Benda yang Berkorban

Penulis: Hendrik Khoirul

Gagasanonline.com – Namaku Pipo, aku bukan apa-apa atau siapa-siapa, aku hanya seonggok benda mati yang bisa hidup, dan bisa mati lagi dan bisa hidup lagi dan bisa mati lagi. Aku memang rentan hidup dan mati, mati dan hidup, sesuka Ino melakukannya. Ino adalah pemilikku, dia bukan Tuhan yang bisa menghidup-matikan makhluk sesuka hatinya. Dia sama sepertiku, aku dan Ino sama-sama makhluk, bedanya dia di dimensi kehidupan dan aku berada di sisi lainnya. Namun, meski berada di dimensi yang berbeda, aku dan Ino tinggal di tempat yang sama di kamarnya, tepatnya tempatku adalah di atas meja belajar Ino bersama buku-buku pelajaran dan buku-buku cerita.

Aku bisa mengawasi Ino saat aku hidup, maksudku saat sakelarku dalam keadaan ON, bukan hanya mengawasi, aku juga bisa mendengar suara Ino. Aku sudah dua tahun tinggal bersama Ino, aku adalah hadiah ulang tahunnya yang ke Sembilan dari seseorang yang dia kenal sebagai neneknya. Tentu saja aku tidak tahu cerita pastinya, karena saat dibungkus aku dalam keadaan mati. Inolah yang menceritakan semuanya, Ino suka berbicara padaku walau aku tak mungkin bisa berbicara kepadanya.

Tapi sudah lama Ino tidak lagi mengajakku bicara, sudah dua minggu yang lalu sejak dia punya sesuatu yang baru, begitulah, kalau kalian punya yang baru pasti yang lama kalian lupakan. Hiks! Benda baru itu bentuknya kecil, tidak terlalu kecil, segi empat agak panjang, berwajah cerah dan berwarna-warni. Benda itu bisa bicara dan diajak bicara, bisa menyanyi dan sekaligus ada musiknya. Yang paling menyedihkan adalah dia juga punya lampu sepertiku, bedanya lampu benda itu hanya satu, aku punya banyak! Suatu hari Ino meletakkan benda itu di dekatku, aku bisa melihatnya secara detail. Benda ini keren sekali, bodinya mulus dan mengilap, lain sekali dengan perwujudanku yang buluk dan usang.

Baca: [Cerpen] Aku Ingin Normal, Tuhan

Ini adalah kesempatanku untuk berkenalan dengan dia. Sepertinya dia juga barang elektronik sepertiku, jadi aku rasa kami bisa saling bicara. Mungkin saja dia benda yang ramah dan baik, buktinya Ino senang membawa dan mengajaknya bicara.

“Hai!” sapaku pada benda itu.

“Ya?” sapanya angkuh. Wah, aku agak terkejut mendapat respons yang tidak kuduga, sombong sekali benda ini.

“Aku Pipo,” aku memperkenalkan diri.

“Kamu ini apa?” tanya benda itu, nada bicaranya jelas meremehkanku.

“Aku lampu belajar, kamu?”

“Aku Andro, aku smartphone…” katanya dengan congkak.

Smartphone? Jadi ini benda yang dibicarakan Ino tempo hari? Benda yang katanya bisa membantu segalanya jadi lebih mudah. Tapi kenapa benda ini, oke, tapi kenapa Andro ini terkesan sombong kalau dia memang suka membantu? Bukannya suka membantu itu tandanya baik? Aku baru tahu sesuatu yang baik bisa membuat orang jadi sesombong ini.

“Aku heran kenapa Ino masih memajangmu di sini,” kata Andro.

“Maksudmu?” tanyaku, heran.

“Ya, buat apa memajang sesuatu yang sudah tidak digunakan,” jawabnya.

