[Cerpen] Dimitte Me Te Perdere

Penulis: Hendrik Khoirul Muhid

Desas-desus itu telah menyebar, tapi aku mencoba untuk membuat telingaku tuli. Gunjingan orang di belakang pun tak aku gubris. Biarkan saja mereka berkata dan berpikir sesuka kehendaknya. Tapi bagaimana pun juga, telinga tetap mendengar dan hatiku menjadi resah karenanya. Benarkah?

“Kemarin suaminya si Wati boncengan sama wanita lain,” begitulah kira-kira bisik-bisik tetangga yang kudengar.

Namun ternyata aku terlalu naif untuk setia mempercayaimu. Hingga akhirnya duniaku menjadi gelap dalam sekejap ketika wanita yang mengetuk pintu itu menyebut dirimu sebagai ayah dari anak yang dikandungnya. Ini dusta! Kamu jelas tidak mungkin melakukan perbuatan keji itu di belakangku. Tetapi kamu mengangguk. Kamu membenarkan pengakuannya.

Apakah aku harus mengamuk? Menampar wanita itu? Atau memukul wajahmu? Aku bukanlah wanita sekuat itu. Untuk berkata-kata saja rasanya tak sanggup. Aku tidak pernah menyiapkan hidupku untuk situasi ini. Ini terlalu sulit untuk kuterima. Dadaku sesak sekali menahan sesuatu yang bergejolak. Tanpa menghiraukan air mata, aku bergegas membangunkan Radit, anakku. Siang itu juga, aku mengendong putraku pergi ke rumah ibuku. Orang-orang mungkin akan melihat, tetapi aku tidak terlalu peduli untuk memikirkannya.

Radit bahkan menangis di gendonganku, entah karena kesal lantaran kukagetkan tidur siangnya, atau karena melihatku menangis. “Radit, jangan menangis, kita mau ke rumah nenek,” bisikku memenangkan anakku. Aku meminta Radit untuk tidak menangis, tetapi aku sendiri sedang menangis. Kekalutan hatiku membuatku tak mampu berpikir dengan benar. Di dalam pikiranku hanyalah, aku ingin lari darimu.

Sesampainya di rumah ibuku, sambutannya tak sesuai yang kuharapkan. Menyadari keadaanku sedang tidak baik-baik saja, ibu memintaku untuk kembali ke rumahmu. “Kalau kamu sedang ada masalah dengan suamimu, selesaikan. Jangan kamu lari ke orang tuamu,” tegur ibu. Aku masih terlalu enggan untuk menceritakan kebenarannya. “Istirahat dulu, nanti biar adikmu yang mengantar pulang.”

Ibu mengambil Radit dari gendonganku, aku baru menyadari betapa kebasnya lenganku menggendong anak usia tiga tahun itu sembari berjalan satu jam lamanya. Sebentar saja Radit telah terlelap dalam buaian neneknya. Melihat Radit, hatiku terasa sakit. Apa yang dipikirkan ayahnya sampai menghamili wanita lain? Jika kamu tidak lagi puas terhadapku, setidaknya ingatlah anakmu.

Menjelang asar, aku diantar adikku, Fajar, kembali kepadamu. Namun di dalam perjalanan, aku meminta Fajar untuk mengantarku ke tempat sepupuku, Aina. “Sebenarnya ada apa, kak?” tanya adikku. Aku dan adikku cukup dekat satu sama lain. Dia memahamiku seperti aku memahaminya. Aku menceritakan nasibku kepada Fajar. Aku mengatakan dengan hati-hati agar anakku tak memahami perkataanku.

“Kenapa kakak tidak bilang kepada ibu?”

“Aku belum siap, Jar. Lagi pula aku tadi tidak berpikir panjang. Hatiku terlalu kalut dan kuputuskan lari ke rumah ibu.”

“Memang brengsek suamimu itu, minta dihajar!”

“Jangan cari gara-gara, Jar. Kakak mau menenangkan diri di tempat Aina.”

