Mati di Setitik Kriminalisasi.

Penulis: Delfi Ana Harahap

Aku berjalan menyusuri jalanan gang, niatku untuk membeli mie instan di warung persimpangan jalan dekat tempat potong ayam. Tapi kulihat banyak orang berkerumun di depan warung itu, mulai dari lansia, anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, dan remaja. Semuanya berkerumun membentuk lingkaran, terdengar suara-suara makian dan wajah-wajah penuh rasa geram. Aku penasaran, ku terobos kerumunan itu. Dan mengerikan, kudapati anak-anak dengan luka pukul dimana-mana, dan dahi sudah berdarah. Kuperkirakan umurnya masih 10 atau 13 tahun.

“Sakit-sakit, ampun-ampun,” kata anak itu dengan suara memilukan.

“Kecil-kecil udah maling, lebih baik mati saja,” ucap bapak-bapak gendut yang hanya menggunakan singlet.

“Udah kita bakar saja.” Bapak-bapak berbadan kurus memprovokasi.

Aku tidak tahan melihat itu semua, aku berbalik dan menjauhi lingkaran setan itu, tapi masih terlihat dengan jelas semua adegan yang terjadi dari tempatku berdiri. Aku kasihan, aku ingin menolong tapi aku takut akan di hajar massa, karena aku sendirian. Aku teringat Anton, seingatku dia pernah mengatakan kalau abangnya polisi di kawasan ini. Kutelpon dia, meminta tolong mengamankan warga yang masih menganut hukum rimba ini.

“Iya kau tunggu di sana ya, ini abangku lagi di rumah,” jawabnya ikut-ikutan panik.

Selama menunggu Anton aku terpaksa melihat semua kebiadaban itu. Anak itu digiring ke sebuah pohon jambu air, lalu diikat dengan kencang menggunakan tali tambang yang entah sejak kapan sudah tersedia di sana. Kulihat tiga bapak-bapak memaki-makinya, satu berbadan gendut, dua lagi berbadan kurus dan warga masih saja mengerumuni.

“Apa yang kau curi?” bentak bapak-bapak yang terlihat seperti king-kong.

“Gak ada pak, ampun pak. Ampun pak,” jawab anak itu sambil menangis meraung-raung, kini darah sudah menutupi mata anak itu.

“Memang binatang kau ya,” sahut bapak-bapak berbadan kurus, sepertinya dia sangat geram.

Kulihat dia meninggalkan kerumunan itu, mencari sesuatu di sekitaran tempat sampah dan semak-semak. Dia mengambil sebuah bambu yang kuperkirakan sepanjang satu meter, sebesar lengan orang dewasa. Dia menemukannya di samping warung, membawanya kehadapan anak tadi.

“Buk” Bambu menghantam perut anak itu, dia meraung tapi suaranya tertinggal di tenggorokan, kupastikan karena rasa sakit yang sangat mengerikan. Aku ngilu dan lemas, seperti semua darahku disedot matahari. Beberapa detik kemudian bapak-bapak yang seperti king-kong menjambak rambut anak itu dengan tangan jahanamnya, menendang kaki kurus anak itu, tinjuan pun ikut mendarat di perutnya. Pemukulan bertubi-tubi dilakukan secepat kilat. Kulihat anak itu sudah hampir pingsan, tapi tak kunjung pingsan. Padahal aku berharap agar dia pingsan saja, biar rasa sakit itu tidak begitu terasa.

“Bajingan, lama sekali si Anton,” umpatku. Aku menelponnya kembali.

“Halo,” ucapnya dari seberang sana.

“Bangsat, lama sekali kau. 5 menit lagi anak itu akan mati,” ucapku geram sekali.

“Sebentar lagi aku sampai, mungkin 15 menit lagi. Semoga anak itu bisa bertahan,” katanya dan telpon pun terputus.

Perhatianku beralih pada remaja-remaja dalam kerumunan itu, mereka semua menghadapkan kamera ponselnya pada adegan-adegan sadis itu. Merekamnya tanpa merasa berdosa dan kasihan, bahkan di antara mereka kulihat ada yang sambil tertawa-tawa, seolah semua adegan yang ada sebuah pertunjukkan komedi. Laki-laki dan perempuan sama saja, kupastikan banyak di antara mereka yang akan mengunggah video mengerikan itu dengan tujuan menarik simpatisan publik. Kembali hatiku miris menyaksikan beberapa ibu-ibu yang kupastikan hampir dari mereka semua memiliki anak. Mereka juga sama, menyaksikan dengan ekspresi marah, biasa saja dan ada juga yang tertawa. Entah sisi mana yang lucu, aku tidak tahu.

