Merisik Pembuat Mie Sagu di Selatpanjang

Kota Sagu, begitulah julukan untuk Ibukota Kabupaten Kepulauan Meranti. Selatpanjang dan dusun-dusun yang berdampingan dengannya memang dikenal sebagai penghasil sagu terbesar selain Papua.  Hanya saja, Selatpanjang sendiri kehilangan pesona ikonnya setelah lahan sagu banyak dijadikan pemukiman warga.

Dari sekitar 76.763 jiwa yang menempati Selatpanjang, mayoritasnya beretnis Melayu dan Tionghoa. Para penduduk ini bermata pencaharian sebagai pedagang, petani, dan nelayan. Adapula yang mengais rezeki dari memproduksi olahan sagu. Munir, begitu panggilan lelaki berusia 59 tahun ini. Ia telah berjuang bersama Mie Sagu selama 18 tahun. Ia juga telah merawat alat produksi sagu sebagaimana ia merawat anak-anaknya, menyekolahkan mereka secara layak.

Pabrik mie sagu milik Munir berada disebelah rumahnya, dengan berdinding seng. Ia mulai bekerja disana pada pukul sebelas siang hingga azan asar berkumandang. Lelaki yang memiliki tujuh anak ini, selalu berusaha menghasilkan mie sagu berkualitas. “Kalau bahannye kurang bagus, kite ubah care mengolahnye, supeye die jadi bagus,” kata Munir ketika ditanya mengenai pengolahan sagu.

Mie sagu buatan Munir memang berwarna lebih putih, ia sebutkan karena bahan yang bagus. Munir selalu memperhatikan kualitas sagu. Bahkan, suatu hari ia pernah tidak memproduksi mie sagu karena tidak mendapatkan bahan sagu impiannya. Pengalaman 18 tahun menjadikan mie sagu Munir lebih banyak diminati. Satu hari saja, ia mampu membuat sekitar 70 kg mie sagu. Harga jual setengah kilo gram  mie sagu adalah Rp.3.500. Dengan hasil ini ditambah gajinya sebagai petugas kebersihan di jalan kota, Munir mampu membiayai kuliah putri bungsunya di Universitas Riau.

Selama bekerja, Munir dibantu oleh mesin dan anggota keluarganya. Mereka bekerja dengan berbagi tugas. Misalnya saja, sang istri bertugas sebagai penjual mie sagu di pasar setiap hari, kecuali hari jumat. Pria yang murah senyum ini memang sengaja menspesialkan hari jumat untuk beristrihat.

Munir dan keluarganya membuat mie sagu yang kemudian dijual di pasar, kedai kecil, dan adapula pembeli yang lansung datang kerumah. Setiap anggota keluarga Munir berkompeten dalam membuat mie sagu. Jelas saja, mie sagu sudah menjadi bagian  keluarga ini. Apalagi istri beliau telah sering mengikuti pelatihan-pelatihan membuat olahan sagu yang ditaja oleh pemerintah, terakhir ia ikuti tahun 2015.

Saat ini, memang sudah dikenal sebanyak 300 olahan sagu. Namun, olahan mie sagu memang menjadi primadona khususnya di Provinsi Riau. Di Kepulauan Meranti saja, pabrik rumahan yang mengolah mie sagu sudah banyak sekali. Mie yang gurih ini tidak pernah ditinggalkan oleh peminatnya. Produksi mie sagu Munir memang telah terkenal.“Kami menjual mie sagu kami ini sampai ke Pekanbaru, Siak,  dan Tanjung Pinang,” kata kakek enam cucu ini.

Ketika ditemui dirumahnya di jalan Perumbi, Munir kenakan Setelan kain sarung dan kemeja kotak-kotaknya. Ia menjelaskan cara membuat mie sagu tanpa ragu. Beliau juga berkisah bagaimana pelanggannya memuji sagunya yang bersih. Ia juga bercerita tentang mie sagu nya yang tak habis terjual. Tapi tanpa perlu khawatir akan bangkrut, ia akan terus memproduksi mie sagu tersebut. Mie sagu memang tak cepat rusak atau basi karena memang pengolahan dan bahannya yang baik. Munir dan mie sagu memang menjadi sejarah hidup di hari tuanya. Kisah yang bermula sejak ia meninggalkan kampung Banto hingga memilih Selatpanjang sebagai rumah tetapnya. Bersama istri dan anak-anaknya, Munir telah menjadi pahlawan sagu.

 

Penulis  Marliza

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.