[Cerpen] Aku Ingin Normal, Tuhan

Penulis: Adrial Ridwan

Hasrat dalam tubuh ini terasa sesak, apalagi melihat Dimas tidak mengenakan sehelai kain pun.

Jika bisa memilih, aku ingin sekali hidup layaknya manusia normal. Aku tahu perilaku seks menyimpang yang kualami ini salah dan dilarang oleh semua agama. Tetapi bagaimana caranya Tuhan? Hidupku terasa sesak sekali. Terutama saat kehadiran Dimas di sisiku.

Saat berada di rumahnya, Dimas acap kali setelah mandi tidak mengenakan apa-apa. Mungkin iya berfikir karena aku laki-laki, aku tidak tertarik kepadanya. Tetapi itu salah, hasrat dalam badanku selalu memberontak kala Dimas berbuat hal seperti itu.

“Dimas tolong dong jangan kek gitu di depan aku, malu lah,” kata-kata itulah yang aku ucapkan kepada Dimas. Namun Dimas selalu acuh dan menganggap lumrah dengan berdalih karena kami berjenis kelamin sama.

****

Jam menunjukkan pukul 05.30 WIB. Alarm gawaiku berdering sangat berisik sekali. Hari ini menjadi hari pertamaku sekolah di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Swasta yang berada di Yogyakarta. Aku harus segera bergegas, walau kelopak mataku masih sangat berat sekali.

Namaku Randi Maulana Azrumendi. Aku putra semata wayang dari pasangan Rahman Adi Suseno dan Lansya Fitri Kusnadi. Ayahku merupakan seorang bos di salah satu pabrik minyak di Bandung dan jarang sekali pulang ke rumah. Sedangkan Ibuku seorang wanita sosialita yang kerjanya hanya menghabiskan uang ayah. Jarang sekali ibu memerhatikanku dan hanya sibuk berfoya-foya.

Walaupun aku sudah bangun di pagi buta, kulihat ibuku masih saja terlelap di kamarnya. Ibu jarang sekali bangun pagi. Aku terbiasa mandiri sejak kecil, paling hanya sarapan pagi yang selalu dipersiapkan Bi Asih, salah satu asiten rumah tangga di rumahku yang besar layaknya rumah Musdalifah, mantan istri Nassar.

“Bi, Randi pergi sekolah dulu ya, bilang ke ibu juga,” pamitku pada Bi Asih dan bergegas menggendarai BMW pemberian ayah saat aku diterima di SMK favorit ini.

Sesampainya di sekolah, aku merasa asing. Memang kawan-kawanku saat Sekolah Menengah Pertama (SMP) tidak ada satu pun yang masuk ke sekolah ini. Wajar saja, ini sekolah swasta mahal dan bertaraf internasional.

Mataku tertuju kepada seorang cowok yang duduk di ujung lorong sekolah. Tampaknya ia seperti kebingungan dan tidak memiliki teman. “Coba kenalan ah, orangnya ganteng dan manis lagi,” otak gay-ku menyala.

Aku memang berbeda dari manusia lainnya. Tepatnya aku menyukai sesama jenis. Hal ini telah aku alami sejak aku duduk di bangku kelas satu SMP. Saat itu aku merasa ada yang aneh dalam diriku ketika melihat teman-teman cowokku mengganti pakaian. Ada rasa seperti ingin melakukan sesuatu jika aku melihatnya.

Namun saat itu aku belum mengetahui apa yang tengah terjadi pada diriku. Tepatnya saat kelas tiga SMP aku mencari apa yang selama ini kurasakan di internet, dan terungkaplah bahwa aku penyuka sesama jenis. Gay sebutannya.

Singkat cerita aku pun berhasil mendekati pria yang berada di ujung lorong tadi. Sambil berjabat tangan, kami pun saling berkenalan. “Hai, namaku Randi,” sebutku. Sapaan ku disambut baik olehnya. “Aku Dimas Sanjaya,” katanya sambil tersenyum lembut yang membuat hatiku terasa menjulang hingga langit ke tujuh.

