Penulis: Hendrik Khoirul
Gagasanonline.com- Duduk di bangku paling sudut mencari sepi, aku menyesap kopi tanpa gula dengan perasaan hati tidak karuan. Aku tidak bisa membiarkan hatiku yang patah melarikanku pada seduh sedan air mata, di sinilah aku menahan, sebab di sini tidak mungkin aku menangis. Aku tidak tahu apa yang telah membawaku ke tempat ini, tapi di sinilah kini aku melarikan remukan hatiku.
Aku terlalu ragu menyesap kopiku, aku tidak yakin rasa pahitnya datang dari mana, mungkin dari rasa sakit hatiku, mungkin juga karena memang begitu rasanya. Alunan musik keroncong dari pengeras suara membuat telingaku sebal, ingin rasanya aku meminta diputarkan lagu sendu macam Hati Yang Tersakiti-nya Rosa, atau lagunya Anneth-Mungkin Hari Ini Esok atau Nanti, atau kalau perlu matikan saja musiknya, matikan saja aku-nya.
Aku mengaduk kopiku, yang sebenarnya sudah tidak perlu. Aku juga tidak berharap rasa sakit hatiku ikut larut dalam cangkir kopi. Aku melakukannya karena aku melamun. Temanku sendiri… Ah! Bukan temanku lagi dia, jalang itu, bukan temanku. Teman macam apa diam-diam mencintai kekasih temannya? Ya, dia bukan teman. Tapi bukan seutuhnya salah dia, kekasihku pun tak kalah bajingannya, sudah mendapatkan aku, temanku pun dimaunya juga. Aku benci kutipan, ‘perselingkuhan terjadi karena dua orang brengsek saling mencintai’, tapi itu benar. Aku sangat membenarkan.
“Permisi?” tegur seseorang lelaki, mengagetkanku.
Baca juga: [Cerpen] Dongeng Untuk Orang-orang di Atas
Aku mengangkat wajahku dari permukaan cangkir kopi, sebingkai raut ramah dengan mata bagus menatapku. Dia mengenakan apron khas barista, di tangan kanannya ada secangkir kopi. Apa ada bonus kopi untuk pengunjung berhati sendu? Suasana hatiku sedang tidak baik dan aku sedang terlalu malas berbaik hati. Secangkir kopi saja sudah terlalu pahit, jangan dua.
“Apa saya boleh duduk di sini?” tanya lelaki itu sembari meletakkan cangkir kopi di meja.
Bahkan tanpa menunggu kata iya atau tidak, ia menarik kursi di seberang tempat dudukku. Duduk dan memapankan diri, ini adalah kursiku, begitu kira-kira artinya. Ia menyeruput kopi dari cangkirnya, wangi khas kopi hitam merebak. Syukurlah kopi itu untuknya sendiri.
Entah demi apa, aku mau-maunya memperhatikan caranya mengecap rasa kopi, aku baru tahu ada orang menikmati pahitnya kopi sedemikian rupa sampai memejamkan mata. Aku tetap memperhatikan sampai denting cangkir mengetuk meja dan menyadarkanku. Aku menyeruput kopiku untuk meregangkan kecanggungan, masih sama rasanya seperti yang kali pertama kucicip, pahit. Baiklah mungkin rasanya memang seperti itu.
Baca juga: [Cerpen] Penyesalan Tak Berujung
“Aduh, caramu minum kopi salah,” tegurnya dengan raut wajah seakan caraku minum kopi melukai perasaannya. Persetan dengan cara minum kopi, apa pentingnya itu semua. Bagaimana pun cara meminumnya, toh itu tidak bakal mengubah rasa kopi, dan juga rasa hatiku. Lagian siapa sih yang membuat tata aturan cara minum kopi? Mau diseruput langsung pakai mulut kek! atau diseruput pakai sendok kek! Diteguk kek! Disedot kek! Terserahlah… Tidak bisakah aku menikmati rasa sakit hatiku? Aku bisa menoleransi kebisingan musik keroncong, tapi tolong biarkan aku sendiri.
“Begini caranya…” lelaki itu mengangkat cangkir kopinya, menghirup aroma kopi sambil menutup mata, kemudian menyeruput kopinya perlahan dengan syahdu seolah merasakan setiap cecap yang menyerbu lidahnya, sungguh pemandangan yang penuh hikmat.
“Kamu coba, dong!” Pinta lelaki itu.
Baiklah, aku akan minum kopi dengan baik dan benar sesuai petunjuknya, sesuai kemauannya. Entah siapa pembuat aturannya, aku tidak ambil pusing dan juga tidak mau peduli yang penting lelaki di depanku ini lekas pergi dan… tolong biarkan aku menikmati sakit hatiku dengan tenang.
Baca juga: Move On, Sahabat dan Traveling
Aku mendekatkan cangkir kopiku ke mulut, aroma kopi memenuhi rongga hidungku. Aku akui rasanya menenangkan memang. Seperti yang ditunjukkan lelaki itu, aku menutup mata sembari menyeruput perlahan kopi dalam cangkir itu. Rasa pahit menyentuh lidahku, menyebar ke seluruh rongga mulut, tapi ada rasa lain yang tadi tak kusadari, rasa manis. Bukan rasa manis secara harfiah, lebih tepatnya perasaan manis yang menyentuh hati. Sejenak aku melupakan rasa sakit hatiku dan ketika aku membuka mata, aku tak sadar bahwa aku telah tersenyum.
“Bagaimana?” tanya lelaki itu, wajahnya tampak penasaran namun juga puas.
“Lumayan,” jawabku.
Aku mengulangi lagi ritual penuh hikmat itu, aku tidak menyangka cara minum kopi bisa mempengaruhi perasaan seseorang. Bagiku minum kopi, ya minum saja. Mungkin ini awal bagiku untuk lebih peka terhadap apa pun, seperti minum kopi pahit yang terasa pahit, tetapi manis jika dirasakan melalui hati.
Aku tahu sakit hatiku tidak bisa sembuh begitu saja hanya karena minum kopi, itu mustahil, biar waktu yang menghapusnya, biar hati lain yang menyembuhkannya. Tidak apa, kisah cintaku mungkin pahit, tapi aku percaya akan manis pada saatnya. Aku tahu aku akan terpuruk, aku tahu sakit hati ini akan membelengguku, tapi aku juga tahu dibalik rasa pahit ini pasti ada rasa manisnya.
Editor: Delfi Ana Harahap
Foto: Lisa Fotions/Pexels.com