Sejak pembicaraan itu aku tak lagi mau menyapa Andro, kata-katanya benar-benar menusuk perasaan, oh, aku pikir aku tidak punya perasaan, maksudku sebagai perumpamaan, anggap saja begitu. Sedih memang rasanya menjadi barang yang tidak lagi berguna. Sebelum ada Andro, Ino selalu duduk di kursi meja belajarnya, membaca buku pelajaran dan buku cerita di depanku. Saat itu aku senang bisa membantunya, menerangi buku bacaannya. Yang lebih menyenangkan lagi, piagam penghargaan juara kelasnya diletakkan di sampingku, benar-benar membanggakan mengingat akulah yang membantu Ino belajar. Setidaknya sedikit membantu.

BacaAra, Gadis Sekecil Itu

Semenjak ada Andro, Ino benar-benar melupakan kebiasaan membaca, kalau buku-buku di meja ini bisa bicara padaku, mungkin mereka juga akan mengeluh sama sepertiku. Ino menghidup-matikanku hanya sebagai rutinitas, dan tentunya juga sebagai kedok agar dia terlihat belajar di malam hari, padahal dia sedang asyik berinteraksi dengan Andro. Begitulah setiap malamnya, bahkan hingga larut malam, tertidur begitu saja tanpa sempat cuci muka dan gosok gigi, apalagi baca doa. Ino jadi sering bangun kesiangan, bahkan bunyi-bunyian yang dikeluarkan Andro tak mampu membangunkan Ino di waktu yang tepat. Ino selalu bangun telat.

Berbulan-bulan sudah aku hanya dijadikan sebagai pajangan meja dan kedok Ino, bahkan salah satu lampu LCD-ku sudah mati karena terlalu lama dihidupkan, Ino lupa mematikanku dan membiarkanku terjaga sepanjang malam bahkan pagi hingga siang dan malam lagi. Dulu Ino sangat menyayangiku, sekali seminggu aku dibersihkannya, dilap dengan parfum gelnya, Ino tak kan pernah membiarkanku menyala semalaman apalagi sampai sepanjang siang. Kini, jangankan membersihkanku, menatapku saja enggan, mungkin Ino bahkan tidak tahu kalau salah satu lampu LCD-ku mati.

Di sisi lain, Ino semakin terikat dengan Andro, dia benar-benar tak bisa lepas dari pengaruh ketergantungan pada benda itu. Aku tidak mau tahu apa yang dimiliki Andro, kok bisa-bisanya Ino terhipnotis pesona kacangan makhluk segi empat itu. Aku memang tidak bisa membantu banyak hal dibanding Andro, tapi setidaknya aku tidak membawa dampak buruk pada Ino. Dampak buruk? Entah-lah, aku hanya berpikir bahwa Andro telah membawa pengaruh buruk bagi Ino. Oh, baiklah, aku hanya iri. Andro memang sepertinya punya segalanya.

Akhir-akhir ini aku merasa ada yang aneh dengan diriku, aku tidak mungkin sakit karena aku tidak memiliki sel dalam fisikku. Tapi, setiap kali dihidupkan atau dimatikan atau dibiarkan terlalu lama terjaga aku merasakan kejutan yang menyakitkan atau apalah itu rasanya di bagian dalam tubuhku. Tidak lama, kadang hanya satu per sekian detik dan kadang sampai satu menit. Diagnosaku, kemungkinan karena lampu LCD-ku yang mati, atau malah kejutan yang menyakitkan ini yang membuat lampu LCD-ku mati?

Suatu malam, belum terlalu malam, Ino tengah asyik berbaring di tempat tidur sambil main gim di smartphone-nya ketika mamanya muncul di depan pintu kamar Ino.

“Ino…” panggil Mama.

“Hai, Ma…” sapa Ino, malas.

“Bisa ke kamar Mama? Mama mau bicara,” kata Mama.

“Nanti saja, Ma. Ino masih main,” sembari mengguling tubuhnya, berpaling dari Mama.

“Ino, Mama serius. Temui Mama atau Mama sita smartphone-mu itu!” bentak Mama. Sepertinya suasana hati Mama sedang tidak enak.

Ino bangkit dari tidurannya dan duduk di tepi ranjang dengan enggan.

