Penulis: Iswatun Hasanah
Judul: Filosofi Teras
Penulis: Henry Manampiring
Penerbit: Kompas Gramedia
Tahun terbit: 2019
Jumlah halaman: 320 halaman
Filosofi Teras merupakan buku yang ditulis oleh Henry Manampiring. Buku ini hadir sebagai bentuk berbagi pengalaman dari penulis dalam menemukan ketenangan hidupnya. Istilah Filosofi Teras atau Filosofi Stoa, itu berawal dari seorang filsuf bernama Zeno yang mengajar di sebuah teras berpilar di sisi utara semacam alun-alun. Saat itu, tempat ini digunakan publik untuk berdagang dan berkumpul di masa Yunani kuno. Sementara, filosofinya sudah ada sekitar 300 tahun sebelum masehi atau sekitar 2.300 tahun yang lalu.
Buku ini, diawali dengan survei khawatir nasional berisikan pertanyaan-pertanyaan yang merujuk pada tingkat kekhawatiran generasi milenial terhadap kehidupan secara umum. Dari survei tersebut, didapat beberapa kesimpulan terkait banyak orang yang masih khawatir terhadap perjalanan hidupnya dari segala aspek.
Penulis membagi isi buku menjadi 12 bab, dan memaparkan macam-macam pembahasan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mengatasi hal-hal yang mengganggu cara pandang, pikiran dan tindakan dengan berlandaskan filosofi stoa. Berikut beberapa hal dari filosofi teras yang dapat diterapkan dalam kehidupan.
Pertama, menjalani hidup selaras dengan alam. Artinya, kita harus menggunakan nalar, karena nalar atau rasio merupakan hal pembeda kita dari binatang.
“Alam memberikan manusia rasionalitas sebagai fitur unik yang membedakannya dari binatang.” (halaman 37)
Hidup selaras dengan alam menjadi prinsip utama dalam stoisisme. Karena dalam penerapan ini, selaras dengan alam tak sesempit anggapan keterlibatan manusia dengan lingkungan hidup. Namun, lebih besarnya lagi bagaimana seorang manusia mempunyai keterlibatan besar dari alam semesta dan isinya. Manusia dianggap sebagai makhluk yang lebih pintar dan punya kemampuan lebih dari binatang yang tidak hanya sekadar makan dan bertahan hidup. Terlebih, manusai punya hubungan erat dan keterkaitan dengan segala peristiwa yang ada di bumi.
Kedua, tujuan filosofi teras adalah hidup dalam ketenangan dan bebas dari emosi negatif.
“Damai dan tenteram ini karena berasar dari dalam diri kita, bukan pada hal-hal eksternal yang bisa berubah, hancur, atau direnggut dari kita.” (halaman 30)
Dalam penerapannya, stoisisme tidak terpesona dan tak mementingkan pencapaian dunia seperti kekayaan, jabatan, popularitas, dan lain-lainnya. Sehingga tujuan utama dari filosofi ini menekankan kepada kehidupan yang mampu mengendalikan emosi negatif dengan adanya kebajikan, atau penerapan cara hidup dengan hal-hal baik sebagai seharusnya menjadi bagian dari manusia di muka bumi.
Adanya ketenangan dalam hidup didapatkan dengan memfokuskan diri pada hal-hal yang bisa dikendalikan, dan tidak membiarkan hal-hal di luar kendali menciptakan emosi negatif yang menguasai diri kita.
Ketiga, empat kebajikan utama (virtues): kebijaksanaan, keadilan, menahan diri, keberanian.
“Jika ingat empat kebajikan/virtues dalam filosofi teras, maka dua diantaranya (keberanian dan menahan diri) adalah sikap menghadapi hal-hal du luar kendali.” (halaman 53)
Kebijaksaan dalam mengambil keputusan terbaik dalam hidup, keadilan memperlakukan orang lain dengan cara adil dan jujur, menahan diri atas nafsu dan emosi, serta keberanian dalam hal kebenaran.
Filosofi teras percaya hidup dengan virtues yang mampu mengendalikan emosi negatif untuk hidup lebih tenteram dan damai. Karena manusia rasional mampu menahan diri dari keinginan hal-hal di luar kendali pemicu emosi negatif.
Keempat, dikotomi kendali. Ada hal berada dalam kendali kita, dan adapula hal di luar kendali kita. Sehingga, jangan menggantungkan kebahagian pada hal-hal di luar pada kendali kita.