Kami pun bercerita asal sekolah sebelum memasuki SMK ini. Rupanya Dimas berasal dari SMP 7 yang tak jauh dari rumahku. Tak terasa cerita dan senda gurau kami harus berakhir. Bunyi lonceng tanda harus berbaris di lapangan telah berbunyi. Suara lonceng tersebut sangat cempreng dan membuat telingaku sakit. Rupanya aku berdiri di sebelah toa lonceng tersebut.

Semua murid baru harus berbaris di lapangan. Kebetulan juga aku dan Dimas memilih jurusan yang sama di sekolah ini, jadi kami berbaris dalam koridor jurusan yang sama. “Semoga kita sekelas ya,” harap Dimas dengan semangat.

I hope so,” lagakku dengan sok ke bule-an. Memang aku mirip bule luar negeri, kulitku putih, hidungku mancung.

“Ashira Putri, Lauren Putriana, Shintia Azikalu, Randi Maulana, Fitri Hayato, Dimas Sanjaya, Kaunang Sinta Bella, Putra Susuala, nama yang disebut masuk kelas Sepuluh Arsitek 1,” kata sumber suara tak jelas siapa orangnya.

Aku dan Dimas kegirangan. Kami senang karena harapan kami berhasil.

“Mas dengar enggak tadi nama kita disebut dalam kelas Arsitek 1?” tanyaku dengan semangat.

“Ia kita satu kelas, yeyeyey lalalalalala” kata Dimas yang kulihat tingkahnya seperti penonton bayaran acara televisi.

“Alay lo,” ketusku.

“Bodo amat, yang penting gue sekelas dengan lo,” kata Dimas.

Semua murid pun masuk ke kelas masing-masing. Kami juga begitu. Kelas ku berada di paling depan sekolah ini. Hal tersebut dikarenkan jurusan arsitek menjadi jurusan kebanggan sekaligus terbaik di SMK ini.

“Kita duduk sebangku ya,” pinta Dimas kepadaku. Jelas ini yang kuharapkan sejak pertama kali berjumpa dengannya.

Oh Dimas pujaanku,” ucapku dalam hati sambil memikirkan hal yang tidak-tidak.

Pelajaran pertama dimulai. Sekolah ini sama sekali tidak menerapkan sistem hari pertama sekolah hanya untuk perkenalan. Hari pertama kami sekolah langsung diberi tugas. Syukurnya tugas tersebut kelompok dan teman kelompoknya adalah teman sebangku.

“Kita satu kelompok, nanti kerjaain di mana?” tanya Dimas padaku.

“Serah lo deh, bebas gue mah,” kataku santai.

“Yaudah di rumah gue aja entar, habis magrib ke rumah gue, entar gue share loc di Whastapp, catat nih nomor hape lo” kata Dimas sambil memberi gawainya.

Singkat cerita pelajaran sekolah pun telah selesai. Semua murid pulang ke rumah masing-masing, tetapi ada juga kali ya nongkrong dulu. Sok tahu kadang gue mah.

“Jangan lupa jam tujuh ya gue tunggu di rumah,” teriak Dimas dari kejahuan.

Ashiaaaap,” kata gue ala Atta Gledek, eh Halilintar.

***

Sesampainya di rumah, aku pun langsung bersih-bersih dan cuci muka. Setelah itu Bi Asih memanggilku dan menyuruh makan siang.

“Makan lagi Randi,” teriak Bi Asih.

“Iya bi, mau ganti baju dulu,” tak kala kuat aku ikut berteriak.

Sampainya di meja makan, Bi Asih tampak heran melihat sikapku tak seperti biasanya. Bi Asih bingung melihat tingkahku seperti orang gila yang senyum-senyum melihat telepon genggam.

“Stress kamu masuk sekolah sekarang? Kek orang gila senyum-senyum lihat hape,” celetuknya.

Selaw bi, ini cerita lucu,” dalihku. Padahal aku sedang bertukar pesan dengan Dimas. Dimas ini kocak dan buat aku semakin tergila-gila padanya.

