Polemik Kebebasan Berekspresi Dalam Kasus Pembakaran Al-Qur’an

Penulis : Rofiqoh Romadhoni

Gagasanonline.com – Jagat media sosial dan pemberitaan kembali diramaikan dengan aksi pembakaran Al-Qur’an yang dilakukan oleh pemimpin ekstrimis sayap kanan Swedia-Denmark. Kejadian ini berlangsung di depan gedung Kedutaan Besar Turki di Stockholm pada Sabtu, (21/01/2023).

Aksi ini diawali dengan unjuk rasa penolakan terhadap Turki yang berupaya membuat Swedia bergabung dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO). Kegiatan yang dipimpin oleh Rasmus Paludan ini berujung pada pembakaran kitab suci umat islam, Al-Qur’an. Tindakan keji ini tentunya menuai kecaman dari berbagai pihak di seluruh dunia.

Di Swedia, aksi pembakaran Al-Qur’an ini diartikan sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Perdana Menteri Swedia pun memberikan izin atas aksi tersebut. Bahkan saat Rasmus Paludan melakukan aksinya, ia dilindungi oleh pihak berwajib.

Kebebasan berekspresi ini disebut bagian dari demokrasi. Hal ini benar adanya karena kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi syarat mutlak dan fundamental dalam demokrasi. Namun, kita harus mampu membedakan antara kebebasan dan penghinaan. Jika penghinaan identik dengan kebebasan berekspresi, maka demokrasi sudah kehilangan makna substansialnya.

Pada dasarnya, hakikat kebebasan adalah mampu melakukan sesuatu tanpa paksaan dari orang lain. Akan tetapi, bukan berarti kebebasan ini tidak memiliki batasan karena sebuah kebebasan juga harus dipertanggungjawabkan.

Membenarkan tindakan penghinaan seperti membakar Al-Qur’an dalam rangka melindungi kebebasan berekspresi adalah suatu kesalahpahaman terhadap perbedaan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kejahatan terhadap manusia.

Maka dari itu, tindakan yang dilakukan oleh kelompok sayap kanan Swedia dengan menggunakan label ‘kebebasan berekspresi’ adalah suatu hal yang bejat. Kebebasan ekspresi yang berdiri di atas subjugasi dan diskriminasi kelompok lain bukanlah kebebasan, melainkan penindasan.

Kebebasan berekspresi tidak harus melanggar norma sosial, agama, dan lainnya. Jika dalam hidup bisa saling menghormati, kenapa tidak?

Editor : Ashila Razani
Foto : Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.