Tapi, bagaimanapun juga akhirnya kabar burung sampai di rumah ibuku. Dua minggu setelah kejadian aku minggat itu, Fajar menjemputku dari rumah Aina. Suasana hatiku jauh lebih baik meski rasa sakit hatiku masih menghantui.

Sesampainya di rumah ibu, ia langsung memelukku. Kami adalah wanita yang bernasib sama. Ayahku pergi meninggalkan ibu demi wanita lain. Itulah alasan mengapa aku memutuskan untuk tak menceritakan nasibku kepada ibu sejak awal.

Esoknya, tanpa sepengetahuanku, Fajar menghubungimu. Akhirnya kamu datang ke rumah ibu. Aku tidak tahu apakah selama dua minggu kepergianku kamu berusaha mencariku atau tidak, tapi aku tak peduli. Sore itu kita berbicara empat mata di kamarku, di tempat inilah aku menyerahkan diriku sebagai tanggung jawabmu, dulu.

“Maafkan aku. Aku khilaf…” katamu saat itu.

Andai kata maaf dan alasan khilaf dapat membalikkannya keadaan seperti dulu. Bukankah aku pernah menceritakan kepadamu? Ayahku meninggalkan ibuku ketika adikku seusia anakmu. Luka lama itu kamu bangkitkan lagi, kamu melakukannya padaku. Seperti ayahku melakukannya pada ibuku. Aku tidak mau menyebutmu kejam, tapi hanya kata itu yang pantas untukmu.

“Tidak bisakah kita memperbaikinya?”

Memperbaiki hubungan kita tidak sedikit pun terpikir olehku saat itu. Aku tidak mau dimadu, pun juga tidak sekeji itu membiarkan wanita lain melahirkan anak tanpa menyandang status sebagai istri orang. Benar, dia telah merusak rumah tanggaku dan aku tidak bisa memaafkan itu. Tetapi untuk berbagi suami dengannya? Aku memutuskan untuk sendiri bersama anakku.

“Kapan kamu akan menikahi wanita itu?”

“Apakah kamu mau dimadu?”

Membayangkannya saja membuat hatiku sakit. Tetapi kata-kata yang kamu ucapkan membuatku semakin sakit. Bahkan luka yang kemarin masih menganga dan kamu menambahkan lagi lukanya. Bagaimana mungkin kamu menanyakan pertanyaan seperti itu. Bahkan kamu melupakan perjanjian kita sebelum meninggal, aku tidak akan pernah mau dimadu.

“Ceraikan aku.”

“…”

“Apa kamu tidak berpikir ini bakal terjadi saat kamu melakukan itu dengan wanita itu?”

“…”

“Berapa lama kamu memiliki hubungan dengan wanita itu?”

“Dia mantanku…”

Itu adalah kata terakhir yang kamu ucapkan. Aku meninggalkan pembicaraan itu dengan tersedu-sedan. Hatiku terlalu sakit untuk menerima kenyataan bahwa kamu selama ini menjalin hubungan dengan mantan pacarmu di belakangku. Kenyataan ini terlalu pahit dan kebahagiaan yang kurasakan selama bersamamu adalah semu. Aku dibodohi selama lima tahun usia pernikahan kita.

Seminggu kemudian aku mendapatkan talakmu dan surat perceraian kamu kirimkan. Kita resmi menjadi orang lain untuk satu sama lain. Tak lama berselang, kudengar kamu telah menikah siri dengan wanita itu.

Cinta mungkin masih ada, karena cinta adalah kebiasaan yang akan hilang bersama mati. Tapi rasa itu terlalu tipis untuk mengalahkan hebatnya rasa sakit yang kamu buat padaku. Orang akan memandangiku dengan iba dan menggibah di belakangku. Dimitte me te perdere, biarlah aku kehilanganmu. Tetapi aku masih mempunyai malaikat hatiku, Radit.


*Berdasarkan kisah nyata, seperti yang diceritakan oleh seorang sahabat penulis.

Editor: Annisa Firdausi

Foto: Pixabay.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.