Selesai menyantap makan siang, aku pun bergegas menuju kamarku. Mataku kantuk sekali. Rasanya aku ingin sekali tidur siang, tak lupa menyetel alarm agar tidak ketiduran, masalahnya aku telah janji dengan pujaan hatiku, Dimas.

****

Kring…..kringg…kringgggg, nada sambung Whatsappku berdering. Rupanya panggilan dari Dimas sudah 19 kali. Pesannya pun sudah 100 lebih di layar teleponku. Aku lihat jam rupanya sudah pukul 19.30 WIB. Oh Tuhan aku telat.

Aku pun langsung siap-siap dan bergegas menuju rumah Dimas. Tak lupa aku membalas pesan pribadinya supaya Dimas tenang.

“Otw,” pesanku singkat.

Aku tak lagi melihat teleponku. Aku tahu Dimas pasti menggerutu karena aku molor dan tidak tepat waktu.

“Ah bodo amat,” pikirku sambilku gas penuh pedal Mobil BMW-ku dengan kecepatan tinggi.

Tak terasa aku sampai di Kompleks Sidomulyo sesuai share location Whatsapp yang dikirim Dimas tadi. Aku mencari rumah Dimas dengan Nomor blok A2.

Setelah sampai di depan rumahnya, aku pun bergegas menelepon Dimas.

“Mas, gue depan rumah lo nih,” kataku serasa manusia tak punya dosa.

“Bentar, lama banget sih,” cerutu Dimas.

Dengan muka cembrut, Dimas membuka pagar pintu rumahnya. Malam itu ia tampak tampan sekali. Dimas hanya mengenakan celana pendek di atas lutut dan kaus warna hitam tak berlengan. Rasanya ingin sekali memeluk dirinya, bercumbu mesra layaknya pasangan suami istri.

Dimas pun mengajakku masuk ke kamarnya di lantai dua. “Gue mandi dulu, tunggu bentar ya,” kata Dimas sambil membuka pakaiannya satu per satu di depanku tanpa malu.

Mataku tak berkedip melihat pemandangan yang baru saja kualami barusan. Rasanya ingin sekali berlama-lama melihat Dimas tanpa sehelai benang pun.

“Bisa-bisa aku yang mati nih,” celetukku.

10 menit berselang, Dimas pun keluar dari kamar mandi. Ia hanya dibalut handuk putih yang minim dan tak segan-segan melepaskannya di hadapanku.

“Dimas tolong dong jangan kek gitu di depan aku, malu lah,” ini hanya dalihku, supaya Dimas tidak berfikir yang tidak-tidak, padahal aku sudah tak tahan rasanya.

“Sesama lelaki bro, santailah,” katanya dengan santai sambil mengenakan baju.

Setelah semua terasa normal, kami pun mengerjakan tugas yang diperintahkan dari sekolah tadi. Aku dan Dimas fokus terhadap masing-masing tugas. Aku bagian menggambar rumah, sedangkan Dimas memperkirakan bahan yang diperlukan.

Singkat cerita tugas kelompok kami telah usai. Jam dinding di kamar Dimas juga telah menunjukkan Pukul 23.20 WIB. Aku pun segera pamit pulang. Namun Dimas sempat menawari untuk menginap di rumahnya. Akan tetapi hal tersebut aku tolak dan beralasan ibuku melarangnya.

“Entar Ibu gue marah, besok-besok deh,” tolakku, padahal aku ingin sekali nginap di rumahnya, daripada terjadi hal yang diinginkan mending enggak dulu deh, pikirku.

***

Hari-hariku selalu bersamanya. Semua aktivitas hidupku lalui  hanya dengan Dimas. Tak terasa memasuki tahun ketiga aku berada di sekolah ini. Hasrat cintaku pada Dimas semakin tak dapat aku tahan. Dimas juga acap kali tampil terbuka di hadapanku. Hingga suatu hari aku mengungkapkan rasa yang selama ini terpendam.

“Mas, gue mau ngomong,” kataku lembut.

“Apaan?” tanyanya ketus. Dimas ini kadang menjengkelkan, kadang ketus banget denganku.

