Penyamarataan Matktul Al-Quran Membuat Mahasiswa Non-Muslim Harus Mengulang Mata Kuliah

Penulis: Sabar Aliansyah Panjaitan

Gagasanonline.com – “Kalau kamu sekolah harus mencapai apapun yang kamu inginkan. Jangan lihat latar belakang sekolah itu seperti apa. Karena sekolah itu tidak bisa membuat kamu sukses tapi kamu sendiri yang membuat kamu sukses,” ujar Karin, bukan nama sebenarnya, sembari mengingat kembali nasihat gurunya sewaktu duduk di bangku sekolah.

Ucapan tersebut hingga kini masih tertanam di benak Karin, seakan menjadi magnet penyemangat dirinya untuk tetap bertahan dan belajar di salah satu Universitas Islam Negeri (UIN), ucapan tersebut terlontar dari bibir gurunya ketika dia masih sekolah di salah salah satu SMA Negeri di Provinsi Riau.

Karin sendiri merupakan seorang mahasiswi di Universitas Islam Negeri, di bawah naungan Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI). Dengan berlatar belakang agama Kristen, dirinya menjadi mahasiwi minoritas di kampus yang didominasi oleh mahasiswa muslim tersebut.

Seperti mahasiwi pada umumnya, tidak ada hal mencolok yang menandakan dirinya bukan muslim, baik dari segi berpakaian maupun penampilannya. Sebab di kampus tersebut, baik muslim maupun yang bukan harus mematuhi peraturan yang ada yaitu berpakaian islami dan memakai jlbab.

Sehingga hampir dua semester banyak dari temannya tidak menyadari kehadirannya. Kecuali pada suatu ketika seorang dosen pengempun mata kuliah studi Al-Quran yang bertanya soal status agama mahasiwanya di tengah-tengah pemebelajaran.

“Mungkin tujuannya untuk menyesuaikan penjelasan matkul tersebut dengan kondisi tiap mahasiwanya,” ujar Karin mengenang kembali masa tersebut. Namun, hal tersebut justru tidak menguntungkannya. Sebab dari perkenalan tersebut banyak dari teman sekelasnya yang merasa heran, ada yang menatapnya dengan sinis bahkan menjauh karena mengetahui dirinya non-muslim sendiri di kelas tersebut.

“Kalau sekarang sudah diterima tapi ada sebagian yang masih menjaga jarak,” ujar Karin

Awal Perjalanan

Masuk di kampus negeri memang sudah menjadi impiannya sejak dulu, sehingga pada jalur SNMPTN ia sudah mantap memilih dua kampus negeri. Dia lolos pada pilihan kedua, yaitu kampus Islam negeri di jurusan Psikologi yang sifatnya umum.

Dia tidak bisa menolak, karena jika dilihat peraturan dari LTMPT sendiri, bagi calon mahasisa yang telah dinyatakan lolos seleksi SNPTN dan tidak melakukan daftar ulang, maka akan berdampak pada peserta tersebut dan juga terhadap sekolah.

Di antaranya, tidak bisa mendaftar UTBK SBMPTN tahun tersebut, tidak bisa daftar seleksi masuk jalur mandiri di perguruan tinggi yang mensyaratkan nilai UTBK, tidak bisa ikut UTBK SBMPTN selama tiga tahun, dan dampak pada sekolah terkait SNMPTN selanjutnya dari masing-masing perguruan tinggi. Sehingga mau tidak mau ia harus menerima konsekuensi tersebut.

Meski sudah mencari tahu terkait konsekuensi yang akan dihadapinya saat kuliah di kampus tersebut, ternyata pengetahuannya tersebut belum cukup mendalam. Masih banyak konsekuensi yang harus dihadapinya bukan hanya menegenakan pakaian yang tertutup dan berhijab saja.

Bahkan terkait mata kuliah wajib yang di tetapkan oleh universitas tersebut yang jauh dari antisipasinya, seperti mata kuliah Al-Quran, hadist dan tahsin. Namun Karin tetap maklum dan tidak mejadi masalah karena menurutnya bagaimana pun kampus tersebut berada di bawah Kementrian Agama.

Menghafal Lewat Youtube

“Sebisa mungkin pelajarannya saya ikuti, banyak tidak pahamnya juga, kadang belajar sendiri dari internet, teman dan bertanya kepada dosen,” ujar Karin.