“Buruan!”

“Iya, Ma…”

Ino keluar kamar dan membuntuti Mamanya, selang beberapa waktu kemudian Ino kembali dengan sebuah buku di tangan. Itu buku rapor, aku tahu itu. Aku terkejut ketika Ino menghampiri meja belajar dan duduk di kursi, di depanku, wajahnya tampak muram. Tangannya memegangi buku rapor itu dengan gemetar. Aku rasa Ino memang sedang ada masalah, tidak begitu raut wajah Ino ketika melihat hasil rapornya dulu, dia selalu antusias dan bersemangat. Aku tidak tahu seperti apa nilai terakhir rapor Ino, tapi aku berdoa semoga nilainya baik-baik saja. Luar biasa seperti nilai-nilai sebelumnya dan berharap akan ada piagam penghargaan baru lagi.

“Maafkan aku, Pipo…” kata Ino, aku sangat terkejut mendengarnya, Ino memanggil namaku dan mengajakku bicara setelah sekian lama Ino tak memedulikanku, “Tidak ada piagam untukmu semester ini,” kata Ino.

Ino membuka buku rapornya dan seolah-olah menunjukkannya padaku, aku tidak mengerti apakah itu baik atau buruk, yang jelas nilai yang ada di rapor itu sangat berbeda jauh dengan nilai yang ada di rapornya semester lalu.

“Semester depan aku Ujian Nasional, Po. Tapi nilaiku malah seperti ini,” kata Ino.

Aku ingin memberikan kalimat penghibur untuk Ino, tapi aku tidak bisa. Lagi pula kata-kata apa yang bisa aku katakan untuk membuatnya merasa sedikit lebih baik. Aku benar-benar merasa semakin jauh dari Ino, aku sangat merindukan masa-masa Ino menggunakan jasaku untuk menemaninya belajar. Masa itu, walaupun lelah, Ino tak pernah mengeluh padaku. Sedih sekali mendengar keluhannya, aku seperti merasakan jadi dirinya. Ya, mungkin aku juga akan mengeluh jika nilai raporku tidak baik-baik saja.

BacaMati di Setitik Kriminalisasi.

Ino duduk melamun cukup lama, aku ingin tahu apa yang sedang dia pikirkan, memperhatikan gerak bahunya yang tidak biasa, sepertinya Ino cukup terbebani dengan masalah barunya ini. Ino menguap lebar dan kemudian bangkit, namun sebelum beranjak dia mengatakan sesuatu padaku.

“Pipo, kamu juga istirahat, mulai besok kamu harus menemaniku belajar lagi!” kata Ino, sebelum mematikan sakelarku.

***

Hari ini aku Ujian Nasional, hal yang terlalu aku takutkan beberapa bulan yang lalu, tapi sekarang aku yakin bisa menghadapinya. Aku sudah menyiapkan ini jauh-jauh hari. Aku senang bisa benar-benar siap mengikuti ujian, meski aku sebenarnya sedih karena satu hal. Pipo mengalami tegangan arus pendek kemarin, ada yang terbakar, entah bagian apanya. Aku sudah membawanya ke jasa reparasi elektronik, tapi kata tukang reparasinya Pipo tak bisa diperbaiki lagi, lebih baik aku beli yang baru katanya.

Beberapa bulan terakhir ini Pipo benar-benar berjuang untukku, beberapa lampu LCD-nya sudah mati tapi dia tetap bertahan. Kemarin adalah perjuangan terberatnya, aku memaksanya untuk menemaniku hingga larut malam. Sampai akhirnya dia tak sanggup lagi. Maafkan aku Pipo, terima kasih telah berjuang untukku. Meskipun nanti aku akan membeli lampu belajar yang baru, dia akan tetap aku pajang di meja belajarku. Sebagai pengingat bahwa benda-benda yang kita anggap remeh, siapa tahu telah banyak berkorban untuk kita.

Baca sastra lain di sini

Sumber foto: Pixabay

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.