Meski Sekadar Hati-Hati

Penulis: Siti Nurlaila Lubis

Pertama kalinya bagiku menyaksikan pertunjukan besar di kampus, maklumlah aku mahasiswa baru yang tidak tahu apa-apa. Anggap saja polos dan masih menjadi remaja sebelum beranjak dewasa. Melihat ramainya pengunjung yang datang dari luar, membuatku tertarik untuk mengabadikan foto.

“Cekrek… cekrek…” bunyi jepretan kamera ponsel pribadi

Tiba- tiba dari jarak yang tidak terlalu jauh terlihat seseorang melambaikan tangannya ke arahku. “Alin!” memanggil namaku dengan keras. Spontan tangan kananku ikut melambai. Tidak kusangka, dia datang. Lelaki baik yang setiap hari memakai scraft di leher, kemeja kotak-kotak disertai rambut klimis yang turut membuatnya rapi jika pergi  ke kampus.

“Andra kamu datang? Tahu keberadaanku di sini dari siapa?” Wajah sumringahnya keluar.

“Kemarin ‘kan kamu saya ramal,” Ia tertawa menatapku.

“Tidak, saya bukan Dilan, tadi saya datang ke rumahmu, ibu yang bilang kamu ada di sini.”

Aku berpaling darinya, kembali melihat sorotan lampu yang sudah mengarah ke depan panggung konser. Aku masih keheranan, gerangan apa yang mendatangkan ia ke sini. Tapi masih aku pendam pertanyaan itu, biarkan saja dia menjawab.

“Sudah lihat apa saja?” tanya Andra penasaran.

“Baru lihat pameran foto saja, terus langsung ke depan panggung konser.”

“Pasti nungguin Sheila on 7, saya tahu kamu menyukai band hebat itu.”

Dia seolah tahu tentangku, tak pernah aku memberitahukan siapa idola yang kusukai, cukuplah apa yang menjadi kesenangan hanya aku yang merasakannya. Begitulah kesendirian mengubah pola pikirku, acara demi acara tetap berlanjut, mengalir bagai air, sorakan massa melihat band favorit menyanyikan sekian banyak lagu membuatku tak bisa berhenti dalam euforia malam ini.

“Alin, sehabis ini kita lihat yang lain yuk?” Andra meneriakiku karna sound music terlalu keras bunyinya di dekat kami berdiri.

“Boleh, kita lihat musikalisasi puisi aja ya, aku pengen lihat juga dari kemarin,” Aku juga meneriakinya.

Baca: Mati di Setitik Kriminalisasi

Setelah beberapa segmen menyaksikan Duta dan kawan-kawan tampil, aku dan Andra pergi mengunjungi stand musikalisasi puisi.Memang indah, puisi yang menguras emosi pendengar, aku sempat meneteskan air mata karna makna di balik kata-kata bercerita tentang hubungan orang tua yang tak pernah harmonis, perceraian dan derita anak yang terlalu larut. Aku sedikit bernostalgia dengan masa lalu keluarga yang sangat pahit.

“Alin? Hey kamu mendengarkan saya?” suara Andra yang keras membangunkanku dari lamunan itu.

“Eh, Hai? Oh iya… Kenapa? Ayo kita lihat lagi, Ndra,” Aku menjadi salah tingkah kepergok melamun di hadapannya.

“Apa yang mau dilihat, musikalisasinya sudah selesai Lin. Kamu kenapa?”

“Tidak apa-apa, ayo kita cari makan, aku sudah lapar.”

Sepanjang perjalanan, Andra hanya berjalan di belakangku. Mungkin ia segan menggangguku jika harus berdampingan. Tidak perlu waktu lama, kami sampai di warung nasi Goreng Oma. Warung nasi goreng favoritku. Cukup memesan dua porsi dan teh manis hangat, setelah itu Andra mengajakku berbicara, obrolan yang kuanggap serius atau mungkin ini alasan kenapa ia mau datang ke acara kampus seperti ini.

“Lin, saya melihat air matamu jatuh tadi ketika anak kecil itu membaca sajak. Memangnya ada apa?” ia melihatku dengan sedih juga.

“Ibu dan bapak sudah bercerai tiga bulan yang lalu, Ndra. Aku tidak tahu siapa yang menggugat, yang jelas saat itu aku benar-benar terpuruk, kenapa orang yang awalnya mencintai harus pisah saat sedang bahagia-bahagianya. Aku menyaksikan sendiri, sore itu di tepi pantai kami masih tersenyum bersama, bahkan bapak memeluk ibu, tak pernah terlintas beberapa jam ke depan mereka sudah berpisah.”

Baca: WD II Sebut FDK Tak Kekurangan Kelas

Aku mengulang kembali kenangan pahit kepada Andra, cerita yang membuat sarapan pagiku tak pernah berselera selama seminggu. Ia menyimak ceritaku selama satu jam.

“Mereka berpisah dengan baik Alin, mereka masih memelihara perasaan anaknya.”

“Tapi kenapa harus semestinya pisah, Ndra? Kenapa!?” air mataku kembali tak terbendung.

“Alin dengarkan saya, yang pisah itu rasa cinta mereka berdua, bukan rasa cinta kepada anaknya. Saya percaya mereka selalu mencintaimu, bahkan cinta melebihi diri mereka sendiri.”

Ia memukul kedua bahuku, menguatkan sebagai teman yang baik. Sembari menyodorkan teh hangat sebagai penenang.

“Aku tahu, makanya mencoba kuat atas semua kata tidak terima yang pernah singgah.”

“Pesan apa yang di sampaikan bapak kepadamu sebelum meninggalkan rumah?” sambil menyeruput teh hangat miliknya.

“Bapak bilang hati-hatilah nak terhadap diri sendiri, orang lain, dan dunia ini. Diantara ketiganya diri sendirilah yang lebih kejam. Tanpa memelihara diri, kau tak akan tahan hidup menghadapi orang yang tak menyukaimu,tanpa menjaga diri kau tak akan sanggup menghadapi dunia yang keras. Itu kata bapak.

“Meski sekedar hati-hati, pesan bapak sangat penting untukmu Alin.Terserah mau buruk atau baik perpisahan orang tua di masa itu, ia tetap orang tuamu.Jangan abaikan tugasmu sebagai anak”  kami terdiam beberapa menit,,,

Pada akhirnya kami bergegas untuk pulang.Makanan yang kami pesan tidak jadi di makan. Andra memberikan makanan itu kepada anak jalanan yang kelaparan. Aku menghapus air mata, mengiklaskan apa saja yang terjadi di dalam hidup ini. Toh di balik itu hikmah menyeruak ke permukaan, aku bebas bertemu siapa saja selama aku hidup. Bisa tinggal di rumah bapak atau ibu. Terpenting mereka tetap sehat.

Mungkin ini alasan mengapa Andra mendatangiku ke acara kampus. Memberikan nasehat lebih dalam, menyadarkan bahwa aku harus kuat meski kebanyakan orang mengatakan keluarga broken home adalah keluarga yang melahirkan anak brandalan. Tapi buktinya, tidak seperti itu, aku beserta kedua adikku tumbuh menjadi anak yang berprestasi.

Editor: Hendrik Khoirul
Sumber Foto/ Gregoby