Bu Tedjo dan Refleksi Budaya Gosip dalam Bertetangga

Penulis : Khoirotun Nisa’

Gagasanonline.com- Film garapan Wahyu Ageng Prasetyo yang berjudul “Tilik” tengah ramai diperbincangkan di media massa. Film pendek ini juga berhasil menyabet penghargaan Piala Maya untuk Film Cerita Pendek, dan saat ini telah ditonton sebanyak 10 Juta kali di plaftrom Youtube, terhitung sejak tulisan ini dibuat.

Film Tilik menjadi sorotan berkat karakter Buk Tedjo yang suka membicarakan aib orang lain, terlepas dari benar atau tidaknya informasi yang ia sampaikan. Banyak penonton beranggapan jika karakter Buk Tedjo merupakan representasi dari Ibuk-Ibuk yang sering kali menceritakan aib orang lain, atau kata populernya mulut tajam Ibuk-Ibuk tetangga.

Saya beranggapan karakter Buk Tedjo ini memang cukup nyata dalam kehidupan sehari-hari, karena tidak sulit untuk menemukan Ibuk-Ibuk penggosip di sekitaran tempat Saya tinggal. Saya menemukan beberapa tetangga serupa Ibu Tedjo dan cukup salut sekaligus heran oleh ketajaman omongannya yang serupa pisau silet yang baru dibuka dari bungkusnya. Sejalan dengan salah satu komentar yang pernah Saya baca di Youtube, “awak seng polah, dulur seng gelisah, tonggo seng ceramah,” (kita yang berulah, saudara yang gelisah, tetangga yang ceramah).

Baca : Tanggapan Mahasiswa UIN Suska Riau Terkait KKN Daring

Saya menemukan beberapa kalimat yang sering dilontarkan Ibu-Ibu sekitaran rumah Saya, seperti : “Nek aku tak ajarke anakku kerjo kat saiki, ben nek wong tuone wes ninggal iso mandiri(kalau aku, kuajarkan anakku kerja dari sekarang, biar kalau orang tuanya sudah meninggal bisa mandiri). “Aku yo, anakku olehe karo wong lanang seng apik, ra koyo ngono” (Aku ya, anakku bolehnya cuma sama orang baik-baik, nggak kaya gitu). “Aku ra gelem lah ninggalke anakku neng omah wong loro, engko amburadul koyo wong kui” (Aku nggak mau lah ninggalin anakku di rumah berdua aja, nanti berantakan kaya orang itu). Bocah kui ora ono gawean, kor dolanan karo wong lanang ae(Anak itu nggak kerja, kerjanya main aja sama pacarnya).

Kalimat-kalimat sindiran ini kerap kali mereka sematkan kepada salah seorang tetangga yang merupakan mahasiswi yang hanya tinggal berdua dengan adiknya. Padahal mahasiswi tersebut hanya sibuk dengan dunianya sendiri, tidak pernah mencampuri urusan orang lain. Bahkan memperhatikan tanaman hijau di halaman saja ia tidak sempat. Yang lebih membuat Saya heran dengan Ibu-Ibu ini adalah ketika mereka sewaktu-waktu dapat berubah baik hati dengan mengantarkan pisang untuk digoreng dan nasi kotak dari hajatan kepada si mahasiswi.

Baca : Raudatussalamah: Perihal Kesehatan Mental, Jangan Diagnosis Diri Sendiri

Aneh bukan? Tentu saja aneh, tapi sudahlah tidak perlu dipikirakan. Mungkin tulisan ini bisa dijadikan sedikit pelajaran, betapa senangnya orang lain mencampuri urusan pribadi orang lain dengan cara membandingkan dan menjelek-jelekkan orang lain. Saya tidak sepenuhnya membenci perilaku menggosip, karena dalam hidup bersosial gosip mampu menjadi bumbu dalam bersosialisasi dengan orang lain. Bahkan kalangan intelektual seperti mahasiswa juga lumrah dalam melakukan gosip, tidak hanya Ibu-Ibu saja. Tapi mungkin kapasitasnya saja yang perlu dikurangi, jangan memburukkan orang lain secara berlebihan. Seperti kata pepatah “mulutmu harimaumu” dan kata bijak “fitnah lebih kejam dari pembunuhan.”

Editor : Delfi Ana Harahap
Foto : Internet


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.