“Hal-hal yang ada di bawah kendali kita bersifat merdeka, tidak terikat, tidak terhambat. Tetapi hal-hal yang tidak di bawah kendali kita bersifat lemah, bagai budak, terikat, dan milik orang lain. Karenanya, ingatlah, jika kamu menagnggap hal-hal yang bagaikan budak sebagai bebas, dan hal-hal yang merupakan milik orang lain sebagai milikmu sendiri. Maka kamu akan neratap, dan kamu akan selalu menyalahkan para dewa dan manusia.” (halaman 48)
Stoisisme mengajarkan kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari “thing we can control” atau hal-hal yang bisa dikontrol. Artinya, kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari dalam diri kita seperti sikap kita kepada orang lain, tanggapan dan tindakan kita. Sedangkan kita tak bisa menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, seperti opini orang lain, perlakuan orang lain, status dan popularitas, kekayaan dan lainnya.
Kelima, indifferent. Hal-hal yang tidak berpengaruh pada kebahagiaan.
“Manusia tidak memiliki kuasa untuk memiliki apapun yang dia mau, tetapi dia memiliki kuasa untuk tidak mengingini apa yang dia belum miliki, dan dengan gembira memaksimalkan apa yang dia terima.” (halaman 78)
Ada preferred indifferent, seperti kesehatan, kecantikan, dan kekayaaan. Ini tidak berdampak pada kebahagiaan, tapi jika ada akan jauh lebih baik. Karena kekayaan dan kesehatan bisa membantu kita untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi dalam bertindak.
Ada juga unpreffered indifferent, seperti sakit karena penyakit dan kemiskinan. Dua hal ini sama-sama tidak relevan dalam mencapai tujuan hidup yang baik.
Keenam, dikotomi kendali tidak sama dengan pasrah pada keadaan.
“Kemalasanlah yang akan membawa kesusahan dan bukanlah jerih payah itu sendiri. Sesungguhnya, kerajinan, kerja keras, dan berkarya sudah menjadi panggilan kita.” (halaman 85)
Dalam stoisisme rajin bekerja dan berkarya tidak dilihat sebagai sekadar jerih payah untuk bertahan hidup. Namun, sudah menjadi bagian dari jati diri seorang manusia.
Ketujuh, semua kesusahan yang kita rasakan dalam hidup datang dari pikiran kita sendiri dan bukan dari peristiwa atau orang lain, kita hanya bisa mengendalikan pikiran kita.
“Pada dasarnya semua emosi dipicu oleh penilaian, opini, persepsi kita. Keduanya saling terkait, dan jika ada emosi negatif, sumbernya dari nalar/rasio kita sendiri.” (halaman 97)
Dalam stoisisme kebahagiaan sejati datang dari hal-hal yang bisa dikendalikan seperti persepsi, pikiran, dan pertimbangan dari dalam diri kita. Sehingga ajaran filosofi teras mengajarkan bahwa pada dasarnya semua emosi dipicu oleh penilaian, opini, dan persepsi kita. Hal ini menjadi saling berkaitan, dan jika ada emosi negatif maka sumbernya dari pikiran kita sendiri.
Kedelapan, bedakan antara peristiwa objektif atau fakta, dengan opini atau value judgment yang kita tambahkan kemudian. Karena opini, interpretasi, value judgment sering menjadi akar dari emosi negatif yang menghantui pikiran kita.
Sembilan, START (stop, think & assess, respond). Selalu lakukan ini di saat emosi negatif mulai menerpa.
“Sudah saatnya kamu menyadari bahwa kamu memiliki sesuatu di dalam dirimu yang lebih kuat dan Ajaib daripada hal-hal yang memengaruhimu layaknya sebuah boneka.” (halaman 107)
Langkah-langkah yang bisa diambil saat kita mulai merasakan emosi negatif dapat dilakukan dengan cara ini.
Cara pertama dengan stop (berhenti). Begita merasakan emosi negatif secara sadar kita harus berhenti dulu. Jangan berlarut dalam perasaat tersebut. Cara ini bisa dilakukan saat emosi negatif mulai datang. Yang kedua, dengan think & assess (dipikirkan dan dinilai). Sesudah menghentikan proses emosi sejenak, maka kitab isa aktif berpikir. Memaksakan diri untuk berpikir secara rasional terhadap alasan apa yang membuat kita emosi. Setelahnya kita mulai menilai, apakah emosi negatif yang kita keluarkan akan baik untuk kita atau hanya emosi sesaat yang mengganggu sistem diri kita. Selanjutnya yang terakhir dengan cara respond. Setelah kita berupaya untuk rasional, maka selanjutnya kita memikirkan respon apa yang akan kita berikan. Respon ini bisa berupa ucapan ataupun tindakan.