Di semester ketiga perkuliahan, Karin mulai terkendala dengan banyaknya hafalan yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah, dengan lidah yang tak terbiasa melafazkan huruf hijaiyah wajar saja bila ia harus terbata-bata membaca dan melafazkan tugas hafalan yang diberikan dosen.

“Kadang-kadang dosen menginginkan hafalan untuk tugasnya. seperti hafalan ayat-ayat Al- Quran, zikir dan juga doa,” ujar Karin

Berbagai macam cara telah dilakukan Karin supaya dia mampu melafazkan ayat-ayat tersebut meski tidak begitu fasih seperti mahasiswa lainnya. Namun ia tetap berusaha agar tidak mendapat nilai jelek di mata kuliah yang bersangkutan.

Misalnya, ketika diberikan hafalan Al-Quran ia lebih banyak belajar melalui YouTube dengah berulang kali memutar murattal yang sama, dengan sesekali ikut melafazkannya secara berlahan dan mengulanginya terus menerus.

Sedangkan untuk tugas zikir dan do’a, Karin harus belajar sendiri sebab apa yang dicarinya di YouTube sangat berbeda dengan apa yang dikatakan oleh dosen, sementara dosen itu minta apa yang sesuai dengan yang dikatakannya.

“Untuk hafalan zikir dan doa saya tidak ikut nyetor kemarin dan lumayan nilainya juga tidak kurang dari ekspetasi,” ujar Karin

Penyamarataan matkul wajib universitas tersebut menurutnya sangat memberatkan, ditambah lagi ia baru pertama kali mengenal dan membaca Al-Quran. Meski sebagian dosen memberikan dispensasi kepadanya, tetap saja di semester empat perkuliahannya ada juga dosen yang mengharuskannya mengulang matkul tersebut karena mendapat nilai D (Kurang/Tidak lulus).

“Kurang enak juga. Tapi ya, mau bagaimana? Namanya juga sudah diwajibkan, Kalau matkul umum lainnya lumayan bagus dan sesuai harapan” ujar Karin.

Seperti harapan kedua orang tuanya yang selalu menekankan agar dirinya tetap teguh dan selalu berusaha menerima segala cobaan yang terjadi dirinya juga sangat berharap agar dosen pengampu matakuliah yang sifatnya keagaman memberi kemudahan bagi mahasiswa monoritas apalagi dari ajaran agama yang berbeda.

“Gak semua orang bisa menghafal dan gak semua orang itu sama, terkadang ada yang sebaliknya. Yang membuat ada beberapa mata kuliah yang harus diulang,” ujarnya

Langkah yang Harus Dilakukan

Harapan yang sama juga terlontar dari Aileen, bukan nama sebenarnya, seorang mahasiswi Muslim. Dia berharap agar pihak kampus juga menghargai keberadaan mahasiswa non-muslim yang juga telah memilih UIN sebagai universitas terbaik menurut mereka sehingga mereka ingin menuntut ilmu di kampus tersebut.

“Mungin universitas lebih menghargailah keberdaan mereka atau lebih mentoleransi mata kuliah yang mendalami agama Islam,” ujar Aileen saat wawancara Gagasan pada Senin, (1/8/2022).

Aileen sendiri merupakan teman sekelas Karin dari jurusan dan fakultas yang sama, meski tidak begitu akrab namun Aileen sering memperhatikan kegigihan Karin untuk memahami pelajaran yang melenceng dari agamanya selama kuliah.

Berbusana layaknya mahasiswa muslim pada umumnya dengan berpakian gamis dan berhijab serta mengikuti matakuliah agama baik tugas dan hafalan yang diberikan dosen. Sehingga tidak ada yang menyangka bahwa Karin adalah mahasiswa Kristiani.

“Awalnya sih ya kaget tapi karena sudah terbiasa juga, jadi ya sudah. Selagi kitanya saling menghargai dan tidak saling menjatuhkan atau ngak saling menjelekkan satu sama lain nggak apa-apa sih menurutku,” ujar Aileen.

Kekaguman Aileen terhadap Karin juga tidak dirasakannya sendiri. Ada salah satu dosen yang bangga terhadap kerja keras Karin yang berusaha menghafal tugas yang diberikan dosen tersebut.

