku tadi.

Aku terkejut saat mama, papa dan beberapa keluargaku membalas unggahan tersebut. Unggahan itu telah dimuat sejam yang lalu dan dilihat 187 kontak Whatsappku. Aku pun segera mengahapusnya lalu membuat story ‘Dibajak teman’.

“Ya Allah nak, ini kerja kamu di luar,” isi pesan dari Mama.

“Denis pulang kamu sekarang!” bentak papa dalam pesan tersebut.

Pesan-pesan yang lain tak aku lihat. Aku hanya terfokus kepada pesan dari mama dan papa. Aku pun meminta Rayan segera mengantarku pulang.

****

Di rumah hati Ratna sangat terpukul. Ia tak percaya anak semata wayangnya berbuat demikian. Sakit di kepala Ratna pun sudah mulai tak tertahankan. Memang, Ratna mengidap kanker otak. Namun di rumah ini tidak ada satu pun yang mengetahui penyakitnya tersebut, termasuk Andi sekali pun.

Penyakit itu telah diderita Ratna 10 tahun belakangan dan sudah memasuki stadium akhir. Ratna sangat hebat menyembunyikan penyakitnya ini. Ratna hanya ingin orang-orang yang ia sayangi tidak mengetahui penyakit yang tengah dialaminya kini. Segala usaha penyembuhan seperti kemotrapi, obat tradisonal pun terus ia lakukan. Ratna juga berhasil membantah vonis dokter yang menyebut umurnya hanya tinggal setahun. Buktinya Ratna bertahan hingga 10 tahun .

Tetapi rasa sakit itu tak dapat lagi ditahannya. Hatinya hancur, pikiran kacau melihat tingkah Denis pun turut membuat kondisi badan Ratna semakin memburuk. Matanya pun berkunang-kunang, badannya lemah dan air matanya terus menetes menahan rasa sakit di kepalanya.

20 menit berjalan Denis pun sampai di rumah. Ia mendapati mamanya sudah tergeletak di bawah tangga rumahnya. Denis segera mengampiri dan tampak raut wajah Denis mulai takut.

“Mama sayang kamu Denis, jangan mabuk-mabukkan lagi dan panggil ibumu ini dengan sebutan mama untuk terkahir kalinya,” begitulah kata yang dilontarkan Ratna ketika Denis datang mengahmpirinya.

Mamaaaaaaaaaaaa,” teriak Denis sekencang-kencangnya. Denis sangat ketakutan melihat kondisi Ratna yang semakin pucat dan darah segar terus keluar dari hidung mamanya.

“Mama kenapa? Mama sakit apa? Kok mama enggak pernah cerita?” tanya Denis menggebu-gebu.

“Mama sehat kok, jaga papa ya Nak,” kata mama sambil tersenyum dan mata Ratna mulai tetutup. Sekujur tubuhnya kaku. Kukunya pun sudah tampak mulai membiru, detak jantungnya pun sudah mulai berhenti.

“Mama-mama Denis mau mama sadar, maaaaa maaaaa, Denis janji akan mematuhi semua perintah mama, Denis juga janji enggak akan mabuk-mabukkan lagi,” tangisku pecah saat kulihat mama mulai terbujur kaku.

Namun semua terasa sia-sia, semua udah terlanjur. Mama sudah pergi, papa pun sudah datang dari tadi. Aku sampai tak sadar rupanya papa sudah berada di sampingku. Papa hingga kini pun belum tahu penyebab mama meninggal. Namun ketika hendak menyiapkan segala berkas untuk pemakamann mama, papa mendapatkan sebuah kertas kontrol dari rumah sakit.

“Kanker Otak? Sejak kapan Ratna mengidap penyakit ini?” gumam papa. Mata papa pun semakin berkaca-kaca karena Ratna berhasil menyimpan penyakitnya itu selama 10 tahun tanpa menimbulkan kecurigaannya sedikit pun.

“Denis, kamu tahu mama mengidap kanker otak? Udah stadium empat, ini penyebab mama meninggal, udah 10 tahun mama menyembunyikan ini dari kita,” kata papa kepada Denis.

“Ha kanker otak? Ya Allah mama enggak pernah cerita pa,” tangisku tak henti-henti dari tadi. Papa pun langsung mengajakku untuk menyiapkan seluruh berkas persiapan pemakamann mama esok pagi.

****

Setelah prosesi pemakaman mama selesai, aku dan papa pun langsung pulang ke rumah. Hatiku semakin sedih karena papa harus berangkat ke luar negeri untuk dinas hari ini. Dinas ini tidak bisa ditinggalkannya, jika ditinggalkan, papa akan dipecat dari kerjaannya. Papa pun lupa memarahiku akibat tingkah laku yang kulakukan kemarin.

Tetapi hatiku sedikit terhibur karena hari ini Rayan menemaniku di rumah. Rayan memang sahabatku yang mengerti keadaanku hingga kini. Rayan pun hanya membiarkan aku berdiam menatap foto-foto mama.

“Mama Denis kangen, Denis kangen segala kecerewetan mama, Denis kangen mama bangunkan pagi-pagi. Denis kangen dibangunkan jam 5, tapi mama bilang udah jam 6. Denis kangen mama siapkan sarapan, mama siapkan segala kebutuhan Denis. Mama bisa enggak datang sekali lagi dalam hidup Denis ma? Denis akan berbakti kepada Mama, Denis sayang mama,” kenangku dan tak terasa air mataku pun mengalir deras.

Aku pun teringat kata-kata Rayan, “Haha itu artinya nyokap lo sayang sama lo, bakal terasa sepi deh kalau nyokap lo udah enggak ada,” batinku.

Kata-kata Rayan itu betul. Aku merasa kesepian sekarang. Aku enggak pernah benci dengan ocehan mama. Wajar aku sedikit risih karena umurku sudah tak lagi kecil, tapi aku tahu mama itu sayang sama aku.

“Mama, maafkan Denis,” sesalku.

Foto: depokpos.com

Editor: Rachmawati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.