“Antara kita ada yang aneh nggak sih? Maksud gue punya rasa yang lebih dari sekedar teman,” kataku ragu-ragu.

“Rasa? Iya kita kan sahabatan, lo teman dekat gue,” katanya santai.

“Bukan itu Mas, tapi gue cinta sama lo,” jawabku meyakinkan.

“Aneh lo setan! gue laki! lo laki! apa yang lo cari?! Lo waras enggak sih?!” bentaknya, kaget.

“Tapi Mas, rasaku ini udah ada sejak kita pertama kali jumpa,” sebutku meyakinkan.

Brukkkkhh … tinjuan maut dari Dimas bersarang di pipi kananku. Rasanya aku malu sekali mengungkapkan perasaan yang aku rasa selama ini. Aku juga takut Dimas menjauhiku.

“Gue najis berteman sama lo, mending pergi lo dari gue…” desisnya kepadaku seperti melihat kotoran.

Aku pun pergi menjauhinya. Hatiku hancur berkeping-keping. Dunia ini serasa sudah pindah ke Pluto. Aku kehilangan kekasih, teman, sekaligus sahabat yang selama ini aku miliki.

Beberapa hari selanjutnya Dimas tampak menjauhiku. Ia tak pernah menegurku. Kursi tempat duduknya pindah ke tempat lain. Hari-hariku terasa hampa tanpanya. Kadang terlintas di fikiranku soal perkatan Dimas.

Aku kini mulai sadar. Aku juga menyalahkan diriku sendiri. Kalau bisa memilih tidak ada satu pun manusia di dunia ingin terlahir tidak sempurna seperti yang aku alami sekarang.

“Tuhan mengapa engkau tidak adil kepadaku?” kataku yang turut menyalahkan Tuhan.

***

Sepanjang perjalanan pulang dari sekolah, aku menyetel radio di BMW-ku ini. Lucu memang di mobil semahal ini yang diputar malah radio. Entah kenapa radio di mobiku ini sedang siaran masalah LGBT. Aku berharap bisa mendapatkan solusi dari semua masalah yang aku alami.

Aku juga tidak mengetahui dengan jelas siapa yang bertausiah. Yang aku tahu orang yang berbicara dengan Ayat Al Quran itu pasti ustaz. Bobrok sekali pikiranku tentang agama.

Dalam ceramahnya ustaz tersebut menjelaskan sebab akibat terjadinya seks menyimpang di dunia ini. Berawal dari kisah Kaum Sodom di Zaman Nabi Luth AS. Ceramahnya berisi tentang nasihat Nabi Luth AS supaya meninggalkan perbuatan keji kaumnya tersebut. Nabi Luth AS berkata, Allah SWT akan memberi azab kepada kaum yang tetap melanggar perintah Allah SWT.

Tak sampai di situ, ceramah itu terus mengkisahkan tentang azab-azab seks menyimpang. Selain itu ceramahnya juga berisi tentang edukasi mengenai seks dalam hidup manusia normal.

Ceramah itu juga memberi gambaran bahwa tidak ada manusia yang ingin lahir di dunia ini dalam keadaan seks menyimpang. Selain itu, manusia juga ingin sekali berbuat baik dan menginggalkan hal-hal dilarang dalam agama.

Setelah mendengar ceramah tersebut, air mata ku tak dapat lagi kubendung. Tangisku pecah. Aku serasa manusia paling keji karena hidup dalam keadaan perilaku menyimpang. Aku merasa bersalah di hadapan Tuhanku, Dimas, dan orang-orang sekitarku. Aku hempas kan kepalaku ke komstir mobil. Aku menyalahkan diriku, dan juga aku menyalahkan orangtuaku karena tidak mengajarkanku ke arah yang lebih baik.

“Tuhan, aku ingin hidup normal,” teriakku dan tak terasa mobilku menghantam pembatas jalan. Mataku terasa kunang-kunang dan darah segar mengalir di hidungku.

Penulis: Adrial Ridwan
Editor: Hendrik Khoirul
Ilustrasi: akurat.co

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.