Sehingga, kerangka S-T-A-R ini bisa menjadi cara jitu untuk menangani diri kita dalam mengendalikan emosi negatif yang datang.
Sepuluh, premeditation malorum. Melatih diri membayangkan hal-hal buruk yang terjadi dalam hidup kita sehingga di keadaan tertentu bisa lebih siap.
“Musibah terasa lebih berat jika datang tanpa disangka, dan selalu terasa lebih menyakitkan. Karenanya, tidak ada sesuatu pun yang boleh terjadi tanpa kita sangka-sangka. Pikiran kita harus selalu memikirkan semua kemungkinan dan tidak hanya situasi normal.” (halaman 131)
Premeditation malorum dapat diterapkan saat menghadapi musibah-musibah besar. Misalnya saat kita terkena bencana alam seperti tsunami. Sehingga dalam penerapannya kita dilatih untuk menerima situasi-situasi diluar kendali kita. Hal ini diterapkan agar jika suatu saat musibah-musibah yang tidak diharapkan benar-benar terjadi kita sudah siap dan tidak kaget jika akhirnya memang terjadi.
Sebelas, Amor fati, cintailah nasib.
“Formula untuk keagungan (greatness) manusia adalah “amor fati”, yaitu tidak ingin apapun menjadi berbeda, tidak ke depan, tidak ke belakang, tidak di sepanjang keabadian. Tidak hanya sekedar menanggung yang memang harus dijalani tetapi mencintainya.” (halaman 147)
Stoisisme mengajarkan lebih dari sekedar ikhlas menerima keadaan saat ini, namun justru sampai sungguh-sungguh tulus menerimanya. Karena stoisisme melihat seluruh alam semesta sebagai sebuah keteraturan dan keterkaitan segala hal. Artinya, seluruh hidup kita dari lahir hingga saat ini sudah terjadi menuruti rantai peristiwa dan hukum alam.
Dua belas, kematian adalah salah satu bagian dari alam, tidak ada yang perlu ditakutkan.
“Orang-orang yang sangat menginginkan dikenang sesudah mati lupa bahwa mereka yang akan mengenangnya pun akan mati juga. Dan begitu juga orang-orang sesudahnya lagi. Sampai kenangan tentang kita, diteruskan dari satu orang ke yang lain bagaikan nyala lilin, akhirnya meredup dan padam.” (halaman 274)
Segala ketakutan manusia akan kematian bukanlah karena kematian itu sendiri, melainkan atas anggapan dan gambaran kita mengenai kematian. Jika gambaran kita akan kematian adalah hal yang menakutkan, maka reaksi kita menjadi negative dan ingin menghindarinya. Sebaliknya jika kita menggambarkan kematian bukan menjadi sesuatu hal yang menyeramkan, maka kitapun akan jauh lebih tenang menghadapinya.
Filsuf stoa menyebutkan sebagai “alam yang mengundang kita masuk ke dalam hidup”. Kita yang beragama dapat mengimaninya sebagai kehendak Tuhan yang Maha Esa. Sehingga tidak ada yang datang ke dalam dunia ini karena keinginannya sendiri.
Tulisan dari karya Henry Manampiring ini sarat akan makna hidup dengan berlandaskan oleh Soisisme. Ajaran stoisisme dibungkus dengan penyampaian apik dan mudah dipahami pembaca. Setiap bab-nya juga terdapat banyak penyampaian pesan dan gambaran terhadap pemahaman stoisisme. Selain itu, di beberapa halaman terdapat ilustrasi gambar yang memberikan kemudahan bagi pembaca untuk memahami terhadap apa yang ingin disampaikan oleh penulis buku ini. Dari segi isi, buku ini sangat edukatif dengan pengaplikasian kata yang mudah dipahami oleh pembaca. Namun sayangnya, dalam layoutnya kurang rapi. Terutama dalam rata kiri dan kanannya masih berantakan di banyak halamannya yang perlu diperbaiki lagi.
Penulis: Iswatun Hasanah
Editor: Kakak Indra Purnama
Foto: Screenshot Ebook Filosofi Teras