Empat Cara Mengetahui Cacat Dalam Diri Sendiri

Penulis: Kaka Indra Purnama

Gagasanonline- Di era kemajuan teknologi saat ini semakin membuat manusia berlomba-lomba dalam memamerkan kelebihan-kelebihan diri melalui berbagai cara, misal media sosial agar aspek kehidupannya terlihat baik di muka publik. Hal inilah yang seringkali membuat manusia lupa akan kedudukannya sebagai hamba Allah SWT, padahal Allah menciptakan manusia dengan segala kekurangan dan kelebihan, manusia juga dituntut agar menerima semua kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Diciptakan sebagai makluk paling sempurna menjadikan manusia dapat menciptakan dan berbuat segala sesuatu sesuai kehendaknya. Maka tak jarang timbul sifat takabbur (kesombongan) dalam diri manusia yang sulit untuk dikendalikan.

Kesombongan inilah yang disebut sebagai penyakit hati, karena sasaran utamanya adalah hati manusia. Manusia disarankan untuk lebih sering merenungi segala hal yang telah diperbuat agar mengetahui apa saja kekurangan dirinya. Apabila Allah SWT menghendaki kebaikan atas hamba-Nya, maka Dia akan menunjukkan kepadanya tentang kekurangan-kekurangan yang terdapat pada dirinya. Maka barang siapa penglihatan mata hatinya cukup tajam, niscaya cacat-cacat dirinya takkan tersembunyi darinya dan jika telah mengetahuinya ia akan berusaha untuk menghilangkannya. Namun kebanyakan orang tidak mengetahui cacat-cacat yang ada pada dirinya.

Baca juga: Peristiwa-Peristiwa Pada Bulan Muharram

Mungkin sebagian dari kita bertanya, bagaimana cara untuk untuk mengetahui kekurangan (cacat) diri kita? Jika ada, apa saja?. Maka jawabannya “ada”. Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya yang berjudul Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Jiwa menyebutkan ada empat cara untuk mengetahui cacat-cacat pada dirinya sendiri.

Pertama, duduk di hadapan syaikh (guru) yang piawai akan cacat-cacat jiwa dan penyakit hati. Maksudnya adalah pergi untuk bertanya pada seorang syaikh paiawai akan cacat jiwa dengan tujuan mujadallah (perjuangan batin). Maka syaikh tersebut akan menunjukan apa saja penyakit hati yang diderita dan memberi tahu bagaimana jalan pengobatannya.

Kedua, mencari teman yang tulus, piawai dan senantiasa memegang teguh aturan agamanya untuk dijadikan pengawas terhadap tindakan dan gerak-gerik dirinya. Sehingga bila bergaul dengan dirinya, kemudian ada perbuatan atau tindakan yang tidak sesuai maka ia senantiasa menegur dan memberitahukannya.

Baca juga: Membandingkan Agama: Keperawanan Maria dan Muhammad yang Ummi

Ketiga, selalu mengambil hikmah dan manfaat dari ucapan-ucapan para pembenci. Artinya jadikan setiap ucapan orang yang membenci diri kita sebagai renungan untuk memperbaiki diri, karena akan ada hikmah dan manfaat yang terkandung di dalamnya.

Keempat, bergaul dengan masyarakat luas. Seorang mukmin adalah cerminan dari mukmin lainnya, sehingga manusia dapat belajar dari manusia lainnya. Maka dengan membangun pergaulan dan bersosialisasi dengan masyarakat, kita akan senantiasa belajar untuk saling mengisi dan memperbaiki diri.

Baca juga: Islam dan Pemilu

Derajat manusia di mata Allah SWT adalah sama dan yang membedakan adalah iman. Maka sepatutnya manusia menyadari akan kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya adalah karunia Allah SWT. Kemudian senatiasa menjauhkan dirinya dari segala penyakit hati walau pada dasarnya manusia adalah tempat salah dan khilaf. Namun hendaknya Ia terus berusaha memperbaiki diri agar Ia dapat mencapai kemulyaannya sebagai manusia. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW bersabda :

“Setiap anak Adam pernah bebuat salah dan sebaik-baik yang berbuat salah adalah yang bertaubat dari kesalahannya.” (HR. Turmudzi)

Editor: Delfi Ana Harahap
Referensi : Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali. 2014.
Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia. Jakarta Selatan: MIzan Digital Publishing. E-book. Foto: Internet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.