[Cerpen] Dari Aku untuk Indonesia

Penulis: Ashila Razani**

Gagasanonline.com – Pagi ini aku menyantap sarapan yang telah dibuatkan oleh Ibu sebelum ia pergi bekerja. Ibuku merupakan salah satu dosen di kampus ternama di kotaku. Setiap hari ia selalu bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, karena harus berangkat bekerja pukul 07.00 WIB untuk menghindari macet. Saat ini aku tengah duduk di depan televisi yang terletak di bagian tengah rumahku. “Seorang gadis berusia 16 tahun ditemukan tidak bernyawa di kamarnya yang diduga bunuh diri akibat depresi karena banyaknya tugas,” ujar pembawa berita.

Hatiku mencelos saat menonton berita pagi ini. Hal ini bukanlah yang pertama kalinya, sudah banyak aku mendengar kasus seperti ini sebelumnya. Aku merasa pendidikan di negaraku ini semakin buruk saja dari waktu ke waktu. Banyaknya korban bermunculan merupakan salah satu bukti bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan di negaraku ini. Mau jadi apa negara ini beberapa tahun ke depan jika generasi mudanya dididik dengan cara yang salah?

Tidak hanya diberi banyak tugas, sebagian besar sekolah juga menetapkan aturan full day school. Proses pembelajaran dimulai dari pukul 07.00 pagi dan berakhir pada pukul 16.00. Bayangkan saja seberapa lelahnya mereka mengulangi rutinitas tersebut setiap harinya. Suasana hatiku yang sudah buruk karena menonton berita pagi ini menjadi tambah buruk ketika mengingat tidak ada kontribusi yang bisa aku lakukan untuk memperbaiki sistem pendidikan tersebut.

Tepat pukul 08.00 WIB alarmku berdering. Dering alarm yang berasal dari gawai memecah lamunanku pagi ini. Bunyi alarm berhasil mengingatkanku agar segera pergi ke kampus untuk mengurus keperluan wisudaku. Iya, aku merupakan mahasiswa tingkat akhir yang akan wisuda beberapa hari lagi. Aku bergegas kembali ke kamarku untuk bersiap pergi ke kampus. Sudah 30 menit aku berdiri di depan pintu lemariku menatap isi lemari yang sebagian besar adalah baju bercorak batik.

Batik merupakan salah satu kebudayaan Indonesia yang sangat sukai. Teman-temanku sering mengatakan style-ku terlalu kuno karena hampir setiap hari menggunakan batik. Aku hanya menganggap mereka angin lalu, toh memakai batik bukanlah perbuatan yang memalukan. Aku bangga karena bisa ikut andil dalam melestarikan budaya Indonesia. Setelah mendapatkan outfit untuk hari ini aku bergegas membersihkan diri di kamar mandi.

Tak butuh waktu lama, 20 menit kemudian aku sudah selesai mandi dan bersiap untuk berangkat ke kampus menggunakan bus. Aku biasa bepergian menggunakan transportasi umum karena beberapa alasan, salah satunya untuk mengurangi polusi udara di Indonesia. Selang 25 menit kemudian bus yang aku tumpangi berhenti di halte depan kampusku. Jarak gerbang dengan kampus sekitar 500 meter. Aku memutuskan untuk berjalan kaki, hitung-hitung olahraga pagi.

Oh iya, aku sampai lupa memperkenalkan diri. Namaku Alessia Putri, orang-orang biasanya memanggilku Ales. Aku berusia 24 tahun dan bercita-cita ikut andil dalam memajukan Indonesia. Beberapa orang yang mengetahui cita-citaku biasanya pada awalnya mereka tertawa dan menganggap aku sedang bergurau padahal pada kenyataannya aku bersungguh-sungguh bercita-cita seperti itu. Jujur, aku masih belum tahu kontribusi apa yang akan aku berikan untuk memajukan Indonesia dan juga belum terpikirkan tetapi apa salahnya bermimpi kan? Semua orang berhak bermimpi dan menggapai mimpi tersebut.

Setelah berjalan beberapa saat, aku tiba di kampus, dan tak lupa menyapa penjaga kampus yang ramah. “Selamat pagi pak, Tino,” sapaku. Butuh waktu tiga jam untuk menyelesaikan semua urusanku di kampus. Setelah lelah mengurusi berbagai tetek bengek, aku memutuskan untuk menyantap makan siang di salah satu warung langgananku. Setelah menghabiskan makan siang, aku memesan taksi online untuk melanjutkan urusanku yang lain. Aku sedang memburu waktu dan enggan mencari halte karena letaknya jauh dari warung langgananku.

Selang beberapa saat, taksi online yang aku pesan datang. Selama di perjalanan aku merenung, memikirkan apa kontribusi yang akan aku berikan kepada Indonesia. Aku sangat ingin ikut andil dalam memajukan negara kelahiranku ini yang tentunya sangat aku cintai. Setiap malam aku selalu memikirkan hal tersebut, tetapi ide tak kunjung muncul yang membuatku sedikit kecewa dengan diriku. Tidak terasa, taksi online yang kutumpangi telah berhenti di tempat tujuanku. Aku tersenyum ketika melihat anak-anak itu sudah menanti kedatanganku.