Bahkan ibu-ibu tidak tergugah hatinya, malah ikut menghakimi. Apa sosok keibuan dan keibaan itu hanya diberikan kepada anak-anaknya saja? Mungkin mereka menganggap penyiksaan itu sebuah pertandingan tinju internasional.

Perhatianku kembali kepada anak tadi, karena jeritan-jeritan kesakitan itu kembali keluar dari mulutnya yang sudah koyak dan penuh darah. Hatiku ngilu sekali. Kulihat orang-orang gila itu memang tidak ada puasnya, kembali kepala anak itu dipukul menggunakan sendal kulit kepunyaan si tua berbadan kurus. Sampai akhirnya semua perhatian tertuju pada mobil
Avanza yang berhenti tepat di depan kerumunan itu, mengklakson berkali-kali, hingga empat orang laki-laki keluar dari dalam mobil. Kulihat salah satunya adalah Anton. Aku berlari
mendekati mereka.

“Apa-apan ini, jangan main hakim sendiri pak. Ini negara hukum, bapak bisa kami penjarakan dan dia masih anak-anak,” bentak salah satu polisi.

“Bapak siapa? Anak ini mencuri ya memang pantas di hajar, bahkan di bunuh sekalian,” jawab pria yang kutakatakan seperti king-kong tak kalah garangnya.

“Kami polisi! aman kan yang terlibat Ndri. Kau bawa anak ini ke rumah sakit Yan, bawa si Anton,” perintah polisi yang mungkin lebih tinggi pangkatnya dari yang lain. Memang saat itu mereka tidak menggunakan baju seragam, kulihat si pelaku-pelaku tadi terdiam.

“Siap bang,” jawab orang yang diperintah tadi.

“Aku ikut kau Nton,” kataku pada Anton.

Kami melepas ikatan tali anak tadi, keadaannya sudah sangat mengenaskan. Kini dia sudah pingsan, nafasnya tinggal sepenggal-sepenggal. Sepertinya dia akan mati pikirku, tapi semoga saja tidak. Kami berdua membopongnya kedalam mobil, Anton menyetir dan aku memangku anak malang itu. Seketika bajuku penuh dengan darah, dan bau amis yang sangat menyengat membuatku mual. Aku terus berdoa agar dia bertahan.

Ketika sampai di rumah sakit, petugas langsung membawanya ke ruangan. Kami menunggu diluar, setengah jam kemudian dokter keluar dan dia bilang anak itu telah berpulang ke pangkuan Tuhan. Hatiku mencelos, dan aku menangis. Kulihat dari sela pintu perawat mulai membersihkan sisa darah di badannya yang kaku.

“Salahku Nton, kenapa tidak kutolong dia lebih cepat.”

“Sudahlah, itu bukan salahmu.”

Hampir lima jam kami menunggui mayat anak itu di rumah sakit, menunggu kabar dari Andri, abang Anton. Mereka masih mencari keluarga anak itu. Pukul 11 malam, kulihat sesosok perempuan menggendong balita yang umurnya mungkin masih 2 tahunan, wanita dengan baju daster kumuh itu mendekati kami. Di belakangnya ada bang Andri dan salah seorang temannya.

“Mana anakku?” tanya perempuan itu panik dengan mata berkaca-kaca.

“Masuk kedalam buk,” jawab Anton, dan kami juga ikut masuk.

Seketika perempuan itu berteriak-teriak sambil menangis seperti kerasukan, bahkan anak balita itu diletakkannya begitu saja di lantai, anak itu juga ikut menangis.

“Bangun nak, bangun,” katanya sambil menggoyang badan anak itu, menciuminya dan mengguncangkannya lagi. Kembali aku ikut menangis.

“Cuman nyuri roti dua bungkus.”

Itulah aku lima tahun lalu, melihat secara langsung keganasan warga yang buta hukum. Aku yang tidak memiliki keberanian lebih, aku yang memilih diam dan menyaksikan, aku yang
tidak punya kekuatan. Ah, rasanya menyiksa sekali tiap ingat kejadian itu, seolah menghantui pikiranku.

Hari itu bahkan sampai sekarang masih banyak kutemukan vidio kekerasan pada anak di bawah umur hanya karena masalah kecil. Video-video itu menjadi tontonan layar pipih bagi kalangan tua dan muda. Semuanya terkadang tidak masuk di akal pikiranku, bagaimana bisa manusia yang katanya sempurna dengan akal dan perasaan bisa tertawa mengabadikan dan membagikan kejadian-kejadian mengerikan itu hanya untuk mencari ketenaran. Ah, bodohnya mereka. Aku jadi ragu jika negara ini disebut salah satu negara teramah di dunia. Ramah pada beberapa koruptor mungkin iya.

 

Ilustrator: Delvi Ana Harahap

Editor: Syahidah Azizah Sipayung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.