“Kebetulan ada salah satu mata kuliah yang tugas akhirnya disuruh menghafal salah satu surah di juz 30, nah walaupun dia Kristen tapi dia ada kemauan untuk menghapalnya,” ujar Aileen. “Walau dengar kabarnya dia harus mengulang matakukiah tersebut, ya sangat disayangkan,” tambah Aileen saat diwawancara via telpon.

Pendidikan Setara

Hal tersebut ditanggapi Mukhlisin dari Yayasan Cahaya Guru, lembaga yang aktif mempromosikan keberagaman di lingkungan pendidikan. Mukhlisin mengatakan bahwa mata kuliah keagamaan merupakan ciri khas unversitas-universitas berbasis agama, baik itu universitas Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan agama lain.

“Menurut saya itu memang ciri khas atau kekhasan universitas-universitas keagamaan begitu juga saya kira tadi kampus-kampus non-Muslim sekolah tinggi Kristen dan lain sebagainya,” ujarnya Mukhlisin saat pihak Gagasan melakukan wawancara via zoom pada Selasa, (2/8/2022).

Meski begitu, Mukhlisin menambahkan bahwa kampus tersebut juga harus membedakan antara mata kuliah sebagai akademis dan nilai agama sebagai ritual agama.

“Artinya kampus tidak boleh memaksa untuk mengimani. Nah itu harus disadari sama sama. Jadi mahasiswa atau mahasiswi yang non-muslim mereka boleh saja mengikuti pelajaran apapun mengenai agama Islam sebagai matakuliah, tetapi kampus tidak boleh untuk memaksakan keimanan seseorang. Karena itu adalah salah satu hak asasi manusia untuk mengimani agama dan kepercayaannya masing-masing,” tambah Mukhlisin.

Mukhlisin juga menekankan bahwa Universitas Islam Negeri (UIN) perlu mengakui keberadaan mahasiswa non-muslim yang tidak bisa mengelak karena seleksi SNMPTN.

“Jika demikian, maka kampus perlu membuat kebijakan yang membuat para mahasiswa bisa mengakses pendidikan tinggi yang setara dengan mahasiswa yang pada umumnya di situ,” ujar mukhilisin.

Melihat pokok permasalahan yang dialami mahasiswa non-muslim tersebut, menurut Mukhlisin tata kelola penerimaan mahasiswa juga perlu diperbaiki. Di satu sisi mahasiswanya tidak punya pilihan lain selain UIN. Di sisi lain UIN tidak melakukan pembenahan terhadap pola pembelajaran yang ada dan memberatkan mahasiswa tersebut. Maka menurutnya, mahasiswa sebaiknya tersebut diarahkan ke universitas negeri yang sifatnya umum yang tidak berdasarkan agama tertentu.

Selain tata kelola penerimaan mahasiswa, Mukhlisin juga berharap kampus tersebut melakukan pemebenahan baik di dalam mata kuliahnya atau pemahaman dari dosen nya sendiri, bahwa ada mahasiswa non-muslim yang juga belajar disana. Kalau misalnya tata kelolanya seperti itu terus maka setiap tahun nya pasti ada mahasiswa non-muslim yang masuk ke UIN.

“Jadi itu perlu disadari oleh setiap prodi, jurusan, bahkan dosen bahwa mahasiswa non muslim tidak bisa disamaratakan dengan mahasiswa muslim lainnya,” ujar Mukhlisin.

Menurut Mukhlisin, salah satu faktor terjadinya salah masuk perguruan tinggi tersebut disebabkan karena tidak meratanya akses perguruan tinggi dan hal tersebut memang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

“Pemerintah harus lebih perhatian kepada mahasiswa ini,” tutup Mukhlisin.

Menanggapi permasalahan yang dialami oleh teman minoritas tersebut, pihak Gagasan sebeumya sudah mencoba mengonfirmasi hal tersebut ke bagian akademik universitas, dan diarahkan untuk mewawancarai pihak jurusan. Wawancara telah dilakukan namun keesokan harinya narasumber yang bersangkutan menolak hasil wawancara tersebut dipublikasikan.
Hingga tulisan ini naik, belum ada perwakilan pihak universitas yang dapat diwawancarai.

** Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Gambar ilustrasi: Sabar Aliansyah Panjaitan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.