“Halo,” sapaku sambil tersenyum kepada mereka yang disambut hangat oleh mereka. “Kakak sudah lama banget enggak ke sini,” kata salah seorang anak berambut panjang dengan lesung pipi. Namanya Ara, dibandingkan anak-anak yang lain Ara termasuk anak yang sedikit cerewet. “Maaf, ya. Kakak sedang banyak urusan akhir-akhir ini,” jawabku, sambil mengusap lembut kepalanya.

Mereka adalah anak-anak yang memiliki nasib kurang beruntung. Hidup di dalam rumah kecil di lingkungan yang kumuh. Terkadang, mereka membantu orang tua mereka mencari botol plastik bekas untuk dijual kembali. Setiap seminggu sekali aku menyempatkan diri datang ke tempat ini, berbagi ilmu kepada  mereka yang belum memiliki kesempatan untuk sekolah. Jumlah mereka tidak banyak, hanya sekitar 10 orang. Mereka semua adalah anak yang sopan dan selalu menghargai orang lain. Setiap aku selesai mengajarkan mereka sesuatu hal mereka tidak pernah lupa mengatakan terima kasih. Mungkin bagi sebagian orang ini adalah hal yang sepele tetapi bagiku ini sangat berarti. “Ya sudah ayo kita mulai,” kataku. Tidak butuh waktu yang lama, mereka segera duduk rapi di bawah pohon  rindang, tempat biasa kami gunakan untuk belajar. Mereka menamakan tempat itu sebagai rumah pelangi. Hari ini aku akan mengajarkan mereka Bahasa Inggris.

Dalam kelompok kecil ini, ada seorang anak laki-laki, namanya Fian. Pendiam dan pemalu adalah karakternya. Kendati begitu, Fian itu merupakan anak yang pintar, sangat disayangkan jika ia tidak sekolah. Bahkan pemikiran Fian itu melampaui pemikiran anak seusianya. Setiap Fian berpendapat, aku selalu dibuat kagum olehnya. Aku tiba-tiba penasaran akan sesuatu. “Fian kalau kakak boleh tau, waktu udah besar Fian mau jadi apa?” tanyaku lembut sambil menatap dengan penuh antusias ke  arahnya.

Awalnya ia ragu untuk menjawab, namun ketika aku meyakinkannya, ia menjawab, “Menteri pendidikan, kak,” katanya. Mataku membulat, tidak menyangka ia memiliki cita-cita sehebat itu. “Wah hebat sekali Fian, kakak yakin suatu saat nanti pasti Fian bisa jadi Menteri pendidikan,” kataku. Ia hanya tersenyum mendengar jawabanku. Setelah menutup pembelajaran aku mengucapkan salam perpisahan dan berjanji akan kembali ke sini jika ada waktu. Karena tidak sedang terburu waktu, aku memutuskan pulang menggunakan bus.

Bus tidak terlalu sesak, namun aku kurang beruntung tidak mendapatkan kursi, tapi aku baik-baik saja. Saat di perjalanan menuju rumah seusai berbagi ilmu dengan anak-anak, tiba-tiba saja muncul ide di kepalaku. Ide ini terinspirasi dari cita-cita Fian. Kenapa ini tidak terpikirkan olehku ? Kini aku sudah tahu kontribusi apa yang akan aku berikan untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik lagi. Aku ingin melanjutkan pendidikan S2 di salah satu universitas di Finlandia dan mengambil program studi manajemen pendidikan.

Kenapa Finlandia? karena Finlandia merupakan negara dengan pendidikan terbaik di dunia. Aku ingin belajar di sana dan ketika aku sudah pantas, aku ingin memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia dengan ilmu yang aku dapatkan dari sana nantinya. Sesampainya di rumah, aku segera mengumpulkan informasi tentang universitas di Finlandia, aku memutuskan mengambil beasiswa di Alto University.

Beberapa bulan berselang, setelah aku mengaplikasikan beasiswa dan mengikuti ujian tes, akhirnya hari pengumuman tiba. Dengan perasaan deg-degan aku membuka surelku. Aku seketika menangis haru saat membaca isi email tersebut. Inti dari isi email tersebut adalah ucapan selamat karena aku diterima di Universitas Alto dengan beasiswa penuh. Aku segera memberitahu ibuku, ibuku senang mendengarnya, meski aku tahu dia juga sedih karena aku akan jauh dengannya. “Ibu jangan sedih, hanya dua tahun kok dan aku janji bakalan pulang tiap libur semester,” kataku.

Singkat cerita, hari keberangkatanku ke Finlandia akhirnya datang. Sebelum pergi, aku sempatkan mengunjungi rumah pelangi. Kepada mereka aku berterima kasih, juga kepada Fian yang telah menginspirasiku. Anak-anak ini menyadarkanku, tidak peduli kita dari kalangan apa, pendidikan adalah hak semua orang. Semoga, kelak aku bisa menjadi salah satu orang yang dikenang sebagai tokoh yang berjuang meratakan pendidikan di Tanah Air. Indonesia, ini dari aku untukmu.

Editor: Hendrik Khoirul Muhid
Foto: Internet/ jabar.tribunnews.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.